Kasus Bayi Dibuang di Bali, Mungkinkah Depresi Hingga Kerusakan Otak Yang Jadi Pemicunya?

Apa sebenarnya yang menyebabkan para orangtua ini tega membuang darah dagingnya sendiri?

Editor: Eviera Paramita Sandi
Kolase Tribun Bali
Pelaku pembuang bayi di Denpasar dan Bangli saat dirilis kepolisian. Keduanya tega membuang darah dagingnya sendiri 

TRIBUN-BALI.COM - Kasus pembuangan bayi makin sering terjadi, tak terkecuali di Bali

Yang baru-baru ini menggegerkan warga adalah kasus mahasiswi asal NTT membuang bayinya di kolam ikan Pertokoan Grand Sudirman, Denpasar, Jumat (19/7/2019) lalu.

Pelaku berinisial SD yang baru melahirkan bayinya di toilet tega membekap hingga membuangnya begitu saja sebelum mengikuti ujian semester di kampusnya. 

Adapun kasus lain juga terjadi di Banjar Lumbuan, Desa Sulahan, Bangli

Seorang ayah berusia 19 tahun berinisial IKS tega membekap mulut dan mencekik leher darah dagingnya sendiri kemudian membuangnya di jalan pada Kamis (24/7/2019) .

Saat ditemukan warga, bayi laki-laki ini dalam keadaan telah meninggal dunia.

Apa sebenarnya yang menyebabkan para orangtua ini tega membuang darah dagingnya sendiri? 

Mungkinkah karena depresi yang berujung kerusakan otak? 

Depresi adalah jenis gangguan mental kompleks yang membuat pengidapnya merasa sedih, putus harapan, dan tidak berharga.

Anda bisa dicurigai mengalami depresi jika gejala-gejala tersebut berlangsung terus lebih dari dua minggu.

Seseorang yang dicurigai mengalami depresi harus mendapat penanganan medis.

Melansir Hellosehat, kondisi ini tidak hanya memengaruhi kestabilan emosi, tapi juga mengganggu produktivitas kerja, hubungan sosial, bahkan sampai memunculkan keinginan bunuh diri.

Sekilas tentang kasus depresi di Indonesia Penelitian teranyar terkait jumlah kasus depresi di Indonesia baru-baru ini dilakukan oleh Karl Peltzer (peneliti dari Universitas Limpopo, Afrika Selatan) dan Supa Pengpid (peneliti dari Universitas Mahidol, Thailand).

Hasil penelitian menyebutkan bahwa jumlah kasus depresi tertinggi ditemukan pada rentang usia remaja dan dewasa muda.

Menurut penelitian tersebut, dikutip dari intothelight.org, wanita berusa 15-19 tahun merupakan populasi dengan angka depresi paling tinggi (32 persen), disusul oleh laki-laki berusia 20-29 tahun (29 persen), dan laki-laki berusia 15-19 tahun (26 persen).

Halaman
1234
Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved