Jualan di Lapangan Puputan Dikenakan Tarif, Bagaimana Aturan Sebenarnya?

Lapangan Puputan Badung selalu ramai pengunjung, dan ini menjadi ladang rezeki bagi pedagang yang berjualan di sana

Penulis: M. Firdian Sani | Editor: Irma Budiarti
Tribun Bali/M Firdian Sani
BERJUALAN SATE - Putu Eka bersama ibundanya, Desak berjualan sate di dekat Pura Agung Jagatnatha, Denpasar, Sabtu (3/8/2019). Jualan di Lapangan Puputan Dikenakan Tarif, Bagaimana Aturan Sebenarnya? 

Jualan di Lapangan Puputan Dikenakan Tarif, Bagaimana Aturan Sebenarnya?

Laporan Wartawan Tribun Bali, M Firdian Sani

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Lapangan Puputan Badung merupakan salah satu tempat rekreasi warga Denpasar untuk menghilangkan kejenuhan.

Lapangan itu biasanya dimanfaatkan warga untuk berolahraga, nongkrong dan kumpul komunitas.

Itu yang membuat Lapangan Puputan Badung selalu ramai pengunjung.

Hal itu dimanfaatkan sebagian orang untuk berbisnis. Seperti Putu Eka yang berjualan di pinggir lapangan, tepatnya di depan Pura Agung Jagatnatha.

Ia sudah lima tahun berjualan sate babi, lontong dan sayur.

"Saya jual dengan harga Rp 15 ribu, itu sudah dengan lontong. Kalau sayur Rp 5 ribu," kata Putu.

Ia mengungkapkan, jika ingin berjualan di sini maka harus membayar retribusi sebesar Rp 300 ribu.

"Kita kenanya Rp 300 ribu, itu kita bayar setiap bulan ke pecalang. Jadi itu udah aman dari Satpol PP," ujarnya.

Ia biasanya berjualan dari pukul 07.30 Wita sampai malam, tergantung kapan habisnya.

Lalu bagaimana aturan sebenarnya? Bolehkah pedagang berjualan di Lapangan Puputan Badung?

Tribun Bali menghubungi Dewa Sayoga selaku Ketua Satpol PP Denpasar.

Ia mengatakan sudah melakukan penertiban setiap hari di seputaran Lapangan Puputan Badung.

Hanya saja saat Kuningan tidak bisa melakukan penertiban karena keterbatasan personel.

"Iya memang kami yang menertibkan, tidak boleh berjualan di sana. Cuman yang jadi masalah, petugas kita selalu kucing-kucingan dengan para pedagang. Setelah kami tertibkan, ada lagi, bubar lagi, ada lagi. Jadi terus begitu," katanya.

Ia menjelaskan tidak dapat berkoordinasi dengan pecalang setempat soal boleh tidaknya pedagang berjualan di sekitaran pura dan Lapangan Puputan Badung.

Sementara itu Nengah Sumerti yang sudah puluhan tahun berjualan di sana mengatakan bahwa ia tidak dipungut biaya sama sekali.

Sementara pedagang sate babi yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan berjualan sudah sejak 4 tahun yang lalu, dan membayar Rp 100 ribu.

"Di sini saya bayar Rp 100 ribu, itu kalau acara-acara kayak gini (Kuningan), tapi kadang gak tentu, seikhlasnya saja," katanya.

Untuk mendapat kejelasan, Tribun Bali mencoba menanyakan langsung kepada Ketua Pecalang Banjar Abasan, Nyoman Gede Astama Rai.

Ia mengungkapkan tidak ada pungutan-pungutan seperti itu dari pecalang karena merupakan kewenangan banjar.

"Tidak ada, kami hanya melakukan pengamanan saja, kalau urusan itu ya banjar yang punya. Tapi setahu saya mereka membayar seikhlasnya. Jadi tidak ada paksaan harus bayar segini, dan segini," jelasnya.

Ia mengatakan bahwa pedagang-pedagang itu biasanya menyumbang jika banjar mengadakan suatu acara.

"Selain uang mereka kadang nyumbang, minuman, makanan, gak uang aja. Ya apa aja seikhlasnya," ucapnya.

(*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved