Ranperda Atur Pekerja DW Maksimal 20 Hari Per Bulan dan Tidak Boleh Lebih dari 3 Bulan

Dalam pasal Ranperda menyebutkan pekerja hanya dapat mempekerjakan buruh harian lepas maksimal 20 hari dalam sebulan

Penulis: Wema Satya Dinata | Editor: Widyartha Suryawan
pexel.com
Ilustrasi pekerja. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Pansus Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan DPRD Bali melanjutkan pembahasan Ranperda bersama pihak eksekutif dan pihak-pihak terkait bidang ketenagakerjaan yang ada di Bali.

Salah satu yang dibahas adalah pasal mengenai pekerja harian lepas (daily worker) atau pekerja DW.

Dalam pasal Ranperda menyebutkan perusahaan hanya dapat mempekerjakan buruh harian lepas maksimal 20 hari dalam sebulan dan tidak boleh lebih dari tiga bulan. 

Ketua Pansus Ranperda Penyelenggaraan Ketenagakerjaan, Nyoman Parta mengatakan bila pemberi kerja mempekerjakan DW melebihi dari aturan tersebut maka statusnya otomatis berubah menjadi pekerja Perjanjian Kerja dengan Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

“Banyak di lapangan kita temukan, pekerjaannya harian lepas tetapi dia bekerjanya seperti karyawan tetap. Dan jika ditemukan pelanggaran di lapangan resikonya adalah perusahaan itu harus mempekerjakan yang bersangkutan menjadi karyawan tetap. Oleh karena itu semuanya harus tertib,” kata Parta dalam rapat di Ruang Rapat Gabungan Kantor DPRD Bali, Senin (12/8/2019).

Asisten Deputi Monitoring Evaluasi Kedeputian BPJS Wilayah Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB) Nyoman Wiwiek Yuliadewi mengusulkan terkait definisi pemberi kerja adalah perseorangan, pengusaha, Badan hukum atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan  membayar gaji, upah atau imbalan yang memadai.

Suasana rapat lanjutan pembahasan Ranperda tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan di Ruang Rapat Gabungan Kantor DPRD Bali, Senin (12/8/2019).
Suasana rapat lanjutan pembahasan Ranperda tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan di Ruang Rapat Gabungan Kantor DPRD Bali, Senin (12/8/2019). (Tribun Bali/Wema Satyadinata)

Sedangkan definisi yang dimasukkan dalam Ranperda pemberi kerja hanyalah perusahaan saja.

Di sisi lain pemberi pekerja formal bukan hanya dalam bentuk perusahaan saja tetapi juga bisa dalam bentuk perseorangan, badan hukum atau badan lainnya.

Sementara itu,  Akademisi Universitas Mahasaraswati Denpasar sekaligus tim ahli DPRD Bali, Dr. I Wayan Gede Wiryawan berharap agar Ranperda tentang penyelenggaraan ketenagakerjaan ini dibuat secara out of the box di luar aturan-aturan normatif. 

Menurut Wiryawan sebagian besar perusahaan yang beroperasi di Bali secara letter lux mengikuti regulasi nasional. 

“Bagaimana regulasi nasional itu? Bahwa upah adalah pengupahan, bukan pemberian upah berdasarkan sistem pengupahan,” ujarnya.

Dijelaskannya, kalau berbicara sistem pengupahan ada tiga unsur yang wajib dipenuhi antara lain, pertama harus dibuatkan regulasi khusus yang mengatur tentang sistem pengupahan itu.

Kedua, adanya personil-personil yang bertugas baik sebagai pelaksana dan pengawas.

Dan Ketiga, harus diatur supaya terbentuk budaya bahwa dalam sistem pengupahan harus ada siapa yang akan menerapkan upah minimum, upah sektoral, struktur dan skala upah, dan upah layak.

“Kalau kita berbicara tentang upah layak, adalah upah yang mencerminkan kewajaran dan keadilan,” imbuhnya.

Sumber: Tribun Bali
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved