Stinger Tebar Sengatan "Civettuola", Rilis Album Mini Secara Digital
Single yang dirilis medio 2017 tersebut sekaligus menjadi penanda Stinger menuju perilisan album mini berjudul "Civettuola".
Penulis: Putu Candra | Editor: Widyartha Suryawan
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Unit rock asal Denpasar, Stinger tengah menapaki karirnya di belantika musik Nusantara.
Band yang diproklamirkan tahun 2016 kali pertama ini muncul dengan debut singlenya berjudul "Hypocrasy".
Single yang dirilis medio 2017 tersebut sekaligus menjadi penanda Stinger menuju perilisan album mini atau Extended Play (EP) berjudul "Civettuola".
Lewat album mini "Civettuola" yang dirilis tahun 2019 versi kepingan Compact Disc (CD) dan format digital inilah Stinger perlahan menebar sengatannya.
"Beberapa hari lalu di bulan Oktober 2109, kami baru saja merilis album mini Civettuola secara digital. Untuk versi cetaknya telah kami rilis bulan Mei 2019, edisi terbatas," terang sang gitaris Stinger, Manu.
Berisi empat track, diharapkan laiknya menjadi senjata penyengat bagi para pendengar, seperti arti nama Stinger.
"Stinger itu artinya penyengat. Orang yang dengar musik Stinger ini seperti tersengat. Ada pembeda yang Stinger sajikan dan membuat orang tersengat, menikmati musik kami," sambung Dinda dari pihak management Stinger.
Secara tema kembali dipaparkan Manu, album "Civettuola" bercerita tentang kehidupan percintaan anak muda.
Namun dari empat track tidak semua mengulas kisah cinta dua insan manusia.
"Setelah menggodok materi untuk EP ini ada ketidaksengajaan konsep lagu-lagu kami menceritakan kisah cinta anak muda," imbuhnya.
Namun tema yang disajikan Stinger justru menjadi pembeda dibandingkan band yang senafas dari sisi musik.
Tema percintaan diangkat tidak jauh dari kisah cinta personel dan orang di sekitaran mereka.
"Dari lirik kami lebih menceritakan percintaan. Itu berdasarkan kisah percintaan dari personel atau dari curhatan teman-teman tongkrongan. Kalau band lainnya mungkin mengangkat isu sosial. Tapi kami tidak menutup diri ke depannya akan mengangkat tema sosial dan isu yang berkembang di sekitar kami untuk project berikutnya," terang Manu.
Menurutnya lagu cinta tidak melulu dikemas dengan musik melankolis dengan suasana galau. Membicarakan cinta ke dalam lagu bisa dikemas dengan musik rock.
"Di sini kami coba mengemaskan kisah cinta dengan balutan musik rock. Lagu Love Still On Fire dan Civettuola murni lagu cinta. Sedangkan dua lagu lainnya Cheers bercerita tentang menjalin hubungan pertemanan dan orang lain. Hypocrasy mengisahkan kemunafikan, tapi bisa ditafsirkan ke arah percintaan yang universal," jelas Manu.