Marak Kasus Perselingkuhan, Pelakor dan Pebinor Ternyata Bisa Dipenjara, Ini Aturan Hukumnya
Bahkan kini, perempuan mulai menoleransi perselingkuhan dan dugaan pengkhianatan yang telah dilakukan oleh suami mereka.
Marak Kasus Perselingkuhan, Pelakor dan Pebinor Ternyata Bisa Dipenjara, Ini Aturan Hukumnya
TRIBUN-BALI.COM - Marak kasus perselingkuhan, pelakor dan pebinor ternyata bisa dipenjara, ini aturan hukumnya.
Perselingkuhan kini sedang marak di Indonesia.
Kasus perselingkuhan di Indonesia saat ini banyak sekali hingga banyak membuat orang geram.
Setelah menikah memang banyak godaan dalam menjalani hubungan.
Khususnya godaan dari orang ketiga yang menyebabkan adanya perselingkuhan.
Saking maraknya kasus perselingkuhan tersebut kini muncul istilah 'pelakor' yakni perebut laki orang dan 'pebinor' perebut bini orang.
• Gubernur Koster Tetapkan UMK Bali 2020, di Tabanan Upah Naik 8,51 Persen Menjadi Segini
• Berkaca dari Data Tahun Lalu, Kamu Bisa Coba Peruntungan Daftar CPNS 2019 di 5 Instansi Ini
Bila banyak bukti menyebutkan bahwa pasangan yang jadi korban perselingkuhan marah dan memutuskan berpisah, tetapi menurut penelitian, justru banyak perempuan yang memaafkan perselingkuhan pasangannya.
Dikutip dari Grid.id, menurut data statistik, diperkirakan bahwa hanya sekitar enam dari 10 laki-laki yang setia pada pernikahan dan hubungan rumah tangga mereka, artinya sisanya merupakan laki-laki yang tak setia dengan pernikahannya.
Akan tetapi meski begitu, hanya tiga dari 10 pernikahan dengan kasus perselingkuhan berakhir perceraian.
Artinya, tujuh dari 10 pasangan memilih mempertahankan rumah tangga dan pernikahannya.
Sehingga menurut sebuah studi, perselingkuhan bukan merupakan alasan utama mengapa pasangan ingin berpisah.
Bahkan, menurut ahli statistilk pernikahan, Grant Thornton, ia melihat kasus perselingkuhan di Inggris sebagai suatu hal paling umum tetapi justru dijadikan motivasi mempertahankan pernikahan yang paling umum.
Walaupun banyak masalah tak bisa dideteksi, tetapi banyak pasangan yang berhasil pulih dari ketidaksetiaan yang sempat dilakukan pasangannya.
Bahkan kini, perempuan mulai menoleransi perselingkuhan dan dugaan pengkhianatan yang telah dilakukan oleh suami mereka.
Namun ternyata pelakor dan pebinor bisa dipidanakan hingga dipenjara.
• Merasa Jauh dari Perasaan Bahagia? 7 Hal Ini Bisa Jadi Penyebabnya
• Dukung Gerakan Nasional Non Tunai, Pasar Jembrana Mulai Terapkan E-Retribusi
Dilansir oleh Kompas.com, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah sepakat untuk tetap memperluas pasal tindak pidana zina dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RKUHP).
Berdasarkan pasal 484 ayat (1) huruf e draf RKUHP hasil rapat antara pemerintah dan DPR per 10 Januari 2018, laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.
Namun, untuk menghindari munculnya praktik persekusi, DPR dan pemerintah sepakat untuk memperketat ketentuan dalam Pasal 484 ayat (2).
Pasal tersebut mengatur pihak-pihak yang dapat melaporkan atau mengadukan orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana zina.
Pasal 484 ayat (2) draf RKUHP menyatakan tindak pidana zina tidak bisa dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri atau pihak ketiga yang tercemar atau berkepentingan.
Frasa pihak ketiga yang tercemar atau berkepentingan kemudian diganti dengan suami, istri, orangtua, dan anak.
"Jadi tidak semua orang bisa mengadukan. Ayat 2 ini menegaskan delik aduan suami, istri, orangtua dan anak. Disepakati," ujar Ketua Panja RKUHP Benny K. Harman saat memimpin rapat tim perumus dan sinkronisasi RKUHP antara pemerintah dan DPR di ruang Komisi III, Kompleks Parlemen
Dalam rapat tersebut hadir Ketua Tim Pemerintah Pembahasan RKUHP Enny Nurbaningsih.
Setelah seluruh pasal disepakati dalam rapat tim perumus dan sinkronisasi, draf RKUHP akan dibawa ke rapat Panitia Kerja sebelum disahkan pada Rapat Paripurna.
Meski begitu, Akademisi Hukum Pidana Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, menilai perluasan ketentuan pasal perzinaan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RKUHP) justru berpotensi disalahgunakan.
• Buka Bisnis Rumah Makan Padang Petir, Atta Halilintar Mau Bawa Makanan Minang Go Internasional
• Umar Patek, Pelaku Bom Bali I Berpesan kepada Seluruh Kelompok Teroris di Indonesia
Menurut Agustinus, tak menutup kemungkinan perluasan pasal zina memunculkan tindakan kejahatan lain, yakni pemerasan.
"Apa yang akan terjadi (jika perluasan pasal zina disahkan)? Pemerasan. Ini ekses negatif yang kemungkinan bisa terjadi dan ini yang harus diantisipasi," ujar Agustinus dalam sebuah diskusi bertajuk 'Membedah Konstruksi Pengaturan Buku I Rancangan KUHP' di Kampus Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Kuningan, Jakarta Selatan.
Pasal 460 ayat 1 huruf e draf RKUHP per 2 Februari 2018 menyatakan, laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun.
Tindak pidana tersebut tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua atau anak.
Dalam KUHP sebelum revisi, perbuatan seksual di luar perkawinan tidak dikategorikan sebagai tindak pidana.
Perbuatan zina hanya dapat dipidana dengan mensyaratkan adanya ikatan perkawinan para pelaku.
Agustinus menjelaskan, dalam suatu hubungan seksual antara dua orang, bukan tidak mungkin salah satu pihak akan menekan pihak yang lain dengan memberikan ancaman untuk melapor.
Salah satu pihak dapat meminta kompensasi atau pemberian uang ke pihak lain jika tidak ingin dilaporkan.
Jika pasal tersebut nantinya disahkan, Agustinus khawatir ketentuan itu justru akan memfasilitasi seseorang dalam melakukan pelanggaran hukum.
"Saya khawatir justru UU akan memfasilitasi bentuk kejahatan semacam ini karena orang seperti diberi semacam power untuk bisa menekan melalui peraturan hukum," tuturnya.
(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Abdurrahman Al Farid/Sripoku.com/Tria Agustina)
Artikel ini telah tayang di tribunnewswiki.com dengan judul Pelakor dan Pebinor Ternyata Bisa Dipenjara, Kasus Selingkuh Marak di Indonesia, Ini Aturan Hukumnya