Cegah Munculnya Permukiman Kumuh, Dinas Perkim Gelar Sosialisasi Publik Rancang Ranperda RP3KP
Bagaimana kita supaya tidak terjadi lagi permukiman kumuh, artinya pendatang dan penduduk Bali yang membangun rumah menimbulkan kekumuhan baru.
Penulis: Wema Satya Dinata | Editor: Meika Pestaria Tumanggor
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Pemerintah Provinsi Bali melalui Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (PERKIM) menggelar kegiatan sosialisasi publik II dalam rangka merancang penyusunan Ranperda Rencana Pembangunan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP) di Aula Graha Sarwa Guna I, Kantor LPMP Provinsi Bali, Senin (2/12/2019).
Kepala Dinas PERKIM Provinsi Bali, Gede Pramana mengatakan tujuan digelarnya sosialisasi publik ini adalah untuk mendapatkan masukan-masukan terkait penyempuranaan Ranperda sehingga Bali bisa terbebas dari kawasan permukiman kumuh, serta ada perlindungan terhadap bangunan tradisional Bali.
“Bagaimana kita supaya tidak terjadi lagi permukiman kumuh, artinya pendatang dan penduduk Bali yang membangun rumah menimbulkan kekumuhan baru. Maka hal ini diatur dalam RP3KP,” kata Pramana saat ditemui usai sosialisasi.
• Tak Fokus Hitung Kalori, Diet Mediterania Miliki Keuntungan Lain Selain Turunkan Berat Badan
• Pipa SPAM Petanu Bocor, Distribusi Air PDAM di Dentim, Densel & Denbar Terganggu hingga Rabu Esok
• Perilaku Pasar Bergeser, Aprindo Bali Beri Edukasi untuk Mengenal Peluang Bisnis
Ia merasa khawatir munculnya permukiman kumuh karena banyaknya pendatang yang datang ke Bali.
Pertumbuhan penduduk sangat tinggi 2,14 persen.
Sedangkan kawasan permukiman yang ditetapkan di Bali adalah 10,44 persen pada luas wilayah sesuai dengan RTRW Provinsi Bali.
Disisi lain, lanjut dia, dari hasil konsultasi ke Kementerian Dalam Negeri, Ranperda ini mendapat dukungan dalam penyusunannya, karena Ranperda RP3KP Bali berbeda dengan Ranperda daerah lainnya.
Dalam Ranperda juga dimasukkan terkait bangunan tradisional Bali, termasuk permukiman tradisional dan non tradisional.
“Karena Bali adalah daerah pariwisata budaya. Itu yang penting disana. Ranperda ini diharapkan bisa dijadikan Pilot project dan acuan dari Pemerintah daerah lain dalam menyusun RP3KP,” ujarnya.
Menurutnya, Bali sebagai daerah tujuan wisata tetap mempertahankan budayanya. Sebenarnya Perda tentang RP3KP sama di seluruh Indonesia, tetapi Bali dinilai memiliki kearifan lokal yang harus ditonjolkan.
Kawasan permukiman yang perlu dipertahankan di Bali contohnya di Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Karangasem.
Di sana merupakan Kawasan permukiman tradisional Bali.
Pihaknya berharap bagaimana agar bangunan-bangunan di sana tidak berubah.
“Kalau berubah apa lagi yang bisa dilihat di sana,” ucapnya.
Selain itu, bangunan tradisonal Bali yang dinamakan sikut satak di beberapa tempat juga harus dipertahankan karena itu merupakan daya tarik pariwisata.
Agar tidak ada lagi permukiman kumuh di Bali, maka Pemprov Bali dirasa perlu mengatur dan bekerjasama dengan Kabupaten/Kota karena pengendaliannya ada di Kabupaten/Kota, termasuk juga pengendalian kawasan jalur hijau.
“Kita tetap berkoordinasi dengan Kabupaten/Kota untuk meminimize pelanggaran-pelanggaran tersebut,” sebutnya.
Terkait usulan hunian vertikal akibat kendala lahan, pihaknya masih mengkaji karena usulan ini masih menjadi pro dan kontra.
“Mengenai bangunan vertikal ini masih dilakukan sosialisasi karena masih ada pro dan kontra. Mungkin saja kedepan, karena adanya keterbatasan lahan yang ada di Provinsi Bali ini, sedangkan jumlah penduduk tidak bisa dibendung dan bertambah terus, baik dari kelahiran maupun penduduk pendatang,” jelas Pramana.
Saat ini, Pemprov Bali sudah membangun rumah susun yang dihuni oleh para ASN Pemprov.
Rusun tersebut berlokasi di Penatih, terdapat 90 kamar.
Yang tinggal disana adalah ASN yang statusnya lajang, dan hingga sekarang sudah terisi 87 kamar
Dalam Rusun itu cukup bersih karena kultur dan budaya Bali.
Orang Bali tidak sembarangan menggantung pakaian.
“Kembali lagi tergantung dari kultur orang yang tinggal disana (hunian vertikal),” tuturnya.
Ranperda RP3KP ini disebut sudah masuk dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) tahun 2020, dan baru akan dibahas mulai tahun 2020 mendatang bersama pihak DPRD Bali.
Disisi lain, nantinya juga akan diatur mengenai luas minimal rumah hunian.
Luas minimal rumah tersebut selanjutnya akan diatur dalam Pergub.
Saat ini luas rumah sederhana berkisar antara 0,6 sampai 0,7 are.
“Tapi menurut kami luas rumah yang layak itu minimal 1 are. Itu nanti kita akan diskusikan dengan Kabupaten/Kota,” kata Pramana.
Diungkapkannya Badung sudah mengeluarkan aturan bahwa luas kavlingan minimal satu are, bahkan Gianyar sudah menetapkan minimal 2 are.
Tujuannya agar masyarakat benar-benar mendapatkan rumah layak huni.
Kegiatan sosialisasi publik diikuti oleh Dinas permukiman se Bali, akademisi, LSM, pengamat permukiman, pengusaha konstruksi dan sebagainya. (*)