Sepanjang 2019, P2TP2A RSUP Sanglah Tangani 41 Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

Sepanjang tahun 2019, Pusat Pelayanan Terpadu Penyintas Perempuan dan Anak (P2TP2A) Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar menangani sebanyak

Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Tribun Bali/I Wayan Sui Suadnyana
Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Penyintas Perempuan dan Anak (P2TP2A) Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar Ida Bagus Putu Alit didamping Kasubag Humas RSUP Sanglah I Dewa Ketut Kresna saat ditemui Selasa (31/12/2019). 

Laporan Jurnalis Tribun Bali, I Wayan Sui Suadnyana

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Sepanjang tahun 2019, Pusat Pelayanan Terpadu Penyintas Perempuan dan Anak (P2TP2A) Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar menangani sebanyak 41 kasus kekerasan perempuan dan anak.

Sebanyak 41 kasus tersebut di antaranya berupa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap perempuan dewasa sebanyak 11 kasus, pemerkosaan 5 kasus, kekerasan seksual anak 21 kasus, dan kasus kekerasan pada anak 4 kasus.

Ketua P2TP2A RSUP Sanglah Ida Bagus Putu Alit mengatakan, selama 2019 semua kasus tersebut sudah diteruskan ke jalur hukum.

Menurut Alit, setiap rumah sakit juga ikut berperan dalam melaporkan kasus kekerasan yang ditangani bila mencapai kasus berat, mengingat kasus kekerasan bagaikan fenomena gunung es.

"Jumlah kasus berfluktuasi jika dibandingkan dengan tahun 2018 di mana mencapai 58 kasus," kata dia didampingi Kasubag Humas RSUP Sanglah I Dewa Ketut Kresna, Selasa (31/12/2019).

Wow, Biaya Parkir di Jalan Pantai Kuta Bayar Rp 10 ribu, Pengunjung Pilih Parkir di Badan Jalan

Polres Klungkung Ungkap 3 Kasus Pencurian di Penghujung Tahun

Dijelaskan olehnya, sesungguhnya setiap rumah sakit bisa melaporkan dugaan kekerasan berdasarkan pola luka dari hasil pemeriksaan medis yang dilakukan.

Jika terjadi pada anak-anak, maka setiap rumah sakit wajib melaporkan kasus kekerasan.

Sedangkan untuk kasus kekerasan yang menimpa korban dewasa, pelaporan tergantung pada derajat lukanya.

Derajat luka bisa dikatakan berat itu ada standarnya yakni sampai mengancam nyawa, menyebabkan kecacatan menetap, menghilangkan salah satu fungsi panca indera, kelumpuhan dan kelainan mental lebih dari empat minggu.

“Kalau derajat lukanya ringan atau sedang, itu masuk delik aduan. Jadi korban sendiri disarankan melapor. Sedangkan kalau yang dialami luka berat, itu rumah sakit yang melaporkan," tuturnya.

Dijelaskan olehnya, kasus yang ditangani oleh P2TP2A RSUP Sanglah adalah kasus domestic violence atau kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT).

Kasus ini dianggap kasus yang masuk pandora box cases yang artinya penuh misteri sehingga kasusnya seperti fenomena gunung es dan susah sekali untuk diungkap.

Pasar Tradisional Banyuwangi Kini Dilengkapi Ruang Kreatif buat Milenial

Awal Tahun 2020, Band Kyana Akan Rilis Karya dan Kenalkan Personel Baru

Kesulitan tersebut dilatarbelakangi tiga hal yakni hubungan pelaku dengan korban bersifat spesifik, seperti antara ayah dengan anak, suami dengan istri, dan sebagainya.

Selain itu, tempat kejadiannya adalah di lingkup rumah tangga yang sifatnya privasi.

“Korban juga enggan sekali melaporkan diri, sehingga terjadi lingkar kekerasan (cycle of violence). Ada siklus kekerasan yang terjadi, yang pada akhirnya pelaku akan minta maaf. Maka korban tidak akan pernah melaporkannya. Sesuai fenomena gunung es, yang kita dapatkan di rumah sakit pasti jauh lebih kecil dibandingkan kejadian di masyarakat,” paparnya.

Selama ditangani di RSUP Sanglah, beberapa bentuk kekerasan yang dialami korban seperti kekerasan fisik, seksual, psikologis, penelantaran, pengekangan, perendahan martabat hingga eksploitasi atau perdagangan manusia.

Penyebab kekerasan tidak hanya karena kondisi ekonomi dan sosial, tapi juga faktor biologis korban seperti keterbelakangan mental termasuk pengekangan yang membuat istri bergantung pada suami.

“Bukan semata-mata karena masalah ekonomi sosial saja, tapi juga disebabkan kompleksitas masalah hidup. Juga ketidakmengertian, terutama orangtua kadang-kadang kurang mengerti batas antara kekerasan dan pendidikan. Kadang-kadang kekerasan itu dianggap sebagai mendidik,” kata dia. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved