Perupa Agus Kama Loedin Pamerkan 31 Karya Seni Berbahan Kawat, Ambil Bentuk Ikonografi Jawa Klasik
Agus Kama Loedin merupakan seorang perupa yang berasal dari Indonesia tetapi lama tinggal di luar negeri. Sebelumnya, ia merupakan seorang fotografer
Penulis: Wema Satya Dinata | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Agus Kama Loedin dikenal sebagai seniman sejati. Dari menjadi seorang fotografer kini ia beralih menjadi seorang perupa.
Uniknya, karya seni rupa yang dihasilkan terbuat dari media kawat, khususnya kawat aluminum dan tembaga.
Seluruh karya seni yang telah berhasil dibuatnya selanjutnya dipamerkan di Santrian Art Gallery, Hotel Griya Santrian, Sanur Denpasar, mulai 10 Januari 2020.
Pameran solo bertajuk ‘Jaga Raga, Bara Jiwa’ akan berlangsung dari 10 Januari-28 Februari 2020, dan dibuka oleh Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Dewa Gde Palguna.
Dalam pembukaan juga diisi dengan pertunjukan seni dari komunitas seni Bali.
Dalam acara jumpa pers yang digelar sehari sebelum pameran, perwakilan pengelola Hotel Griya Santrian Made ‘Dolar’ Astawa mengatakan alasan mengundang Agus Kama Loedin untuk berpameran karena, pertama, ada sesuatu hal yang cukup menarik yang dilihat dari pencapaian karya-karya Agus Kama Loedin selama ini, yang notabena merupakan orang Indonesia tetapi tinggal di luar negeri.
Di sisi lain, dia masih sangat menjaga akar budaya Indonesia.
• Pramono Tanggapi Kasus Reynhard Sinaga, Mencoreng Wajah Kita
• Bali Masih Ketergantungan Bawang Putih dari Cina
“Hal ini memberi pesan kepada para perupa di seluruh Indonesia walaupun berada di luar negeri tetapi jangan melupakan akar budaya Indonesia,” kata Dolar, Kamis (9/1/2020).
Kedua, ada keunikan dari pemilihan bahan yang digunakan karena tidak hanya memakai cat di atas kanvas tetapi Agus juga mengelaborasi dengan media lain.
“Hal ini menjadi nilai lebih dalam melihat karya seni rupa,” ujarnya
Ketiga, latar belakang pendidikan Agus sebenarnya arkeologi dan fotografi, namun saat ini dia menekuni seni rupa.
Agus mengatakan karya anyaman-anyaman kawat aluminium dan tembaga berwarna-warni metalik yang dibentuk dalam berbagai rupa yang dibuatnya, mengambil inspirasi dari bentuk-bentuk ikonografi Jawa Klasik.
Pria kelahiran tahun 1962 ini mengolah konsep-konsep tradisi yang terkait dengan nilai-nilai kebudayaan nusantara kemudian dituangkan ke dalam karya seni rupa.
Tahun 2008, Agus memutuskan berhenti dari fotografi, dan beralih ke seni rupa.
• Terungkap Fakta Dari Jatuhnya Pesawat di Iran a Yang Menewaskan 176 Penumpang, Ada Kepala Rudal
• Ulah Bule Mabuk di Jalan Uluwatu Km 21, Makan 3 Korban hingga Dikejar Belasan Motor
Perpindahan dari seni fotografi ke seni rupa kawat ini, menurut Agus hanyalah kenyataan alam saja.
“Saya merasa tidak mampu bertanding dengan digital, karena saya analog. Mau ngomong ekonomi lebih mahal dibanding digital, analog saya harus beli film, harus cetak dan sebagainya,” kata dia.
Belum lagi kalau salah, maka pekerjaannya menjadi sia-sia karena kalau analog tidak bisa diedit.
Sedangkan jika menggunakan digital kalau salah tinggal delete saja.
“Kalau cetak salah, sudah selesai kita tidak bisa diperbaiki,” tutur pria yang pernah mengikuti pameran di Filipina dan Italia ini.
Kini, sudah sekitar 12 tahun dirinya menekuni seni rupa dengan media kawat.
Dikatakannya, perpindahan ke seni rupa kawat merupakan suatu pilihan.
Adapun karya terakhir Agus dalam seni fotografi adalah memfoto konstruksi jalan tol di Filipina.
Kesulitan yang dialami saat membuat karya seni dengan kawat adalah tangan menjadi sakit, lecet-lecet dan sebagainya.
• Dibantu Damkar Badung, BPBD Denpasar Tangani Kebakaran Rumah Kos di Padangsambian Kelod
Ia mengatakan tidak bisa memastikan waktu penyelesaian sebuah karya, karena tergantung dorongan dan keinginan untuk mengerjakan.
Sebuah karya bisa diselesaikan 2 minggu hingga 1 bulan.
Jumlah karya yang dipamerkan berjumlah 31 buah, terdiri dari 4 karya dua dimensi dan 27 karya tiga dimensi.
Adapun seluruh judul karya-karya yang dibuatnya berkaitan dengan Hindu Budha, seperti Abhaya Mudra, Witarkhamudra, Dharma Cakra Mudra, Moksa, Reikarnasi, Stupa, Roda Dharma, Pembukaan Teratai, Lingga Yoni, Vajra, Mayura, dan sebagainya.
Salah satu Penulis Buku Jaga Raga, Bara Jiwa, Anak Agung Sagung Mas Ruscitadewi menceritakan bahwa Agus Kama Loedin sangat ingin berkolaborasi dengan seorang sastrawan Bali yaitu Alm. Ida Bagus Palguna, namun hal itu tidak tercapai karena Palguna sudah lebih dulu berpulang.
Agus dikatakan pernah membantu Palguna di Leiden saat meneliti tentang naskah dan lontar.
Aguslah yang memberitahukan Palguna tentang konsep-konsep Hindu Budha yang ada dalam lontar tersebut, karena kebetulan latar belakang pendidikannya arkeologi.
Agus kemudian meminta Gung Mas untuk mendampinginya selama acara pameran di Bali.
“Dia merasa was-was ketika harus masuk ke budaya yang baru padahal Bali sangat welcome,” aku Gung Mas. (*)