Serangan Lalat Mas Mengganas di Kintamani, Tahun Ini Lebih Parah
jika buah-buahan tersebut tidak lagi tersedia, maka lalat mas akan menyerang tanaman hortikultura, seperti cabai milik warga
Penulis: Muhammad Fredey Mercury | Editor: Huda Miftachul Huda
TRIBUN-BALI.COM– Serangan lalat mas ke pohon cabai makin mengganas akhir-akhir ini.
Akibatnya produksi cabai di wilayah Kintamani dalam beberapa bulan terakhir mengalami penurunan.
Usut punya usut, kondisi ini tidak terlepas dari cuaca ekstrem hingga serangan lalat mas yang dirasakan kian mengganas.
Hal tersebut diungkapkan oleh Wayan Karta, Selasa (4/2/2020).
• Jelang Galungan, Harga Cabai Melonjak Hingga Rp 85 Ribu di Jembrana
• Harga Cabai Naik di Badung, Ini yang Akan Dilakukan TPID
• Harga Melonjak, Petani di Pangsan Badung Ini Tidak Paksa Cabainya untuk Segera Dipanen
Petani asal Dusun Yeh Mampeh, Desa Batur, Kintamani ini mengatakan jika serangan lalat mas terjadi setiap tahun.
Namun intensitas serangan hewan ini dirasa kian mengganas saat memasuki peralihan musim sejak akhir bulan Desember lalu.
“Memang terjadi setiap tahun. Namun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, serangan pada tahun ini cenderung lebih parah, karena bersamaan dengan cuaca ekstrem,” katanya.
Lalat mas atau juga dikenal lalat buah, jelas Karta, biasanya menyerang jenis tanaman buah.
Seperti alpukat, nangka, mangga, jeruk dan sebagainya.
Namun jika buah-buahan tersebut tidak lagi tersedia, maka lalat mas akan menyerang tanaman hortikultura, seperti cabai milik warga.
Ciri-ciri serangan lalat mas, lanjut Karta, pada biasanya terdapat bintik berwarna hitam pada buah yang disebabkan dari bekas tusukan lalat.
Bintik hitam tersebut jumlahnya bervariasi, tergantung dari jumlah lalat yang hinggap.
“Akibatnya buah akan membusuk, karena saat ditusuk lalat itu sekaligus menyimpan telurnya di sana. Ketika telur itu menetas dan menjadi larva, barulah buahnya akan rontok. Biasanya membutuhkan waktu sepekan, atau paling cepat lima hari untuk buahnya rontok,” jelasnya.
Ganasnya serangan lalat mas tidak dipungkiri berdampak pada penurunan produksi cabai, baik pihaknya maupun petani sekitar.
Jika normalnya dari lahan seluas hampir 30 are, Karta mampu menghasilkan sekitar 300 hingga 400 kilogram cabai rawit merah, dengan serangan lalat mas produksi cabai anjlok hingga 45 persen.
Di lain sisi, Karta mengatakan harga cabai saat ini sedang bagus-bagusnya.
• Puluhan Hektare Cabai di Karangasem Diserang Virus Kuning, Petani Gagal Panen Sejak Awal 2020
• Draf Jadwal Lengkap Bali United, Peluang Mudah dan Laga-laga Berat yang Dihadapi di Liga 1 2020
Peningkatan harga ini juga tidak terlepas karena pasokan cabai yang sedikit dibandingkan dengan permintaan.
Di mana per satu kilogram cabai rawit merah di tingkat petani, dihargai Rp 100 ribu hingga Rp 105 ribu.
Sedangkan untuk di pasaran, harganya mencapai Rp 125 ribu per kilogram.
Terlebih jelang hari raya Galungan, diperkirakan harga cabai di tingkat pasar mampu melonjak hingga Rp 150 ribu per kilogram.
“Dari 45 persen cabai yang gagal panen, kerugian pada masa pemeliharaan mencapai puluhan juta. Memang saya masih mendapatkan untung karena harganya sedang bagus. Tapi keuntungan itu juga tipis, mengingat biaya pemeliharaan juga membengkak akibat cuaca ekstrem," katanya. (*)