Dialog Sastra #69, Suguhkan Puisi Romansa Lintas Masa
Dialog Sastra #69 membahas seputar bagaimana kehadiran Generasi Millennial turut memunculkan trend baru perihal cara publik menikmati puisi
Penulis: Ni Kadek Rika Riyanti | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
"Siapakah sebenarnya Ratu yang dipanggil oleh Pameregan? Apakah ia kekasih gelap Pameregan? Atau Pameregan sedang ditimpa gulana hati, terkulai oleh asmara kekasih gelap, lalu menjadikan dia kasmaran dimabuk cinta?" tanya Wayan Westa, lebih kepada bait-bait puisi cinta Pameregan.
Lewat terjemahan Tusthi Eddy, begitu jelas menggambarkan bahwa dalam Geguritan Duh Ratnayu itu Pameregan sejatinya tengah memuja Parwati, dewi penguasa gunung, sakti Siwa.
Padanyalah kebaktian kreatif itu dipersembahkan, dipanggil sebagai Ratu.
Pentingnya membaca sastra klasik, menurut Wayan Westa, disamping bisa membaca tanda-tanda zaman, juga bisa membaca etos kreatif para bujangga di zaman dulu, sehingga sampai detik ini bisa mengilhami bagi para pengarang masa kini.
"Sastra klasik memberikan banyak nilai, petuah, moral dan sebagainya, dan jelas itu perlu dibaca sesulit apa pun. Sudah banyak ada penerjemah, sudah banyak ada alih-aksara, dan kita hanya perlu membaca dan meresapinya agar dapat terilhami dan dapat melakukan kematangan-kematangan jiwa," tutupnya.(*)