Ngopi Santai
Mengapa Makin Banyak Orang Kesepian di Tengah Keramaian?
Benarkah anda menggunakan gadget untuk benar-benar memudahkan kehidupan anda, sehingga kegiatan anda menjadi lebih efektif, efisien, hemat waktu dan
Penulis: Sunarko | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
Gadget, dalam hal ini smartphone, adalah temuan revolusioner abad ke-21 yang banyak membantu memudahkan kehidupan manusia. Profesor Cal Newport pun mengatakan begitu.
Tapi, coba jawab dengan jujur pertanyaan ini: benarkah anda menggunakan gadget untuk benar-benar memudahkan kehidupan anda, sehingga kegiatan anda menjadi lebih efektif, efisien, hemat waktu, hemat sumber daya lainnya dan bermakna (meaningful) ?
“Nature (watak asli) dari penciptaan teknologi digital (bahkan teknologi apapun) ialah untuk mempermudah kehidupan manusia, yang ujung-ujungnya diharapkan meningkatkan kualitas hidupnya,” ucap Cal Newport, guru besar Ilmu Komputer di Georgetown University, Amerika Serikat (AS), dalam buku terbarunya Digital Minimalism.
Tetapi, Cal melanjutkan. Dalam kenyataan, kata dia, teknologi yang nature-nya sebagai alat (tool) guna membantu manusia, kini justru memperalat manusia. Dan itu bukan karena kesalahan teknologi, melainkan kesalahan penggunanya.
• VIDEO Temukan Kebahagiaan dengan Diet Gadget
• Ponsel dan Makan Lahap, Apa Hubungannya?
• Berani Anda Puasa Medsos Sebulan?
“Teknologi diciptakan untuk memberi yang terbaik darinya kepada manusia. Namun kini yang terjadi justru sebaliknya, manusia memberikan apa yang terbaik dari dirinya kepada teknologi, yakni waktu berharganya. Manusia di era digital dewasa ini menghabiskan berjam-jam dalam sehari dengan perangkat teknologi, mungkin sampai nanti tersadarkan bahwa usianya telah terbuang percuma,” tandas Cal.
Jadi, pertanyaan kuncinya bukan pada apa saja manfaat yang dihadirkan oleh gadget, tapi seberapa besar manfaat gadget itu benar-benar anda manfaatkan. Jawabannya akan menunjukkan apakah gadget itu sebagai alat bagi anda ataukah anda justru diperalat/terperalat oleh gadget.
Dalam buku terbarunya Digital Minimalism: Choosing a Focused Life in a Noisy World, Cal Newport memberikan tips tentang bagaimana mendapatkan yang terbaik dari piranti teknologi, khususnya gadget, supaya ia tidak justru merampas apa yang terbaik dari kita.
1) Ketahui apa value (nilai) hidup Anda, dan dimana posisi gadget (baca: teknologi) berdasarkan value hidup anda.
Pahami bahwa perangkat teknologi adalah netral. Ia bukan hal buruk, juga bukan hal baik. Ia hanyalah perangkat, sehingga anda sebagai penggunanya-lah yang menentukan teknologi itu akan jadi baik atau buruk.
Berangkat dari value itu, anda bisa menetapkan tujuan (goal) sekaligus rules (aturan) dalam penggunaan perangkat teknologi bagi diri anda. Dari situ akan muncul prioritas-prioritas: kapan harus menggunakannya dan kapan mesti meletakkannya.
Adanya prioritas itu juga membuat bisa dibedakan apakah anda sedang bergadget karena tuntutan kepentingan yang tak terhindarkan (misalnya pekerjaan) dan butuh berapa lama untuk itu; ataukah anda pegang gadget untuk hal-hal yang sekunder bahkan tersier.
Aturan dan prioritas yang anda tetapkan ini akan membuat anda menjadi tahu bahwa anda telah melanggar batas atau tidak dalam memakai gadget, sehingga hilangnya waktu berharga dengan sia-sia karena bergadget-ria bisa dihindari.
Untuk diketahui, selain insinyur teknik, ahli psikologi perilaku dan ahli desain juga dilibatkan dalam merancang gadget beserta fitur-fiturnya, sehingga gadget menjadi nyaman dan familiar digunakan bahkan membuat ketagihan. Itulah yang disebut gamification atau efek seperti keasyikan main game saat sedang gunakan gadget.
Fenomena keasyikan bergadget-ria terjadi dimana-mana dewasa ini, dan kata Cal, mulai menimbulkan masalah yang cukup serius terkait kejiwaan. Yakni gangguan mental yang disebut FOMO (Fear of Missing Out). FOMO adalah perasaan takut atau cemas ketinggalan informasi dan dianggap kurang update (kudet) atau kurang gaul.
WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) telah memasukkan kekhawatiran dicap kudet sebagai jenis baru gangguan kejiwaan. FOMO masuk kategori anxiety disorder.
Karena itu, Cal menyodorkan jurus berikutnya agar tidak mengalami gangguan kecemasan FOMO. Apa itu?
• Berapa Kali Anda Mengecek Ponsel Dalam Sehari? Jangan-jangan Sudah Kecanduan Ponsel
2) Baliklah FOMO
Dikatakan Cal, istilah FOMO hanya ada dalam pergaulan di dunia maya (virtual), yang hakikatnya adalah semu.
Karena semu, pergaulan di dunia maya jelas tak sepenuhnya mewakili secara hakiki dunia nyata, meskipun –absurdnya—dunia maya kini sedang berubah menjadi (seperti) dunia nyata (contohnya: sentimen di dunia maya bisa pengaruhi pilihan politik di dunia nyata).
Padahal, kata Cal, hakikat kehidupan itu ya di dunia nyata. Relasi yang bermakna (meaningful ) itu ada di dunia nyata.
Kata seorang kawan, hidup nyata adalah hidup off-line, bukan on-line. Seberapa banyak like yang didapat di dunia maya tidak ada artinya bila kita mendapat banyak dislike di dunia nyata.
So, adalah aneh seseorang cemas tertinggal informasi dari dunia maya (takut dianggap kudet), tapi tidak merasa khawatir makin tidak memiliki waktu untuk menjalin relasi di dunia nyata secara face-to-face akibat waktunya dihabiskan untuk nge-gadget.
“Gangguan FOMO itu hanya muncul karena kebanyakan orang kini super-connected, tiada waktu tanpa bergadget. Coba kalau Anda mengurangi porsi waktu bergadget Anda, maka dengan sendirinya FOMO itu akan hilang ,” demikian ungkap Cal, yang juga penulis buku laris Don’t Follow Your Passion.
Dengan kata lain, baliklah FOMO. Perbanyaklah porsi waktu Anda tanpa koneksi internet, maka dengan sendirinya gangguan mental FOMO akan terkikis.
Sebagai tambahan, FOMO di era wifi ada di mana-mana ini memunculkan fenomena psikologis lanjutan, yakni merebaknya perasaan kesepian di tengah keramaian lalu-lintas komunikasi dunia maya.
Survei menunjukkan, dalam waktu sekitar 20 tahun terakhir, tingkat (perasaan) kesepian di kalangan warga di negara-negara maju melonjak dua kali lipat.
Kesepian adalah sebuah kondisi batin yang menekan dan menyakitkan karena merasa sendirian, terputus dan terisolir. Kesepian itu masuk kategori depresi. Dan depresi adalah salah-satu pemicu bunuh diri.
Dalam bukunya Back to Human, Dan Schawbel mengatakan:
“Gadget menciptakan ilusi bahwa seseorang telah memiliki pergaulan yang luas hanya karena dia banyak memiliki teman (friend) di grup WA, join banyak akun grup di FB dan telegram. Padahal ingat bahwa teman di medsos itu tidak otomatis teman yang benar-benar nyata,” kata Schawbel seperti dikutip CBS News edisi 13 November 2018.
Jadi, mulai sekarang perbanyaklah silaturahmi, kopi darat atau jenis-jenis hubungan akrab lainnya yang sifatnya offline. Survei menunjukkan, 70 persen kebahagiaan ditentukan oleh tingkat keakraban relasi kita di dunia nyata.
“Berkebalikan dari keyakinan umum bahwa kebahagiaan sulit dijelaskan atau kebahagiaan itu tergantung pada kepemilikan harta berlimpah, para peneliti telah berhasil mengidentifikasi faktor-faktor apa yang berpengaruh pada kebahagiaan hidup.
Faktor-faktornya antara lain jumlah teman, kedekatan pertemanannya, keakraban dalam keluarga, dan keakraban hubungan dengan rekan kerja serta tetangga. Semua faktor itu mempengaruhi 70 persen kebahagiaan seseorang (personal happiness)”. (Murray & Peacock 1996).
Karena itu, dalam bukunya Digital Minimalism, Cal Newport menganjurkan tips ketiga di bawah ini.
3) Beranilah mencoba sesekali tanpa smartphone.
Hiduplah secara analog, atau setidaknya lucuti fitur-fitur dan aplikasi dalam gadget Anda sehingga tinggal untuk menelepon (suara) dan kirim pesan saja. Bisa juga diterapkan ide menggunakan lagi hape jadul, yang fasilitasnya cuma untuk menelepon dan SMS.
Yakinlah bahwa jika orang benar-benar merasa penting untuk berkomunikasi dengan Anda, dia akan tetap berusaha menghubungi Anda meskipun tidak ada sambungan internet. Apakah dia akan menelepon Anda langsung atau setidaknya meng-SMS.
Dengan fitur dan aplikasi hape yang terlucuti, maka sekali waktu dalam sekian hari, Anda tidak terganggu oleh notifikasi atau bunyi-bunyi alert, yang biasanya menggoda Anda untuk tidak bisa lepas mantengin gadget. Toh Anda tak terputus dari komunikasi, karena masih ada hape jadul itu hehehe...
Dengan tahu batas atas dan batas bawah Anda dalam berhubungan dengan gadget, Anda bisa ambil titik tengah sebagai screen time yang wajar bagi Anda.
Bagaimana pendapat Anda?