7 Hal Seputar Rangkaian Galungan dan Kuningan di Bali yang Belum Banyak Diketahui

Setiap perayaan Galungan dan Kuningan siswa sekolah akan diliburkan selama 2 minggu.

Penulis: Putu Supartika | Editor: Eviera Paramita Sandi
Tribun Bali/M Firdian Sani
Suasana persembahyangan Galungan umat Hindu di Pura Agung Jagatnatha, Denpasar, Bali, Rabu (24/7/2019). 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR-  Hari Raya Galungan merupakan hari besar di Bali.

Setiap perayaan Galungan dan Kuningan siswa sekolah akan diliburkan selama 2 minggu.

Hari raya yang jatuh setiap enam bulan sekali ini dirayakan dengan meriah di Bali dan banyak orang menganggap bahwa hari Raya Galungan adalah hari kemenangan dharma atau kebaikan atas adharma atau kebatilan.

Ini beberapa hal tentang Galungan dan Kuningan yang belum banyak diketahui.

1. Rangkaian Galungan 42 Hari

Rangkaian Galungan merupakan rangkaian upacar terpanjang yakni selama 42 hari.

Hal ini dikatakan I.B. Putu Suamba penulis beberapa buku seperti Siwa Budha di Indonesia yang juga Dosen Politeknik Negeri Bali, dalam Rembug Purnama Bhadrawadha di Pura Jagatnata Denpasar saat Purnama Kasa beberapa waktu lalu.

Rangkaian Galungan dimulai dari Tumpek Wariga yang dirayakan pada Saniscara Kliwon Wariga hingga Buda Kliwon Pahang.

Dan selama rentang waktu tersebut ada beberapa hari Raya mulai dari Sugihan Jawa, Sugihan Bali, Penyekeban, Penyajaan, Penampahan Galungan, Umanis Galungan, Ulihan, Pemacekan Agung, hingga Kuningan dan berakhir saat Buda Kliwon Pahang.

2. Galungan Identik dengan Durga Puja

Mepeed, Barisan Ibu-Ibu menuju Pura Desa dan Pura Puseh untuk Menghaturkan Banten. (dokumen tribun bali)
I.B. Putu Suamba mengatakan panugrahan Bhatari Durga kepada Raja Jayasunu mengandung pemaknaan bahwa Galungan berkaitan dengan Durga Dewi

Saat Penampahan Galungan menurut Suamba ada penyembelihan babi dan binatang lainnya, yang memperlihatkan aspek-aspek Tantrayana yang terlibat di dalam pemujaan Durga Dewi pada saat Galungan.

"Sama dengan yang dilaksanakan di beberapa wilayah di India dan Nepal, penyembelihan binatang dilaksanan. Sebagai diketahui sadhana di dalam ajaran Tantrayana menggunaka Panca Ma, yaitu Mamsa (daging), Mada (minuman keras), Matsa (ikan), Mudra (biji-bijian) dan Maithuna (hubunagn seks). Aspek-aspek ini terlibat di dalam pemujaan pada hari Galungan," katanya.

Pegiat lontar yang juga Dosen Bahasa Bali Unud, Putu Eka Guna Yasa juga mengatakan Galungan identik dengan Durga Puja karena ada prosesi penampahan yang dilaksanakan sehari sebelum Galungan

"Dan bisa jadi jaman dahulu yang dipotong juga kerbau sebagai lambang Mahesasura Mardini dan di Buleleng maupun beberapa daerah di Tabanan masih ada tradisi nampah kerbau. Itu identik dengan pemujaan Durga atau ibu alam semesta sebagaimana bahasa Mpu Sedah dan Mpu Panuluh dalam Kekawin Arjuna Wiwaha," kata Guna.

3. Identik dengan Raja Jaya Kesunu

Dalam lontar Sri Aji Jaya Kesunu diuraikan bagaimana awalnya perayaan Hari Raya Galungan.

Menurut Putu Eka Guna Yasa dalam lontar Sri Aji Jaya Kesunu diceritakan bahwa raja-raja yang memerintah sebelum Raja Jaya Kesunu mengalami penderitaan yang luar biasa seperti adanya gering atau penyakit, banyak warga masyarakat yang mengalami musibah.

"Dianggap pada waktu itu Bhuta Dunggulan tidak mendapat labaan sehingga kemudian ada bencana di wilayah kerajaan Bali," kata Guna yang ditemui Senin (28/5/2018) siang.

Dengan adanya gering dan kesengsaraan yang melanda Bali, Raja Jaya Kesunu lalu melakukan tapa brata.

Saat melakukan tapa brata, ia didatangi Bhatari Durga dan diberikan informasi agar melaksanakan Hari Suci Galungan supaya tidak terjadi kegeringan atau musibah.

"Setelah melaksanakan Galungan ini menurut teks ini tidak terjadi lagi musibah tersebut," imbuhnya.

4. Ada Peringatan Agar tak Lupa Melaksanakan Galungan

IB Suamba mengatakan Galungan tidak pernah ke-cuntakaan-an, artinya tidak pernah berhenti melaksanakan Galungan karena kematian atau keadaan-keadaan lain.

Selain itu, Raja Jaya Kesunu, seorang raja di Bali pada masa lalu memperingatkan kepada umat Hindu agar tidak pernah lupa melaksanakan Galungan apabila manusia dan masyarakatnya ingin hidup sehat, tentram dan bahagia.

“Usia raja-raja di Bali pada masa itu pendek (cendek tuwuh) karena Galungan tidak lagi dilaksanakan," katanya.

5. Ada Tiga Jenis Galungan

Ada tiga jenis Galungan yang dilaksanakan di Bali yakni Galungan biasa, Galungan Nadi, dan Galungan Nara Mangsa.

IB Suamba mengatakan, apabila Galungan bertepatan dengan Purnama disebut Galungan Nadi.

Apabila bertepatan dengan Tilem pada Sasih Kesanga disebut Galungan Nara Mangsa.

Ada nuansa yang sangat berbeda pada kedua jenis Galungan ini.

Pada Galungan Nadi ada kesan terang, gembira, bersih, suci, meriah, dan tenang berkat pengaruh benda angkasa bulan.

Sementara pada Galungan Nara Mangsa ada kesan gelap, menyeramkan, sedih.

“Ada bahaya akan muncul apabila tidak melengkapi banten Galungan dengan segeh tertentu," katanya.

Suamba mengatakan pelaksanaan Galungan biasa,  Galungan Nadi, dan Galungan Nara Mangsa ada sedikit perbedaan menyangkut sarana upacara.

Yang menonjol, pada Galungan Nara Mangsa tidak ditancapkan penjor serta ada caru dipersembahkan di lebuh (halaman luar).

Unsur kemeriahan tidak muncul di dalam Galungan Nara Mangsa karena selalu diasosiasikan dengan kekuatan Bhuta Kala yang siap mengganggu manusia.

6. Ada Tiga Bhuta yang Turun ke Dunia Sebelum Galungan

Sebelum Galungan akan turun Sang Kala Tiga yang akan mengganggu, bahkan menguasai indria manusia.

Jika tak mempu mengendalikan diri makan akan dikuasai oleh tiga Kala itu.

Bhuta ini mulai turun saat Minggu Paing Dunggulan atau saat Penyekeban dimana saat itu turun Bhuta Galungan.

Selanjutnya pada Senin Pon Dunggulan akan turun Bhuta Galungan.

Dan saat Penampahan Galungan turun Bhuta Amangkurat.

7. Tak Ada Hari Baik untuk Pernikahan

Selama perayaan Galungan dan Kuningan bahkan hingga wuku Pahang tak ada hari baik atau dewasa untuk melakukan upacara pernikahan.

Lamanya tak ada dewasa ini yakni 42 hari.

21 hari sebelum Hari Raya Galungan merupakan batas akhir untuk seseorang melakukan upacara pernikahan.

Setelah itu, sampai dengan Rabu Kliwon Pahang atau biasa disebut Pegatwakan tidak ada lagi dewasa atau hari baik untuk melangsungkan upacara pernikahan.

Menurut Wakil Ketua PHDI Bali, Pinandita Ketut Pasek Swastika, saat 21 hari sebelum Galungan atau yang disebut selikur dina Galungan banyak orang yang melangsungkan upacara pernikahan.

Menurutnya, ada lima alasan kenapa banyak orang yang menikah pada saat 21 hari sebelum Galungan.

"Pertama hal itu merupakan dresta atau kebiasaan di Bali bahwa 21 Galungan merupakan batas waktu orang melangsungkan upacara pernikahan. Sehingga sebelum itu hingga saat 21 hari sebelum Galungan banyak orang yang akan melangsungkan pernikahan," katanya.

Kedua, pelaksanaan pernikahan sebelum Galungan ini erat kaitannya dengan upacara mepinton atau melapor secara niskala kepada Bhatara Kawitan.

Mepinton ini dilaksanakan melalui merajan, Pura Pemaksan, Pura Dadia, Pura Panti, dan Pura Kawitan, juga Pura Kahyangan Tiga atau pura lain yang ditunjuk sesuai kebiadaan di daerah masing-masing.

Sebelum mepinton dilaksanakan upacara makalakalaan dan widiwidana di Sanggah Pakamulan yang selanjutnya adalah mepinton.

Ketiga, orang menikah memiliki tujuan untuk melahirkan anak suputra.

Ini berarti, jika dilaksanakan setelah Galungan akan terlalu lama untuk menunggu Galungan berkutnya karena tidak ada dewasa.

"Jadi untuk menunggu Galungan berikutnya pasti sudah berhubungan badan sehingga bibit atau manik sudah terproses namun belum mendapat ijin dari Bhatara Kawitan karena belum mepinton. Karenanya pernikahan dilaksanakan 21 hari sebelum Galungan sekaliguas mepinton sehingga manik yang terbentuk dalam kandungan sudah mendapat ijin Bhatara Kawitan," katanya.

Keempat, ada istilah Pegatwakan dimana selama 42 hari dari 21 hari sebelum Galungan sampai Budha Kliwon Pahang tidak ada dewasa.

"Kalau nganten di Manis Galungan atau Manis Kuningan berarti tidak boleh melangsungkan widiwidana atau manusa yadnya. Tidak tertutup kemungkinan setelah perempuan dipinang akan berhubungan badan, artinya tidak sah karena tidak dibolehkan oleh sastra berhubungan badan kalau belum diresmikan," paparnya.

Kelima, berkaitan dengan Tumpek Wariga atau Tumpek Bubuh.

"Alam ini diciptakan oleh Tuhan beserta isinya dan ada namanya Tumpek Wariga atau Tumpek bubuh. Berarti manusia bagian dari ciptaan itu supaya diberikan roh agar terlahir anak yang suputra," jelasnya.

Terkait hal ini, ia mengatakan salah satunya termuat dalam Lontar Ngemban Wong Beling dan ada pada beberapa lontar lainnya.

"Itulah kenapa selikur Galungan banyak orang yang nganten, setelah itu sudah tidak ada dewasa atau hari baik. Untuk pelaksanaan Dewa Yadnya masih bisa, sedangkan untuk Manusa Yadnya tidak boleh terkecuali otonan atau nyambutin karena membawa dewasa sendiri," jelasnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved