Ngopi Santai
Orang-orang Ternama
Badan kesehatan dunia, WHO, mengambil keputusan tepat. Status covid-19 adalah pandemi. Pagebluk global.
Penulis: DionDBPutra | Editor: Ady Sucipto
Sebagai bahan refleksi – bukan perbandingan apple to apple – menarik artikel yang dibagikan Pater Otto Gusti, ketua Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Maumere - Flores di akun Facebook-nya 12 Maret pukul 09.42.
Pater Otto memberi catatan pengantar untuk artikel yang dipublikasikan https://perspektive-online.net sebagai berikut.
Virus apa yang lebih berbahaya - Corona atau kapitalisme? Menurut artikel ini, 405.000 orang meninggal dunia karena malaria pada tahun 2018 dan pada tahun 2017 terdapat 1,5 juta penduduk di seluruh dunia yang menemui ajalnya karena TBC.
Tapi mengapa kedua bencana ini kalah dalam pemberitaan dibanding dengan corona? Juga anggaran riset untuk kedua penyakit ini jauh di bawah anggaran riset corona. Jawabannya: nyawa orang miskin jauh lebih murah di mata kapitalisme.
Mariya Kargar dalam artikel berjudul “Welcher Virus ist tödlicher – Corona oder Kapitalismus?” menyentil sejumlah fakta menarik. Saya kutip beberapa.
Selama berminggu-minggu sampai sekarang, media di Eropa melaporkan infeksi mematikan yang disebabkan virus Corona. Menciptakan kegemparan dan kepanikan.
Memang benar negara wajib menjaga kesehatan masyarakat dan memerangi penyakit dengan segala cara yang mereka bisa.
Tetapi mengapa virus Corona menjadi masalah besar dan negara-negara habiskan dana jutaan untuk penelitian dan perang melawannya.
Mengapa penyakit lain yang bunuh ratusan ribu orang saban tahun, seolah tak masalah dan Anda tidak membaca artikel tentang itu di koran, melihat tayangan TV dan tidak ada pertemuan darurat Organisasi Kesehatan Dunia?
Kargar melukiskannya sebagai kemunafikan dan ketidakadilan dalam sistem kesehatan dunia.
Pada tahun 2018, lebih dari 405.000 orang meninggal karena malaria dan 140.000 orang akibat campak di seluruh dunia.
Tahun 2017, sebanyak 1,5 juta orang terbunuh karena TBC. Negara miskin paling terpengaruh. Semuanya hilang. diagnostik, logistik, pembiayaan dan obat-obatan.
Alasannya adalah karena uang tidak mencukupi digunakan untuk kesehatan semua orang di dunia.
Mengapa jutaan orang harus mati karena penyakit terkenal di abad ini, meskipun ada cukup uang dan teknik canggih untuk menghilangkan selamanya?
Menurut dia, jika negara-negara Uni Eropa, AS, China memberikan perhatian dan investasi bagi penyakit lain kurang lebih sama dengan perhatian terhadap Corona, maka tidak ada yang harus mati karenanya.
Virus lain dengan tingkat dan konsekuensi kesehatan yang jarang dibahas adalah perang. Ribuan orang mati setiap hari karena perang.
Jutaan penduduk juga meninggalkan rumah mereka untuk mencari tempat yang aman.
Mereka adalah orang-orang dari negara yang memiliki tanah kaya tetapi miskin. Orang miskin, yang penguasanya menukar minyak dan gas tanah air mereka dengan senjata dari Jerman, Amerika Serikat dan Rusia. Mereka mati dan sebagian melarikan diri dari negerinya.
Di Suriah, 470.000 orang tewas dalam delapan tahun terakhir, dan lebih dari 10 juta dalam pelarian. Sebesar 35 persen dari populasi penduduk tidak memiliki akses ke air minum dan menggunakan air yang tercemar.
Sejak pertempuran di Yaman dimulai tahun 2015, lebih dari 3,6 juta orang telah melarikan diri dari negara itu, 16.000 warga sipil tewas dalam pertempuran dan setidaknya 10.200 terluka.
Sebanyak 24,1 juta orang - lebih dari 80% populasi - bergantung pada bantuan kemanusiaan.
Kurang lebih 16,4 juta warga Yaman tidak memiliki kesempatan mendapatkan perawatan medis dasar dan hampir 18 juta orang tidak memiliki akses ke air minum yang aman.
Kolera telah berkembang biak selama tiga tahun terakhir. Lebih dari sejuta orang terpapar sejak 2016 dan lebih dari 2.000 meninggal dunia.
Tetapi mengapa tidak semua bencana manusia ini - yang sebagian besar disebabkan oleh negara-negara imperialis yang kaya - menjadi berita utama di media Eropa?
Mengapa tidak ada protes di media tentang jutaan anak-anak yang kekurangan gizi ini? Mengapa tidak ada keadaan darurat yang diumumkan?
Jelas karena kehidupan kelas miskin dan tertindas itu murah dan tidak berharga bagi kelas penguasa. Dan, itu juga berarti pertanyaan kesehatan selalu merupakan pertanyaan kelas.
Kita seharusnya tidak mengharapkan keadilan dan perawatan kesehatan yang layak untuk semua dari sistem seperti itu.
Demikian sentilan Kargar dalam artikelnya. Boleh jadi tak semua sependapat dengannya.
Tapi setidaknya artikel ini memberi sudut pandang berbeda di tengah euforia berita virus Corona.
Saya senang mengutipnya. Semoga bermanfaat juga bagi tuan dan puan. Mohon maaf kalau tak berkenan. (dion db putra)