Obituari Nyoman Tusthi Eddy, Dalam Kondisi Sakit Bercita-cita Terbitkan Empat Buku
Anak keempat Nyoman Tushti Eddy, Budi Sastrawan mengatakan selama ayahnya sakit bercita-cita bisa menerbitkan empat buku.
Penulis: Putu Supartika | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika
TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR- Minggu (15/3/2020) malam bertempat di Bentara Budaya Bali, Gianyar, Bali, digelar acara Obituari Nyoman Tusthi Eddy.
Diketahui sebelumnya jika penulis sekaligus guru kelahiran Pidpid, Karangasem 12 Desember 1945 ini meninggal pada 17 Januari 2020 lalu.
Dalam acara ini hadir keluarga dari almarhum termasuk istri dan anaknya.
Adapun pembicara dalam acara ini yakni Dosen IKIP PGRI Bali, I Made Sujaya bersama sastrawan Warih Wisatsana.
• Angkat Kearifan Lokal Bali, Guru Berkarya Terbitkan 6 Buku Cerita Anak
• Respon Situasi Covid-19, Ruangguru Bekerjasama dengan Telkomsel, Belajar di Ruangguru Bebas Kuota
• Gianyar Batalkan Perayaan HUT Kota Gianyar, Antisipasi Penyebaran Corona
Dalam kesempatan tersebut, anak keempat Nyoman Tushti Eddy, Budi Sastrawan mengatakan selama ayahnya sakit bercita-cita bisa menerbitkan empat buku.
Bahkan beberapa naskahnya sudah hampir rampung.
"Dalam keadaan sakit beliau tetap menulis. Dari empat itu yang sudah terbit baru satu yakni Bulan Bergeser di Langit dan Osah yang masih dalam proses. Ada juga naskah yang masih kurang satu bab yakni Perkembangan Sastra Bali Modern," kartanya.
Bahkan dalam keadaan sakit, tetap menulis walaupun tidak semaksimal saat sedang sehat.
Dirinya juga mengatakan koleksi buku almarhum sebanyak 4.050 di rumahnya dan bisa dibaca oleh siapapun.
"Beliau memiliki koleksi 4.050 buku dan beliau berpesan siapapun bisa masuk dan membaca buku beliau. Sering bilang ke saya, jika ingin pintar dan cerdas harus baca buku. Buku apa saja yang diminati," katanya.
Walaupun kini anak-anaknya belum ada yang mewarisi kemampuannya dalam bersastra, namun ia yakin jika kelak pasti ada yang mewarisi bakat ayahnya.
Sementara itu pembicara dalam acara ini, I Made Sujaya mengatakan dirinya mengatakan bertemu intens sebanyak tiga kali dengan almarhum.
Pertama saat mahasiswa, ketika menggarap skripsi dan saat menjadi juri di Balai Bahasa Bali.
Sujaya mengatakan jika Tusthi Eddy adalah pekerja keras, Ia tak kenal kata puas dan berhenti dalam menulis.
"Beliau pernah mengatakan tidak ada jalan pintas di dunia sastra, walaupun bukan pandangan orisinilnya tapi itu memperlihatkan bagaimana sikapnya dalam proses kreatifnya berkarya," katanya.
Sedikitnya sudah 20 buku yang diterbitkan selama hidupnya dari berbagai genre mulai dari karya berbahasa Bali, berbahasa Indonesia maupun karya terjemahan.
Sujaya juga menganggap jika Tusthi Eddy juga seorang intelektual sastra.
"Beliau mengakui jika dirinya lebih menikmati menulis nonfiksi terutama esai. Esai dikatakan sebagai karya blasteran, bisa dibilang ilmiah bisa juga tidak," katanya.
Sementara itu, Warih Wisatsana mengatakan banyak penulis yang berhutang nasib baik pada Tusthi Eddy.
"Saya banyak dapat kata kunci sastra dari Pak Tusthi Eddy. Beliau memberikan perspektif mendalam terkait menulis puisi yang bukan hanya kata-kata indah semata tapi penegasan sikap pada berbagai hal," katanya.
Bahkan menurut Warih, Tusthi Eddy juga banyak mengkritik keadaan saat ini semisal berkaitan dengan pariwisata yang tak selamanya berfaedah, namun bisa mengakibatkan kehancuran jika tidak dikelola secara cerdas. (*)