Gerubug Bah Bedeg, Wabah Mengerikan Pernah Menerjang Bali dan Tercatat dalam Lontar
Menurut budayawan dan pegiat lontar, Sugi Lanus, dulu Bali pernah terpapar atau terkena wabah mengerikan.
Penulis: Putu Supartika | Editor: Eviera Paramita Sandi
“Kata gerubug bisa dipakai ketika ternak mati mendadak serempak, dan juga kematian manusia yang terjadi serempat dan mewabah,” paparnya.
Istilah gerubug ini banyak disebut dalam lontar-lontar Bali seperti Usada buduh, Usada Rarae, Usada kacacar, Usada Tuju, usada Paneseb, Usada Dalem, Usada Ila, Usada bebai, Usada Ceraken Tingkeb, Usada Tiwang, Usada Darmosada, Usada Uda, Usada Indrani, Usada Kalimosada, Usada Kamarus, Usada Kuranta Bolong, Usada Mala, Usada Rukmini Tatwa, Usada Smaratura, Usada Upas, Usada Yeh, Usada Buda Kecapi, Usada Cukil Daki, Usada Kuda, Usada Pamugpug, dan Usada Pamugpugan, dan lontar lainnya.
“Kita mengenal ratusan penyakit (gering) yang pernah menimpa masyarakat Bali. Lontar ini adalah bukti kalau Bali pernah terpapar berbagai wabah. Salah satunya yang sangat ditakuti adalah gerubug,” katanya.
Bahkan menurut Sugi Lanus, di Dukuh Penaban, Karangasem memiliki tarian Canglongleng.
Tari ini mengisahkan ketika Dukuh Penaban mengalami gerubug.
Kemudian ada orang pintar di desa mendapat pawisik untuk mengusir gerubug ini.
“Dilakukanlah upacara mecaru atau suguhan dengan mengogong Ida Bhatara dengan busana poleng atau hitam putih. Sambil bersorak sorak ‘aahh iiihhh uuuhhh..’ Setelah itu dilakukan gerubug pun hilang. Bendesa Dukuh Penaban menyebutkan tarian itu sampai saat ini selalu ditarikan setiap ada upacara atau aci di Pura Puseh Desa Dukuh Penaban,” katanya.
Sehingga dengan pengalaman di masa lalu ini, menurutnya masyarakat harus waspada.
“Bhuta-Kala dan Dewa itu juga ciptaan Hyang Widhi. Ada kalanya Bhuta-Kala lewat atau nyelang margi (pinjam jalan), maka kita yang menepi dan mabrata mengurung diri. Artinya juga kita diminta melakukan brata. Kalau sudah selesai paragin nyane (jalan mereka) kita bisa keluar sebagai mana mestinya. Bahkan Gunung Agung meletus kita orang Bali menyebut kalau Ida makarya tur mamargi (Beliau bekerja dan berjalan). Kalau kekuatan alam sedang bergerak, kita yang nalar dan eling yang minggir dan menepi,” katanya. (*)