Corona di Indonesia

Bali Punya Petuah Diam di Rumah di Musim Sakit, Pemerintah Terapkan Social Distancing Dua Pekan

Ternyata di Bali pun ada kearifan lokal yaitu tak keluar rumah di musim sakit. Hal tersebut dikatakan budayawan dan pegiat lontar Sugi Lanur.

Penulis: Putu Supartika | Editor: Ady Sucipto
Tribun Bali/Rizal Fanany
Situasi di Jalan Legian, Kuta, Badung, Bali terlihat lengang, Sabtu (21/2/2020).   

Menurut Sugi Lanus, tak jauh dari Desa Kalianget, terdapat cerita rakyat tentang asal-usul nama Desa Sidatapa yang punya kenangan tentang wabah yang menghancurkan desa.

“Mereka menyebutnya sebagai Gering Gerubug Bah Bedeg. Menurut cerita orang-orang tua ada wabah besar terjadi di Desa Sidatapa. Secara temurun dikisahkan dahulu Sidatapa bernama Desa Gunung Sari. Cikal-bakalnya ada kelompok keluarga yang terpisah-pisah tinggal di pedusunan Leked, Kunyit dan Sengkarung. Ketiganya bergabung membentuk desa, dinamakan Desa Gunung Sari,” imbuhnya.

Beberapa tahun kemudian, desa yang tenang ini berubah mencekam. Banyak kematian tiba-tiba dan tak masuk akal yang membuat warga ketakutan.

Kemudian datang seorang pertapa yang membantu  sehingga warga terselamatkan. “Desa ini kemudian namanya diganti menjadi Desa Sidatapa. Desa yang selamat karena seorang pertapa ‘siddha’ (berhasil) melakukan ‘tapa’,” katanya.

Tak hanya penduduk Sidatapa, Desa Pedawa, Desa Banjarasem dan Desa Kalisada pun mengenal kisah gerubug dan mereka mengenal Gering Bah Bedeg.

Masyarakat Desa Julah termasuk Sembiran, kecamatan Tejakula, punya kisah mengenai tanaman gerubug, sakit gede, bah bedeg dan gering agung. Jika penduduk keluar desa, mereka bawa daun intaran atau mimba (azadirachta indica).

“Menurut sejarahnya daun ini menyelamatkan masyarakat Julah dari gerubug. Intaran (mimba) menjadi tanaman yang wajib ada di setiap rumah.

Tanaman ini di Julah sangat disakralkan karena jasa menyelamatkan leluhurnya, dan khasiatnya sampai sekarang terbukti menyembuhkan berbagai penyakit. Intaran terus dipakai sampai saat ini sebagi sarana upacara seperti tepung tawar. Daunnya diusapkan di tangan untuk mematikan bakteri,” katanya.

Sugi Lanus mengatakan gerubug memiliki arti wabah yang menelan kematian mendadak dan serempak, tak ditemukan gejala lama, langsung mewabah dan menewaskan.

“Kata gerubug bisa dipakai ketika ternak mati mendadak serempak dan juga kematian manusia yang terjadi serempak dan mewabah,” paparnya.

Istilah gerubug banyak disebut dalam lontar-lontar Bali seperti Usada buduh, Usada Rarae, Usada kacacar, Usada Tuju, usada Paneseb, Usada Dalem, Usada Ila, Usada bebai, Usada Ceraken Tingkeb, Usada Tiwang, Usada Darmosada, Usada Uda, Usada Indrani, Usada Kalimosada, Usada Kamarus, Usada Kuranta Bolong, Usada Mala, Usada Rukmini Tatwa, Usada Smaratura, Usada Upas, Usada Yeh, Usada Buda Kecapi, Usada Cukil Daki, Usada Kuda, Usada Pamugpug, Usada Pamugpugan dan lontar lainnya.

“Kita mengenal ratusan penyakit (gering) yang pernah menimpa masyarakat Bali. Lontar ini adalah bukti kalau Bali pernah terpapar berbagai wabah. Salah satunya yang sangat ditakuti adalah gerubug,” katanya.

Bahkan menurut Sugi Lanus, di Dukuh Penaban, Karangasem memiliki tarian Canglongleng. Tari ini mengisahkan ketika Dukuh Penaban mengalami gerubug.

Kemudian ada orang pintar di desa mendapat pawisik untuk mengusir gerubug ini.  “Setelah itu dilakukan, gerubug pun hilang. Bendesa Dukuh Penaban menyebutkan tarian itu selalu ditampilkan setiap ada upacara atau aci di Pura Puseh Desa Dukuh Penaban,” katanya.

Mengacu pada pengalaman masa lalu ini, menurutnya, masyarakat harus waspada. “Bhuta-Kala dan Dewa itu juga ciptaan Hyang Widhi.

Halaman
123
Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved