Sosiolog Unud Ungkap Teori Hambat Penyebaran Virus, Manakah yang Lebih Cocok?

Sosiolog Universitas Udayana (Unud) Wahyu Budi Nugroho mengemukakan, ada sebuah teori kekebalan komunitas atau herd immunity

Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Wema Satya Dinata
Pixabay
Ilustrasi penanganan virus corona - 

Laporan Jurnalis Tribun Bali, I Wayan Sui Suadnyana

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Saat ini, dunia termasuk Indonesia khususnya Bali, sedang berperang menghadapi pandemi dari Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2).

Namun ternyata, ada teori yang bisa dipakai untuk menghambat penyebaran dari suatu virus.

Sosiolog Universitas Udayana (Unud) Wahyu Budi Nugroho mengemukakan, ada sebuah teori kekebalan komunitas atau herd immunity dalam upaya menghambat penyebaran sebuah virus.

Teori kekebalan komunitas atau herd immunity dibagi dalam dua cara.

Cegah Corona, Bisa Perkuat Daya Tahan Tubuh dengan Temulawak

Setelah PSSI Hentikan Kompetisi, Bali United Libur Hingga 29 Mei 2020

Pertama, pencegahan penyebaran virus dengan sistem buatan yakni dengan vaksinasi.

Lalu yang kedua dengan cara alamiah, yakni membiarkan penyebaran virus hingga sebagian besar masyarakat terjangkiti.

Jika sebagian sudah terjangkit mqka dengan sendirinya akan kebal terhadap virus tersebut.

Pengertian yang kedua dapat pula disebut sebagai natural herd immunity atau “kekebalan komunitas alami”.

Wahyu menyebut, apabila pemerintahan suatu negara mengambil kebijakan natural herd immunity sebagai solusi pandemi yang meluas, maka tak diragukan lagi jika mereka mengambil kebijakan bernuansa “malthusian” dan “spencerian”.

Bukan Manusiawi

Dipaparkan oleh Wahyu, Thomas Robert Malthus mencetuskan teori yang terkenal mengenai pertumbuhan penduduk sebagai deret ukur, sedangkan pertumbuhan bahan pangan layaknya deret hitung.

"Ini artinya, pertambahan populasi penduduk akan meloncat meninggalkan persediaan bahan pangan," kata Wahyu melalui keterangan tertulisnya.

Guna mengatasi permasalahan itu, dijelaskan Wahyu, Malthus menyampaikan ihwal “eliminasi populasi” seperti perang, bencana alam, kelaparan atau gagal panen, juga wabah penyakit.

 Namun, Malthus menyatakan bahwa serangkaian hal itu bukanlah solusi terbaik dikarenakan tidak manusiawi. Apalagi, Malthus sendiri merupakan seorang pendeta.

 "Malthus kemudian lebih menyarankan penundaan pernikahan dan pembatasan jumlah anak," tuturnya.

Namun sayangnya, dimensi moral dari pemikiran Malthus dihilangkan oleh beberapa pengikut Malthus atau yang lebih dikenal Malthusian.

Beberapa Malthusian seperti Charles Trevelyan, Lord Lytton, serta Ernst Haeckel, kata Wahyu, lebih berfokus pada eliminasi populasi, karena dinilai sangat efisien.

"Mereka menganggap perang, bencana alam, kelaparan, dan wabah penyakit sebagai sesuatu yang lumrah, wajar, dan dapat dimaklumi demi menjaga pasokan pangan atau sumberdaya," jelasnya.

Ancam Kelompok Rentan

Lebih jauh Wahyu mengatakan, jika kebijakan natural herd immunity dipilih oleh suatu negara dalam mengatasi penyebaran virus maka ini dapat mengancam kelompok masyarakat rentan, terutama manula.

 Bahkan kebijakan itu dapat mengeliminasi satu generasi dari masyarakat tersebut. "Namun dalam perspektif nirmoral malthusian, itu adalah hal yang sekali lagi, dianggap lumrah," tuturnya.

Dijelaskan olehnya, bahwa pemikiran nirmoral malthusian di atas tak berbeda halnya dari pemikiran Herbert Spencer tentang evolusi sosial.

Dalam pemikiran tentang evolusi sosial Spencer, bahwa seleksi sosial tak ubahnya seperti seleksi alam. Sehingga siapa yang mampu beradaptasi atau bertahan, dialah yang akan menang.

Bahkan, pemikiran Spencer bertanggung jawab atas munculnya berbagai undang-undang Eropa abad 19 tentang penelantaran mereka yang lemah, miskin, dan sakit.

"Dengan kata lain, populasi yang rentan tersebut dibiarkan musnah akibat seleksi sosial sehingga menyisakan populasi sosial yang sehat. Ini pulalah yang kiranya juga terjadi jika kebijakan natural herd immunity diambil oleh suatu negara guna menghadapi pandemi," paparnya.

Tunjukkan Keegoisan

Serupa dengan kedua pemikiran di atas, Wahyu menyebut kini terdapat seorang biolog evolusioner yang sangat dipengaruhi Darwin bernama Richard Dawkins.

"Ia mengatakan bahwa seleksi alam masih terus berlanjut hingga kini, dan hebatnya, kita bisa menyaksikan proses itu secara langsung saat ini juga," kata dia.

Dawkins mengambil misal mewabahnya virus HIV-AIDS di seluruh dunia yang dinilainya sebagai wujud seleksi alam konkrit.

Dengan demikian, melalui perspektif Dawkins, pandemi Covid-19 tak lebih sebagai proses seleksi alam yang memang bersifat wajar, lumrah, serta dapat dimaklumi.

"Jika suatu negara mengambil kebijakan natural herd immunity dalam mengatasi suatu pandemi, itu hanya akan menunjukkan keegoisan, keputusasaan, sekaligus ketidakmampuan negara dalam mengatasi situasi.

Itu juga sama artinya sekadar memosisikan warga negara sebagai angka semata. Cara pandang yang tak manusiawi dan tak bermoral," jelasnya.

Dirinya menilai, membiarkan satu generasi tereliminasi dengan menafikkan jasa-jasa berikut pengorbanan mereka di masa lalu adalah tindakan inkonstitusional, terlebih jika negara tersebut berlabelkan republik.

 Istilah republik atau respublica untuk pertama kali muncul lewat karya filsuf Plato berjudul sama. Res berati “kepentingan”, publica berati “bersama”.

"Dengan demikian, suatu negara atau pemerintahan dengan konsep respublica atau republik, mau tak mau sarat mengakomodasi kepentingan seluruh rakyatnya," pungkas Wahyu. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved