Meski Sudah Dibatalkan MA, Jokowi Naikkan Iuran BPJS Lagi di Tengah Pendemi Virus Corona
Presiden mengeluarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo kembali menaikkan iuran BPJS yang sempat dibatalkan Mahkamah Agung (MA) pada akhir Pebruari 2020.
Kala itu, MA membatalkan peraturan presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019. Besaran kenaikan iuran BPJS masing-masing tingkatan kelas naik 100 persen.
Namun, meski di tengah pandemi COVID-19 ( virus corona) seperti saat ini, keinginan Jokowi menaikkan iuran BPJS lagi tak goyah.
Presiden mengeluarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Kebijakan (beleid) tersebut diteken oleh Jokowi pada Selasa (5/5/2020).
Kenaikan iuran bagi peserta mandiri segmen pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) diatur dalam Pasal 34.
Berikut rinciannya:
Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 150.000, dari saat ini Rp 80.000.
Iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp 100.000, dari saat ini sebesar Rp 51.000.
Iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.
Namun, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500.
Kendati demikian, pada 2021 mendatang, subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp 7.000, sehingga yang harus dibayarkan peserta adalah Rp 35.000.
Pada akhir tahun lalu, Jokowi juga sempat menaikkan tarif iuran BPJS kesehatan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Namun, Mahkamah Agung membatalkan kenaikan tersebut.
MA batalkan iuran BPJS
Kartu BPJS Kesehatan (SURYA.co.id/M Sudarsono)
Sebelumnya, MA telah membatalkan kenaikan Iuran BPJS 100 persen seperti yang tertuang dalam Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Alasan MA mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Perpres tersebut disampaikan oleh Juru bicara MA Andi Samsan Nganro.
Ia mengatakan putusan itu dibacakan pada Februari lalu.
"Ya (sudah diputus). Kamis 27 Februari 2020 diputus.
Perkara Nomor 7 P/HUM/2020 perkara Hak Uji Materiil," ujar Andi ketika dikonfirmasi, Senin (9/3/2020).
"Menerima dan mengabulkan sebagian permohonan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) tersebut," lanjut Andi.
Sementara itu, dikutip dari dokumen putusan MA, menyatakan pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres Nomor 75 Tahun 2019 bertentangan dengan sejumlah ketentuan di atasnya, antara lain UUD 1945, UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Adapun pasal ini menjelaskan tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen.
"Pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres RI Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai hukum mengikat," demikian putusan tersebut.
Secara rinci, ini pasal bunyi dinyatakan tidak mempunyai hukum mengikat:
Pasal 34
(1) Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP yaitu sebesar:
a. Rp 42.000,00 (empat puluh dua ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III.
b. Rp 110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II; atau
c. Rp 160.000,00 (seratus enam puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.
(2) Besaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2020.
Dikutip dari laman resmi KPCDI, mereka mendaftarkan hak uji materi Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan ke Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, pada 5 Desember 2012.
Pengacara KPCDI Rusdianto Matulatuwa menilai kebijakan kenaikkan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen menuai penolakan dari sejumlah pihak, salah satunya dari KPCDI.
“Angka kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen menimbulkan peserta bertanya-tanya darimana angka tersebut didapat, sedangkan kenaikkan penghasilan tidak sampai 10 persen setiap tahun,” kata dia dalam keterangan di Jakarta, Jumat (06/12).
Rusdianto menegaskan, Iuran BPJS naik 100 persen tanpa ada alasan logis, dan sangat tidak manusiawi.
"Ingat ya, parameter negara ketika ingin menghitung suatu kekuatan daya beli masyarakat disesuaikan dengan tingkat inflasi," lanjutnya.
Rusdianto menambahkan, tingkat inflasi ini betul-betul dijaga, tidak melebihi 5 persen.
"Nah, ini kenaikkan (inflasi) tidak sampai 5 persen, tapi iuran BPJS dinaikkan 100 persen, inikan tidak masuk akal,” ucap Rusdianto.
Menurut Rusdianto, Perpres 75 Tahun 2019 menjadi bertentangan dengan Undang Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
“Ya undang-undangnya kan mengatakan besaran iuran itu ditetapkan secara berkala sesuai perkembangan sosial, ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak,” tambahnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jokowi Kembali Naikkan Iuran BPJS Kesehatan di Tengah Pandemi"