Kelas BPJS Kesehatan akan Dihapus, Begini Kekhawatiran Peserta
Peserta BPJS Kesehatan mengkritik rencana pemerintah menghapus skema pembayaran iuran berdasarkan kelas.
Kelas BPJS Kesehatan akan Dihapus, Begini Kekhawatiran Peserta
TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA - Peserta mandiri BPJS Kesehatan mengkritik rencana pemerintah menghapus skema pembayaran iuran berdasarkan kelas.
Pasalnya, rencana penggabungan kelas kepesertaan dikhawatirkan dapat menurunkan pelayanan kesehatan yang diberikan rumah sakit.
Heru Sasongko, seorang karyawan swasta di Jakarta, misalnya, mengaku sengaja masuk sebagai peserta kelas 2 agar mendapat pelayanan lebih optimal.
Sebab, fasilitas rawat inap yang diberikan BPJS untuk peserta kelas 3 memiliki kapasitas pasien antara 4 sampai 6 orang.
• Masyarakat Jangan Terima Tamu Saat Lebaran, Menag Ajak Tetap Bahagia
• Jumlah Pasien Covid-19 Melonjak, RS Darurat Wisma Atlet Siapkan Tower Tambahan
Hal ini kerap membuat pasien tidak nyaman jika rumah sakit rujukan memiliki keterbatasan ruangan dan jumlah pasien lebih banyak.
"Kalau di luar negeri, kan, memang nggak ada kelas, karena semuanya berhak dapat fasilitas kesehatan yang sama. Nah kalau di sini, saya rasa sih bakal beda banget. Takutnya jadi disamaratakan jadi kelas yang paling bawah layanannya," ucapnya kepada Tribun, Kamis (21/5/2020).
Menurut Heru, pemerintah perlu memastikan terlebih dahulu kesiapan rumah sakit dalam meningkatkan layanan kesehatannya sebelum mengubah skema kepesertaan ke dalam satu kelas standar.
Ia juga mengaku tak ingin turun kelas meski dapat pelayanan yang sama dengan harga lebih murah.
Selain masih mampu, kata dia, alasan lainnya adalah panjangnya persyaratan administrasi untuk mengajukan penurunan kelas.
• Terkait Perbudakan ABK, Bareskrim Polri Bidik Tiga Korporasi Ini
• Pertama Kali Dalam Sejarah, Singapura Vonis Hukuman Mati Melalui Zoom
"Dan pasti sekarang orang sudah banyak banget yang turun ke kelas 3. Kalau semuanya kelas 3, nanti pas giliran sakit ruangannya bisa-bisa penuh," imbuhnya.
Lukman (28), peserta BPJS Kesehatan lainnya menilai peleburan peserta ke dalam satu kelas berpotensi menghilangkan kewajiban pemerintah mensubsidi peserta kelas 3 dari Rp 42 ribu per bulan, menjadi Rp 25 ribu.
Atau dengan kata lain, pemerintah berusaha tetap menaikkan iuran untuk peserta kelas III.
"Enggak mungkin iuran kelas III yang sekarang yang dijadikan patokan pembayaran satu kelas. Bisa jadi harga yang di kelas II sekarang, atau mungkin dipatok jadi Rp 100 ribu. Terus kalau mau ada tambahan manfaat bisa bayar lebih sendiri," ucapnya.
Lukman sendiri merupakan peserta kelas 1 yang sempat membayar iuran BPJS hingga Rp 160 ribu per bulan.
Ia sengaja tak turun kelas agar dapat mensubsidi peserta BPJS di kelas lain.
"Selagi mampu dan bisa membantu yang kelas lain juga. Tapi ya saya berharap BPJS makin baik pengelolaanya," tuturnya.
Ia juga meminta pemerintah tetap mengikuti keputusan MA untuk menurunkan iuran BPJS kelas 1 yang telah ia bayarkan sebesar Rp 160 ribu pada bulan April lalu menjadi Rp 80 ribu per bulan.
"Seharusnya bulan depan dan Juli saya dapat selisih harga iuran dong dari pembayaran saya di April-Mei," ujarnya.
Sebelumnya, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menyebut pemerintah tengah menyiapkan kelas standar untuk peserta program jaminan kesehatan nasional BPJS Kesehatan.
Artinya, sistem kelas 1, 2, dan 3 untuk peserta mandiri yang ada saat ini akan tergabung menjadi hanya satu kelas.
"Kami sedang mendiskusikan kelas standar. Nanti ke depannya bahwa pelayanan itu berdasarkan kebutuhan dasar kesehatan dan juga sesuai dengan kelas standar yang telah kita diskusikan," ujar Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Mohamad Subuh Sahli dalam konferensi pers secara daring, Selasa (19/5/2020).
Anggota DJSN dari Unsur Ahli Asih Eka Putri menjelaskan, kelas standar merupakan kelas rawat inap yang digunakan oleh seluruh peserta.
Adapun kriteria ruangan ini beserta fasilitasnya masih dikaji.
Kata dia, nantinya kelas standar ini akan dibagi menjadi dua, yaitu kelas untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang iurannya selama ini ditanggung 100 persen oleh negara dan peserta non-PBI.
"Jadi kelas standar itu kita menyusun kelas Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), kelas rawat inap JKN untuk seluruh peserta. Sekarang kita lagi susun kriteria ruang rawat inap yang nanti akan jadi hak peserta. Saat ini opsinya ada dua, untuk kelas PBI dan non-PBI. Kemudian opsi optimumnya bisa 1 kelas, 1 tipe, 1 kriteria rawat inap untuk seluruh peserta," terang dia.
Selain meracik kelas standar, DJSN juga tengah meramu kebutuhan dasar kesehatan dalam undang-undang yang mencakup pelayanan kesehatan dan pemberian obat.
Akan tetapi, DJSN belum mau mendetailkan kedua rencana ini.
Penyusunan kelas standar ditargetkan selesai pada Desember 2020.
Jika program ini jadi, realisasinya akan dilaksanakan secara bertahap sampai hingga 2022.
Kepala Humas BPJS Kesehatan, M Iqbal Anas Ma’ruf menyebutkan rencana penghapusan kelas tersebut sebagai upaya untuk memberikan layanan kesehehatan yang setara dan berkeadilan.
"Kelas standar itu bagian dari upaya memastikan jaminan dan layanan kesehatan setara dan berkeadilan," ungkap Iqbal kepada Tribunnews.com, Kamis (21/5/2020).
Saat ini untuk detil persiapan penghapusan kelas seperti perhitungan seperti besaran biaya dan rencana standar pelayanan masih dibahas oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).
"DJSN sedang menyiapkan, pasti sudah diperhitungkan soal apa saja yang harus disiapkan," kata Iqbal.
Kemudian Iqbal juga menjelaskan pemerataan kelas ini juga disesuaikan dengan isi dari Peraturan Presiden (Perpres) 64 tahun 2020 pasal 54A yang rencananya direalisasikan akhir tahun 2020 ini.
"Ada di pasal 54 A. Perpres 64 tahun 2020 yang isinya untuk keberlangsungan pendanaana Jaminan Kesehatan, Menteri bersama kementerian atau lembaga terkait, organisasi profesi, dan asosiasi fasilitas kesehatan sesuai kebutuhan dasar kesehatan dan rawat inap kelas standar paling lambat bulan Desember 2020," ucap Iqbal.
Denda Rp 30 Juta
Selain menghapus kelas kepesertaan, pemerintah nantinya juga akan memberhentikan sementara kepesertaan para peserta BPJS Kesehatan yang menunggak pembayaran iuran.
Bahkan, dalam waktu 45 hari sejak status kepesertaan aktif kembali atau setelah membayarkan iuran, peserta wajib membayarkan denda untuk tiap pelayanan kesehatan rawat inap yang diperolehnya.
Tidak tanggung-tanggung, denda yang dimaksudkan mencapai 5 persen, dengan ketentuan jumlah bulan tertunggak paling banyak 12 bulan dan besaran denda paling tinggi Rp 30 juta.
Pencabutan kepesertaan dan denda ini sesuai dengan Perpres No 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Kepala Humas BPJS Kesehatan, Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan, denda tersebut sebesar 5 persen dari perkiraan biaya berdasarkan diagnosa dan prosedur awal untuk setiap bulan tertunggak.
"Dengan ketentuan jumlah bulan tertunggak paling banyak 12 bulan yang besar denda paling tinggi Rp 30 juta," ujar Iqbal, Kamis (21/5/2020).
Sementara itu, kata Iqbal, denda pada tahun 2020 ini masih dipatok 2,5 persen dari perkiraan biaya paket perawatan inap.
Namun dengan ketentuan sama yaitu jumlah bulan tertunggak paling banyak 12 bulan dan denda paling tinggi Rp 30 juta.
"Ketentuan pembayaran iuran dan denda dikecualikan untuk peserta PBI (penerima bantuan iuran) jaminan kesehatan dan peserta PBPU (pekerja bukan penerima upah) dan BP (bukan pekerja) yang iuran seluruhnya dibayar oleh pemerintah daerah," terang ayat 8 pasal 42 dalam Perpres.
Perihal sosialisasi ini termasuk seputar kenaikan iuran BPJS Kesehatan, pihaknya menekankan akan melakukan sosialisasi secara masif dan serentak menggunakan semua kanal informasi kepada masyarakat.
"Via semua kanal informasi. Baik media, media sosial, secara langsung. Tentu disesuaikan dengan kebutuhan sosialisasinya," ucapnya. (.)(.)
