Corona di Bali
Cok Ace: Alam Bali Mampu Jadi Daya Tarik Dalam Era New Normal
“Jika budaya belum bisa kita tampilkan secara utuh sebagaimana sebelumnya. Mari kita jadikan alam Bali sebagai daya tarik dalam era new normal,”
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Irma Budiarti
Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, belum berani memastikan kapan Bali akan re-opening dengan kondisi new normal.
“Saya belum bisa pastikan, sebab banyak hal yang harus dipertimbangkan. Tentu nanti keputusannya akan disampaikan Gubernur Bali,” katanya kepada Tribun Bali, Rabu (27/5/2020).
Cok Ace, sapaan akrabnya, berharap Covid-19 segera bisa diatasi dan kondisi berangsur pulih seperti sediakala.
Dalam webinar bertajuk “Menyongsong Normalitas Kehidupan yang Baru Pasca Covid-19” bersama beberapa narasumber penting lainnya, Panglingsir Puri Ubud ini memberikan pandangannya tentang new normal di Bali.
Pendapatnya, ingin memadukan new normal dengan pariwisata budaya di Bali.
“Ini menarik karena Bali memiliki kekuatan lain yang kita sebut holistic healing power. Dan itu diakui dunia, yakni kekuatan yang ada di Bali,” tegasnya.
Sehingga harus dicarikan formula yang tepat antara taksu Bali dipadukan dengan protokol kesehatan sehingga mampu menjadi kekuatan dalam penyelenggaraan pariwisata di Bali.
Cok Ace kemudian menyebutkan statistik penyebaran Covid-19 di Bali dari 17-25 Mei 2020.
Ia memaparkan angka kesembuhan, dengan warga positif terus bervariasi.
“Dari data sesungguhnya, Bali sudah masuk dalam tahap flat atau kurva datar,” katanya.
Tetapi harus tetap waspada menyikapi angka ini, sebab transmisi lokal masih terjadi di Bali.
“Jangan sampai karena lengah ada second wave ke Bali,” tegasnya.
Mudah-mudahan angka positif Covid-19 bisa ditekan, dan yang sembuh bisa ditingkatkan sehingga membuka Bali sebagai daerah tujuan wisata segera bisa diwujudkan kembali.
Untuk itu, kata dia, harus dikaji secara mendalam kapan saatnya membuka Bali sebagai tujuan wisata.
Ia menceritakan, ketika Covid-19 masuk di Bali dimulai dengan penutupan penerbangan dari Tiongkok bulan Februari 2020.
Kemudian di Bali mengadakan beberapa upacara, baik mecaru atau upacara di masing-masing rumah penduduk, hingga di pura-pura kahyangan tiga.
“Andaikata suatu saat wabah bisa diatasi, tentu ada baiknya kita semua melakukan upacara-upacara agama, dalam bentuk Dewa Suksma yang intinya menyampaikan terima kasih kepada Tuhan. Bahwa Bali telah mampu keluar dari persoalan sulit ini,” jelasnya.
Setelah tahapan sekala-niskala, kemudian pola re-opening Bali apakah serentak sekaligus atau bertahap, kemudian syarat dan pedoman protokol.
“Pemerintah Provinsi Bali sampai saat ini sedang menyusun protokol kesehatan, baik terkait fasilitas umum, pariwisata, kantor, dan lain sebagainya. Tentu masukan dari semuanya sangat berarti sehingga apa yang diharapkan benar-benar bermanfaat,” katanya.
Kearifan dan potensi lokal juga penting, sehingga bisa dikembangkan tetapi tidak bertentangan dengan protokol kesehatan pasca Covid-19.
Kearifan lokal dipadukan dengan protokol kesehatan, dalam hakekat new normal di kebersihan, kesehatan, dan keamanan.
“Pada new normal bersih selalu identik dengan steril dan lain sebagainya, sedangkan di budaya Bali tidak hanya sekian. Ada lagi kebersihan dikaitkan dengan kesucian,” jelasnya.
Kesucian ini dalam kaitan dengan ritual keagamaan, bagaimana air tirta atau air disucikan menjadi air bersih dan suci lalu diminum.
Selanjutnya tentang kesehatan, dengan menjaga diri menggunakan masker, cuci tangan, jaga jarak, hand sanitizer, dan disinfektan.
“Artinya makna virus harus dilawan, namun dalam budaya Bali ada kisah unik,” ucap Ketua PHRI Bali ini.
Ada cerita rakyat, bagaimana yang jahat berdampingan dengan yang baik, seperti barong dan rangda dalam kisah Calon Arang.
“Rangda diidentikkan dengan puncak atau sumber kekuatan atau virus. Ending cerita tidak pernah ada salah satu atau keduanya kalah atau menang, tapi yang terjadi adalah bagaimana mengharmonikan antara kedua kekuatan ini. Ini merupakan hal yang berbeda,” jelasnya.
Sehingga berbicara sehat dalam pengertian Covid -19 dengan sehat dalam pengertian Bali harus ada penyesuaian bagaimana memadukan keduanya, sehingga berjalan harmonis.
Kemudian keamanan, masyarakat menggunakan masker terutama kalau keluar rumah, social distancing antara satu dengan lainnya.
Sedangkan pada kebudayaan Bali sangat berbeda, sebab Bali mengandung sifat kolektif.
“Bagaimana nanti tari kecak harus pakai masker atau APD, bagaimana nanti proses palebon/ngaben dan sebagainya pake APD. Ini menjadi pertanyaan ke depan, apakah masih bisa ditampilkan kekuatan dan keunikan Bali sebagai daya tarik dikemudian hari,” katanya.
Jika melihat karakter new normal yang berbeda dengan budaya Bali, maka perlu direnungkan selain kebudayaan apa yang menarik wisatawan untuk datang ke Bali.
“Oke, tarian kecak tidak memungkinkan lagi dipentaskan jika anti virus belum ditemukan. Karena tidak mungkin penari memakai masker, atau APD lainnya yang tidak estetika. Selain kebudayaan apa yang bisa kita tampilkan, atau bisa dijadikan tools untuk menarik wsiatawan datang ke Bali dan membedakan Bali dengan daerah lain,” sebutnya.
Berdasarkan data statistik, bahwa ketertarikan pariwisata datang ke Bali 65 persen karena faktor budaya, tarian, dan upacara.
Kedua adalah karena alam Bali dan keindahannya seperti pantai, gunung, sungai dan sebagainya dengan proporsi 30 persen termasuk sawah.
Sedangkan atraksi buatan mempunyai daya tarik hanya 5 persen.
“Mari kita bicara tentang alam Bali sekarang, andaikata budaya sementara sangat sulit dipadukan dengan protokol kesehatan mari kita ambil option kedua, mengambil alam Bali sebagai daya tarik pariwisata untuk turis datang ke Bali,” imbuhnya.
Posisi pulau Bali sangat strategis, karena diapit 2 samudera yakni Pasifik dan Hindia serta diapit dua benua besar yakni Asia dan Australia.
“Jadi komposisi Bali sangat strategis, kemudian dengan perpaduan gunung, laut, dan sebagainya sehingga nyaris sepanjang tahun temperatur alam Bali merata,” ujarnya.
Disamping itu, masyarakat Bali sadar bahwa alam Bali tidak hanya dihuni manusia saja, tetapi banyak kekuatan lain yang hidup di Bali dan berdampingan dengan semua yang ada di Bali.
“Kekuataan ini lah yang kemudian dijalin secara harmoni, oleh kegiatan upacara adat dan agama, seperti pakelem, nangluk merana, kemudian kegiatan lain yang intinya mengharmonikan alam dengan manusia Bali,” jelasnya.
Ini yang selalu dijaga oleh orang Bali, sehingga terjadi kebersamaan yang terus harmonis.
Nah berangkat dari perbedaan tersebut, ia tertarik menjadikan alam Bali sebagai daya tarik pasca Covid-19.
Temperatur suhu yang stabil, panas dan sejuk ini menjadi daya tarik dan pembeda bagi daerah lain.
“Mari jadikan kekuatan alam Bali yang harmoni dengan lingkungan, dan manusia untuk membangun pariwisata Bali ke depan,” tegasnya.
Membangun fasilitas dan kawasan pariwisata dengan mengedepankan kekuatan yang tadi, sehingga berbeda dengan yang lainnya.
“Jika budaya belum bisa kita tampilkan secara utuh sebagaimana sebelumnya. Mari kita jadikan alam Bali sebagai daya tarik dalam era new normal,” imbuh Cok Ace.
(*)