Sejarah TVRI Hingga Polemik Rekam Jejak Iman Brotoseno, di Masa Lalu Pernah Hidup dari Iuran Warga

Polemik di internal Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Televisi Republik Indonesia terus berlanjut meski baru saja dipilih dan dilantik Direktur Utama

Editor: Ady Sucipto
Youtube
Tayangan stasiun pertama di Indonesia tahun 1962, yakni TVRI. 

TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA - Polemik di internal Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Televisi Republik Indonesia terus berlanjut meski baru saja dipilih dan dilantik Direktur Utama Pengganti Antarwaktu LPP TVRI 2020-2022 Iman Brotoseno

Awal mula kisruh di stasiun televisi tertua di Tanah Air tersebut berlangsung sejak lama, yakni ketika terjadi pemecatan Helmy Yahya dari Direktur Utama TVRI. 

Terkini, selain persoalan independensi, rekam jejak Iman Brotoseno dimasa lalu juga jadi sorotan setelah dikaitkan dengan persoalan isu pornografi. 

Dari perjalanan sejarahnya, status TVRI juga sempat bergonta-ganti.

TVRI pernah menjadi BUMN, dari Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum), dan Perseroan Terbatas (PT).

Ini Sosok Imam Brotoseno Direktur Utama Pengganti Antarwaktu LPP TVRI yang Gantikan Helmi Yahya

Komisi I DPR Pecat Ketua Dewan Pengawas TVRI Arief Hidayat, Begini Alasannya

TVRI Pegang Hak Siar Liga Inggris Musim 2019-2020, Begini Penjelasan Helmi Yahya

Kini, dengan berubahnya TVRI menjadi LPP, operasional TVRI tetap bergantung pada dana APBN.

Selain itu, TVRI juga memperoleh pendapatan dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Jenis-jenis PNBP TVRI yang diatur dalam PP Nomor 33 Tahun 2017 berasal dari jasa tayang, produksi program, media online, penggunaan sarana dan prasarana siaran, pendidikan pelatihan, dan layanan digitalisasi penyiaran.

TVRI terakhir kali mempublikasikan laporan keuangan terakhirnya pada 2019. Laporan keuangan tersebut diterbitkan oleh Direktorat Keuangan TVRI yang sudah diaudit.

Dalam laporan keuangan 2018 (audited), pendapatan TVRI dari PNBP tercatat sebesar Rp 170,82 miliar.

Besaran PNBP yang diterima ini naik dibandingkan tahun 2017 yang tercatat sebesar Rp 150,96 miliar.

Sementara itu pada tahun 2018, jumlah beban TVRI jauh lebih besar yakni sebesar 956,07 miliar atau defisit operasional sebesar Rp 785,24 miliar.

TVRI juga mengalami defisit pada kegiatan non-operasional, sehingga total defisit TVRI sepanjang tahun 2018 yakni sebesar Rp 790,16 miliar.

Untuk menutup defisit tersebut, TVRI selama ini mengandalkan dari suntikan APBN pemerintah.

Sebagai informasi, untuk tahun 2020, TVRI mendapatkan alokasi dana APBN sebesar Rp 1,1 triliun.

Namun kemudian DPR menyetujui penambahan anggaran untuk TVRI yakni sebesar Rp 242 miliar.

TVRI pernah hidup dari iuran warga

Diberitakan Harian Kompas, 2 Oktober 2019, TVRI memulai siaran pertamanya pada 24 Agustus 1962.

Namun, untuk menikmatinya saat itu tidak mudah karena televisi masih menjadi barang langka dan harganya cukup mahal.

Siarannya pun masih terbatas.

Tahun 1965, misalnya, TVRI baru membangun proyek menara televisi di perbukitan Gantung, Gombel, dan Cemorosewu untuk meluaskan siaran di sekitar Jawa Tengah.

Bersamaan dengan itu, dipasang pula televisi di sejumlah tempat umum, seperti stasiun, terminal, dan kantor kecamatan.

Untuk kepemilikan perseorangan, selain pajak, pemilik televisi juga dikenai iuran bulanan.

Tahun 1969, misalnya, iuran televisi Rp 200 per bulan dan biaya pendaftaran sekali saja Rp 300, yang semuanya dibayarkan di Kantor Pos.

Untuk mendaftarkan televisi, pemilik harus menunjukkan kuitansi pembelian.

Sampai 1971, baru terdaftar 11.000 televisi di Tanah Air.

Padahal, jumlah televisi yang ditonton masyarakat sekitar 150.000 unit. Masih banyak warga yang enggan membayar iuran bulanan.

Karena itu, razia kepemilikan televisi saat itu sering dilakukan dari rumah ke rumah.

Pemilik televisi yang tidak membayar atau terlambat membayar iuran televisi dikenai denda.

Razia yang dilakukan pada 2 Juli hingga 27 September 1973 di Jakarta, misalnya, menemukan ada 4.308 pesawat televisi yang belum didaftarkan kepemilikannya.

Dari hasil razia tersebut, Daerah Pos I Jakarta menerima denda dan iuran sebesar Rp 9.915.200.

Mulai 1 Januari 1974, iuran televisi naik menjadi Rp 500 per bulan untuk pesawat televisi ukuran 16 inci ke bawah dan Rp 750 per bulan untuk pesawat televisi ukuran di atas 16 inci.

Kini televisi bukan lagi barang mewah.

Siaran televisi bahkan bisa dilihat melalui layar smartphone.

Televisi berada dalam genggaman. Iuran televisi pun sudah tidak ada lagi.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Hidup dari APBN, Berapa Pendapatan TVRI dari Jualan Siaran?", 

(Muhammad Idris)

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved