Anggota DPR RI Ketut Kariyasa Angkat Bicara Terkait Demo Penolakan Swab Test di Monumen Bajra Sandhi

Sejumlah massa melakukan aksi penolakan rapid dan swab test sebagai syarat administratif dan syarat perjalanan di seputaran Monumen Perjuangan Rakyat

Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Tribun Bali/Ragil Armando
Foto I Ketut Kariyasa Adnyana 

Tak hanya itu, pihaknya juga mengutip pendapat ahli Epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono dalam pemberitaan di media massa.

Pandu menyampaikan bahwa rapid test sangat tidak akurat, tidak bisa mendeteksi Covid-19 dengan baik sehingga hanya membuang-buang uang negara.

Ahli Virologi Indor Cahyono juga menyampaikan bahwa rapid test tergolong tidak akurat karena metode ini hanya digunakan untuk screening awal virus corona saja.

Pakar Biologi Mulekuler Ahmad Utomo juga dikutip dalam pernyataan sikap tersebut yang menyampaikan bahwa rapid test adalah metode yang dinilai kurang efektif dalam membatasi penyebaran Covid-19 karena hanya bisa mendeteksi antibodi.

Dari berbagai pendapat tersebut, Krisna menuding bahwa kebijakan rapid test dan swab tidak tepat digunakan untuk syarat administrasi, baik itu dalam perjalanan maupun berwirausaha.

Kebijakan yang dimaksud yakni syarat rapid test pada program sertifikasi tatanan kehidupan era baru atau new normal yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali.

Krisna memaparkan, kebijakan tersebut diawali dengan diterbitkannya surat edaran dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali nomor 443.33/6463/P2P/2020 tentang rapid test bagi pelaku perjalanan.

Selanjutnya, Dinas Pariwisata Provinsi Bali juga mengeluarkan kebijakan rapid test dengan biaya mandiri sebagai salah satu syarat perusahaan pariwisata mendapatkan sertifikasi penerapan protokol kesehatan.

Syarat rapid test ini tertuang dalam surat Dinas Pariwisata Provinsi Bali nomor 556/2782/IV/Dispar tentang sertifikat tatanan kehidupan era baru.

Kebijakan rapid test juga diperkuat oleh Gubernur Bali melalui surat edaran nomor 3355 tahun 2020 tentang tatanan kehidupan era baru tertanggal 5 Juli 2020. Dalam surat tersebut intinya mewajibkan rapid test dilakukan untuk penghuni indekos, vila, kontrakan atau mess. Hal yang sama juga berlaku untuk pengelola destinasi wisata, wisata perjalanan, hotel, restoran dan pasar tradisional.

Di sisi lain, pihaknya juga menyatakan bahwa Ombusmand RI memperhatikan diterapkannya rapid test non-reaktif sebagai syarat berpergian telah dijadikan sebagai ladang bisnis.

Ombusmand juga menegaskan swab maupun rapid test jangan dijadikan syarat karena itu merupakan penyalahgunaan.

"Sehingga kebijakan Pemprov Bali yang mewajibkan hasil rapid test dan/atau swab test sebagai syarat administrasi sertifikasi tata kehidupan era baru atau New Normal serta syarat perjalanan, merupakan bentuk bisnis yang berkedok kesehatan," tulisnya dalam pernyataan sikap tersebut.

Di sisi lain, massa menilai kebijakan yang tepat justru diambil oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur yang menyatakan bahwa masyarakat pengguna jasa transportasi/pelaku perjalanan yang akan melakukan perjalanan darat, laut, maupun udara diperbolehkan melakukan perjalanan tanpa memerlukan dokumen-dokumen terkait dengan kesehatan bebas Covid-19 serta hasil rapid test dan swab.

Pernyataan tersebut terdapat dalam surat edaran Gubernur Nusa Tenggara Timur nomor BU550/08/DISHUB/2020 tentang Bebas Dokumen Kesehatan/Bebas Covid-19 Bagi Pelaku Usaha.

"Seharusnya Pemprov Bali menjadikan kebijakan Gubernur NTT sebagai contoh implementasi new normal yang tepat. Bukannya malah membebani rakyat dengan kewajiban yang tidak efektif seperti kebijakan melakukan rapid test sebagai syarat administrasi sertifikasi tatanan kehidupan era baru atau new normal serta syarat perjalanan," imbuhnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Halaman 3 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved