Perekonomiannya Merosot 20,4 Persen, Inggris Alami Resesi Teknis, Apa yang Menjadi Catatan?
Pemerintah melalui Kanselir Rishi Sunak kini sedang bergulat dengan sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Angka pekerja resmi yang dirilis pada Selasa (11/8/2020) menunjukkan adanya penurunan 220.000 orang antara April dan Juni.
Kendati demikian, Sunak tak ragu untuk mengakhiri skema subsidi pekerjaan yang akan berakhir setelah Oktober 2020.
"Saya pikir kebanyakan orang akan setuju bahwa itu bukan sesuatu yang berkelanjutan tanpa batas," papar Sunak.
Menurutnya, pemerintah tak boleh berpura-pura bahwa semua orang bisa dan akan kembali ke pekerjaan yang mereka miliki.
Ia juga akan memberikan dukungannya dalam menciptakan lapangan kerja di daerah baru.
Bagaimana sektor bisnis merespons?
Pendiri perusahaan pakaian JoJo Maman Bebe, Laura Tenison mengatakan, kinerja perdagangan tokonya menunjukkan variasi yang sangat besar.
"Di beberapa tempat, seperti York, Windsor, Reading, Norwich, pusat London, benar-benar mengerikan, sangat mengerikan," kata dia.
"Maksud saya, kadang-kadang kami tidak mendapatkan uang sama sekali.
Tapi di beberapa toko kecil, sebenarnya lebih baik dari yang kami perkirakan," sambung dia.
Menurut dia, resesi kali ini merupakan yang ketiga kalinya sejak bisnis itu berdiri pada 1993.
Tenison mengaku harus menutup beberapa area bisnisnya karena virus corona, seperti di Amerika Serikat.
Kondisi Inggris di antara negara lain
Menurut perkiraan awal, penyusutan ekonomi yang dialami Inggris termasuk salah satu yang terbesar di antara negara-negara maju.
Meski tak seburuk Spanyol (22,7 persen), tapi penurunan itu sekitar dua kali ipat ukuran kontraksi di Jerman dan AS.
Kanselir mengatakan, kinerja ekonomi Inggris lebih buruk daripada rekan-rekan Uni Eropa-nya karena difokuskan pada layanan, perhotelan, dan belanja konsumen. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Beberapa Catatan soal Resesi Inggris..."