Petani di Ubud Bertengkar Rebutan Air, Prof Windia: Permasalahan Turun Temurun
Akibat pandemi Covid-19, masyarakat yang kehilangan pekerjaan di industri pariwisata, sebagian besar beralih ke sektor pertanian.
Penulis: I Wayan Eri Gunarta | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR – Fenomena rebutan air para petani di Kecamatan Ubud, Gianyar, Bali, sempat punah saat pariwisata melejit.
Namun akibat pandemi Covid-19, masyarakat yang kehilangan pekerjaan di industri pariwisata, sebagian besar beralih ke sektor pertanian.
Namun alih profesi ini rupanya membangkitkan permasalahan lama, yakni ‘megarang yeh’ atau berebut air untuk mengairi sawah.
Informasi dihimpun Tribun Bali, Rabu (26/8/2020), permasalahan megarang yeh ini terjadi di sebuah subak di Kecamatan Ubud.
• Vinales Alami Masalah di MotoGP Styria, Valentino Rossi Akui Yamaha Lebih Menderita dengan Rem
• Terungkap di CCTV Seorang Pria Tak Pakai Helm Buang Sampah Sembarangan di Sesetan
• Chelsea Berminat Rekrut Lionel Messi dari Barcelona ?
Bahkan perseteruan antar petani ini sampai dilerai oleh pekaseh.
Hal ini terjadi akibat volume air yang kecil diduga banyak air terbuang sia-sia karena saluran irigasi bocor dan mengalami penyempitan.
Guru Besar Fakultas Pertanian, Universitas Udayana, Profesor Wayan Windia menilai hal tersebut merupakan permasalahan yang terjadi secara turun-temurun.
Meskipun saat ini banyak lahan pertanian yang tidak berfungsi atau dialih fungsikan menjadi bangunan.
Namun bukan berarti debit air mengalami peningkatan.
Hal itu disinyalir akibat pembangunan yang massif tersebut berpotensi mempersempit saluran irigasi.
"Kapasitas air bisa berkurang karena saat ini banyaknya pembangunan property maupun bangunan villa di wilayah hulu. Makanya terjadi penggunaan air berkuruang namun kapasitas air juga kurang," ujarnya.
Kekurangan debit air tersebutlah, yang kerap memicu permasalahan krama subak.
Baik internal maupun eksternal.
Permasalahan di internal, kata akademisi asal Sukawati itu pun relatif banyak.
Satu diantaranya rebutan air menjelang proses penggemburan tanah saat akan ditraktor, hingga paska penanaman bibit padi yang memang perlu dialiri air secukupnya agar bibit tumbuh sempurna.
Terkait solusi untuk mengatasi ‘megarang yeh akecretan’, kata Prof Windia, harus ada kebijakan dari pengurus subak.
Mulai dari jadwal pembagian air hingga pararem jika adanya maling air di sawah.
"Subak itu sangat bagus jika dijalankan dengan baik, masalah air itu bisa dibagi-bagi agar pembagiannya baik," ujarnya.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Gianyar, Made Raka meminta pada para pekaseh supaya melakukan pengaturan air, terutama di kawasan yang debit airnya kecil.
Selain itu, dalam mengindari rebutan air ini, diharapkan ada pengaturan pola tanam.
Misalnya, sebagian menanam padi dan sebagian menanam pala wija.
“Semua diatur oleh pekaseh yang disepakati krama subak. Subak adalah organisasi otonom, dia yang mengatur diri sendiri secara kelembagaan untuk kepentingan bersama,” tandasnya. (*).