Sidang Kasus Perkara Jerinx di Pengadilan Negeri Denpasar, Pengacara Minta Putusan yang Adil
Sidang kasus ujaran kebencian dengan terdakwa I Gede Ari Astina alias Jerinx kembali digelar secara virtual di PN Denpasar, Selasa (29/9/2020).
Penulis: Putu Candra | Editor: Ady Sucipto
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR -- Sidang kasus ujaran kebencian dengan terdakwa I Gede Ari Astina alias Jerinx kembali digelar secara virtual di PN Denpasar, Selasa (29/9/2020).
Sidang ketiga ini mengagendakan pembacaan nota keberatan atau eksepsi oleh tim penasihat hukum Jerinx.
Sebelum sidang dimulai, majelis hakim pimpinan Hakim Ida Ayu Adnya Dewi menanyakan kondisi terdakwa Jerinx. Pun kesiapan tim penasihat hukum atas nota keberatan.
"Sehat Yang Mulia," jawab suami Nora Alexandra itu.
Tim penasihat hukumnya pun menyatakan siap membacakan nota keberatan.
"Eksepsi sudah siap, Yang Mulia," ucap Sugeng Teguh Santoso selaku anggota penasihat hukum.
Majelis hakim mempersilakan tim penasihat hukum Jerinx membacakan nota keberatan.
Nota keberatan setebal 27 halaman dibaca bergantian oleh penasihat hukum Jerinx.
Sejumlah poin keberatan atas dakwaan jaksa disampaikan. Sugeng Teguh Santoso yang mengawali pembacaan nota keberatan dilanjutkan Adi Sumiarta.
Adi terlebih dahulu memaparkan kronologis singkat aktivitas Jerinx mengenai tata kelola Covid-19. Hingga akhirnya Jerinx diseret ke pengadilan.
Dikatakannya, sudah bukan rahasia lagi pemerintah terlihat gagap menangani Covid-19.
Mulai dari pernyataan pejabat di awal wabah kesannya meremehkan sampai kebijakan yang kerap tidak jelas dan berubah sehingga membingungkan masyarakat.
"Terdakwa memang seorang musisi cum aktivis yang pada akhirnya mendedikasikan dirinya, menjadi penyambung aspirasi publik khususnya mereka yang suaranya tidak didengar oleh kekuasaan," paparnya.
Jerinx, sebut Adi dikenal lantang bersuara kritis atas kebijakan pemerintah dalam tata kelola Covid-19 yang dianggap bias kelas.
Jerinx tanpa kenal lelah menyuarakan kritik, di sisi lain juga melakukan kegiatan sosial berupa bagi-bagi pangan dari bulan Mei 2020 hingga kini.
Salah satu hal yang dikritik Jerinx adalah terkait kebijakan paksa rapid test sebagai syarat administrasi.
"Mengapa terdakwa menolak keras rapid test/swab test sebagai syarat administrasi?" ujar Adi.
Lebih lanjut jelas Adi, sedari awal kebijakan rapid test telah banyak ditolak pada akademisi hingga organisasi profesi kesehatan.
Rapid test tidak tepat digunakan sebagai alat mendeteksi virus karena hanya untuk mengecek antibodi.
Pernyataan penolakan kebijakan rapid test sebagai syarat administrasi dikeluarkan ahli virologi, ahli sel molekuler juga organisasi seperti Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi dan Spesialis Laboratorium Klinik (PDS PATKLIN) dan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia.
Ombudsman RI terang-terangan menolak rapid test sebagai syarat administrasi karena diduga sebagai bisnis.
Pula pada saat yang sama, media gencar memberitakan berbagai dampak negatif rapid test terhadap rakyat.
Utamanya terdakwa memperhatikan beberapa berita yang menyatakan beberapa ibu hamil kesulitan persalinan karena harus memenuhi prosedur rapid test.
"Situasi yang selanjutnya diberitakan akhirnya ada ibu bersalin di depan rumah sakit bahkan ada bayi yang meninggal karena prosedur test Covid-19," papar Adi.
Keadaan itulah membuat Jerinx bertanya, apakah test covid i.c rapid test tidak bisa dilakukan belakangan dan tindakan medis untuk persalinan yang diprioritaskan.
Pertanyaan itu kemudian mengemuka dalam postingan Jerinx di Instagram, tanggal 13 Juni 2020.
Jerinx mempertanyakan kepada IDI melalui mention ke akun resmi IDI @ikatandokterindonesia.
"Terdakwa meminta penjelasan dengan gaya bahasa terdakwa yang berlatar belakang musisi punk rock dengan gaya bahasa Californian style. Terdakwa berpandangan IDI adalah organisasi besar yang punya power untuk mengubah kebijakan sebagaimana fitrah organisasinya. Namun terdakwa tidak memperoleh jawaban apapun, padahal IDI mempunyai akun instagram yang aktif," kata Adi.
Jerinx terus mempertanyakan kebijakan rapid test ini ke semua pihak. Mengapa rapid test seolah menjadi prioritas dan mengabaikan keselamatan manusia. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akhirnya dibawa ke jalan melalui aksi demonstrasi dengan isu menolak rapid test/swab test sebagai syarat administrasi pada 26 Juli 2020.
Tak pelak, membuat heboh dan pelbagai media nasional mengangkat isu ini hingga mengundang perdebatan nasional.
Setelah banyak pihak, terutama pihak KSP sepakat terkait isu tersebut, terdakwa berpikir ada harapan perubahan kebijakan.
Bersalin adalah situasi hidup mati dan Jerinx berharap dalam situasi seperti itu pihak medis dan sistem kesehatan di negara ini prioritaskan persalinan daripada mendahulukan rapid test sebagai syarat layanan kesehatan.
Namun tidak demikian kenyataannya, tidak berapa lama, tepatnya tanggal 3 Agustus 2020 Jerinx dipanggil sebagai saksi oleh pihak Penyidik Ditkrimsus Polda Bali.
Pada saat itulah terdakwa tahu bahwa dia sudah dilaporkkan oleh IDI Bali sejak 16 Juni 2020.
"Terdakwa pun akhirnya tahu. Rupa-rupanya SPDP (Surat Dimulainya Penyidikan Perkara) atas perkara a quo sudah dikirim ke Kejaksaan Tinggi Bali sejak 27 Juli 2020, atau sehari setelah terdakwa membuat heboh Indonesia dengan menggelar demo menolak rapid test/swab test sebagai syarat administrasi. Apakah ini kebetulan?" tanya Adi kembali.
Dari proses itulah, tim hukum menilai ada banyak kejanggalan. Adi menyatakan, jika diperhatikan secara kronologis, Jerinx dilaporkan pada 16 Juni 2020.
Namun selama proses itu ia tidak pernah dipanggil untuk klarifikasi atas laporan tersebut, yang ada justru Jerinx pada saat itu langsung dipanggil sebagai saksi dan baru saat itulah mengetahui bahwa perkara ini sudah dilakukan SPDP.
Kejanggalan lain yang mencolok adalah tanggal pengiriman SPDP ke Kejati Bali, yakni 27 Juli 2020.
"Apakah ini sebuah kebetulan SPDP dikirimkan sehari setelah terdakwa dkk menggelar demo menolak rapid test/swab test sebagai syarat administrasi yang menghebohkan itu?" kata Adi.
Tim hukum Jerinx pun merasa bahwa penggunaan UU ITE kepada orang yang bertanya kritis atas kebijakan yang tidak adil.
Pun demikian, memperhatikan surat dakwaan Tim Penuntut Umum yang dibuat singkat waktu ternyata selaras dengan hasilnya.
Menurut Agus Suparman, halaman surat dakwaan tersebut disusun dengan cacat formil, penuh ketidakcermatan, ketidakjelasan dan ketidaklengkapan.
Sehingga surat dakwaan menjadi kabur atau obscuur libel.
Di samping itu terlihat bahwa Penuntut Umum serampangan menyusun surat dakwaan.
Ada beberapa hal yang perlu ditanggapi karena dalam surat dakwaan tersebut terdapat pelbagai kekeliruan, kekaburan, ketidakcermatan, ketidakjelasan, dan ketidaklengkapan.
Dalam dakwaan ini, tim jaksa sama sekali tidak menjelaskan apa unsur yang saling mengecualikan antara Pasal 27 ayat (3) UU ITE dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang mengakibatkan JPU menggunakan dakwaan alternatif. Sedangkan kedua pasal dakwaan ini sama sekali tidak saling mengecualikan.
Apa yang dilakukan JPU dalam dakwaan aquo adalah dakwaan yang tidak jelas dengan mencampuradukan semua dakwaan tanpa memberikan pengecualian.
Poin kedua, dakwaan tim jaksa kabur (obscuur libel). Ini karena tidak jelas siapa yang dimaksud oleh tim jaksa sebagai korban di dalam surat dakwaan.Yang dimaksud oleh tim jaksa dalam surat dakwaannya adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah BALI.
Tentu ini harus dicermati mengingat bahwa laporan polisi nomor LP/263/VI/2020/Bali/SPKT, tertanggal 16 Juni 2020 yang dinyatakan sebagai korban adalah Ikatan Dokter Indonesia.
Yang dimaksud sebagai IDI adalah Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) yang berkedudukan hukum di Jakarta.
Adapun dr. I Gede Putera Suteja yang bertindak dalam kapasitasnya baik sebagai seorang dokter maupun sebagai ketua IDI wilayah Bali dalam perkara aquo sebagai pelapor mendalilkan diri mendapat kuasa dari PB IDI.
Hal lain yang dimaksud dengan IDI adalah PB IDI bukan IDI Wilayah Bali (sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga IDI).
Postingan terdakwa pada 13 Juni 2020 (sebagaimana telah diurai dalam dakwaan), dalam kalimat atau caption “…Saya gak akan berhenti menyerang kalian @ikatandokterindonesia sampai ada penjelasan perihal ini…”.
Dalil tim jaksa yang menyatakan, bahwa yang menjadi korban dari perbuatan terdakwa adalah IDI Wilayah Bali, maka uraian dalam surat dakwaan a quo sesungguhnya merupakan uraian yang keliru.
Poin berikutnya disebutkan, pengaduan dan kedudukan hukum/legal standing pengadu tidak sah secara hukum.
Dijelaskan Manik, jika IDI dikualifikasi sebagai korban, maka yang wajib hadir adalah representasi hukum dari IDI, yakni Ketua Umum PB IDI sebagai korban langsung.
Poin selanjutnya, surat kuasa pengaduan cacat hukum sehingga tidak sah hukum.
Dokter Suteja selaku pengadu hanya mencantumkan tanda tangan dari pemberi kuasa.
Tidak mencantumkan tanda tangan penerima kuasa. Ini menunjukan surat kuasa yang digunakan Suteja cacat formil.
Seusai mengurai sejumlah keberatan dan kejanggalan, Sugeng kemudian membacakan bagian penutup yang memuat permohonan eksepsi.
Ditegaskan Sugeng, berdasarkan penjelasan nota keberatan itu, disimpulkan bahwa dakwaan tim jaksa tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b Pasal 143 ayat (3) KHUAP.
"Oleh karenanya, kami mohon kepada majelis hakim yang terhormat agar memeriksa, mengadili dan memutuskan sebagai berikut. Satu, menerima nota keberatan dari penasihat hukum terdakwa I Gede Ari Astina alias Jerinx.
Dua, menyatakan surat dakwaan penuntut umum batal demi hukum atau setidak-tidaknya menyatakan, surat dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima.
Atau setidak-tidaknya menyatakan surat dakwaan dibatalkan. Ketiga, membebankan biaya perkara kepada negara.
"Apabila majelis hakim yang terhormat berpendapat lain mohon putusan yang adil. Demikian nota keberatan yang kami sampaikan dalam sidang terbuka untuk umum ini. Terima kasih," kata Sugeng.
Usai mendengarkan urai nota keberatan, Hakim Adnya Dewi memberikan waktu kepada tim jaksa untuk menanggapinya. Jaksa minta waktu seminggu untuk menanggapi eksepsi secara tertulis. Dengan demikian sidang selanjutnya akan digelar kembali 1 Oktober 2020. (can)