Jaksa Pinangki Bantah Buat Action Plan Urus Fatwa MA Djoko Tjandra, Kejagung Pastikan Ada Buktinya
"Ada pasti (alat bukti), apa yang ada didakwakan," kata Bagus di Gedung Bundar JAM Pidsus, Jakarta Selatan, Kamis (1/10/2020).
TRIBUN-BALI.COM - Jaksa Pinangki Sirna Malasari membantah telah membuat action plan pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) terkait eksekusi Djoko Tjandra, sebagai terpidana korupsi cessie Bank Bali.
Hal itu diungkapkannya dalam nota keberatan atau eksepsi saat persidangan di PN Jakarta Pusat.
Menanggapi hal itu, Direktur Penuntutan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Bagus Nyoman Wismantanu memastikan penyidik memiliki bukti kuat, terkait action plan yang dirancang oleh Jaksa Pinangki.
"Ada pasti (alat bukti), apa yang ada didakwakan," kata Bagus di Gedung Bundar JAM Pidsus, Jakarta Selatan, Kamis (1/10/2020).
• Cek Kualitas Air Sekitar Rembesan Minyak, Tim Ahli Depo Pertamina Manggis Ambil Sampel di 6 Titik
• Simona Halep Perpanjang Rekor Kemenangan Atas Camelia Begu di French Open
• Link Live Streaming Undian Liga Champions Malam Ini, Inggris Kirim 4 Klub
Bagus menuturkan, pihaknya enggan merespons lebih lanjut terkait bantahan Jaksa Pinangki lainnya di dalam persidangan.
Termasuk, soal bantahan terima uang dari Djoko Tjandra hingga nama-nama yang muncul di persidangan.
"Terkait materi nanti aja di sidang, karena kita tidak mau mendahului apa yang nanti disampaikan di sidang."
"Kan semuanya sudah harus dinyatakan secara terbuka di sidang," paparnya.
Sebelumnya, jaksa Pinangki Sirna Malasari menegaskan tidak pernah menyebut nama Jaksa Agung ST Burhanudin dan eks Mantan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali.
Hal itu terungkap dalam nota keberatan alias eksepsi Pinangki, yang dibacakan kuasa hukumnya, dalam persidangan perkara pidana No. 38/Pid.Sus-TPK/2020/PN.JKT.PST di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (30/9/2020).
“Perihal nama Bapak Hatta Ali (Mantan Ketua Mahkamah Agung) dan Bapak ST Burhanudin (Jaksa Agung) yang ikut dikait-kaitkan namanya belakangan ini dalam permasalahan hukum terdakwa.
"Sama sekali tidak ada hubungannya, dan terdakwa tidak pernah menyebut nama beliau, dalam proses penyidikan dan penuntutan perkara terdakwa,” tegas Pinangki dalam eksepsi yang dibacakan kuasa hukumnya.
Dalam eksepsi itu, Pinangki pun menegaskan tidak ada hubungan dengan dua sosok tersebut.
Pinangki hanya mengetahui Hatta Ali sebagai mantan Ketua Mahkamah Agung.
Pinangki mengaku tidak mengenal secara personal dan tidak pernah berkomunikasi dengan Hatta Ali.
• Stan Wawrinka Raih Kemenangan ke-150 di Ajang Grand Slam
• Terjadi Tabrakan Beruntun Tiga Kendaraan di Depan Kantor KPU Jembrana
• Kerap Dianggap Tenget, Penyuluh Bahasa Bali Minta Masyarakat Jangan Takut pada Lontar
Dia pun hanya mengetahui ST Burhanuddin sebagai atasan atau Jaksa Agung di institusi tempatnya bekerja.
“Namun tidak kenal dan tidak pernah berkomunikasi dengan beliau,” jelas tim kuasa hukum Pinangki.
Nota keberatannya itu menyoroti berbagai pemberitaan dan surat dakwaan yang dibacakan oleh jaksa penuntut umum, khususnya terkait banyaknya pihak yang seakan-akan terseret dalam kasus ini.
Pinangki, dalam eksepsi itu, juga menegaskan penyebutan nama-nama tersebut bukan didasarkan oleh pernyataannya.
“Dapat kami sampaikan dalam momen ini, penyebutan nama pihak-pihak tersebut bukanlah atas pernyataan terdakwa dalam proses penyidikan."
"Namun karena ada orang-orang yang sengaja mau mempersalahkan terdakwa, seolah-olah dari terdakwa-lah yang telah menyebut nama pihak-pihak tersebut."
"Terdakwa sejak awal dalam penyidikan menyampaikan tidak mau menimbulkan fitnah bagi pihak-pihak yang namanya selalu dikait-kaitkan dengan terdakwa,” lanjut kuasa hukum Pinangki.
Kuasa hukum Pinangki menyebut, terdakwa melihat ada pihak-pihak yang sengaja menggunakan kasus ini untuk kepentingan tertentu, khususnya kepada nama-nama yang disebutkan dalam action plan.
Pinangki pun khawatir perkara yang membelitnya ini dijadikan alat untuk menjatuhkan kredibilitas pihak-pihak lain.
Pinangki didakwa dengan tindakan permufakatan jahat sebagaimana termuat dalam Pasal 15 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam eksepsinya, Pinangki menyebut dakwaan itu sangat dipaksakan, baik oleh para penuntut umum, maupun penyidik saat proses penyidikan.
Sebab, seandainya pun benar (quad non) Pinangki membantu Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung sehubungan dengan Putusan PK No.12/2009 agar Joko tidak dapat dieksekusi, secara fakta tuduhan itu tidak jadi dilaksanakan.
“Karena Joko Sugiarto Tjandra telah menyatakan action plan proses fatwa tersebut tidak masuk akal."
"Dan memilih untuk menempuh jalur pengajuan peninjauan kembali melalui pengacara Anita Kolopaking,” demikian lanjutan eksepsi yang dibacakan di ruang persidangan.
Dalam permufakatan jahat yang dituduhkan kepada Pinangki, terdapat action plan yang di dalamnya terdapat kode nama-nama orang lain yang diisukan ‘dijual’ olehnya.
Padahal, faktanya, sambung kuasa hukum, Pinangki bukanlah orang yang membuat action plan itu, apalagi menyebutkan nama-nama di dalamnya.
“Sejak awal pemeriksaan di penyidikan, terdakwa tidak mau berspekulasi dengan nama-nama yang ada dalam action plan."
"Karena memang tidak tahu dari mana asal action plan tersebut, apalagi isi di dalamnya."
"Sehingga menjadi pertanyaan besar kenapa terdakwa masih didakwa dengan suatu hal yang nyata-nyatanya tidak terjadi,” demikian sambungan isi eksepsi Pinangki.
Sebelumnya, jaksa Pinangki Sirna Malasari menyelipkan nama Jaksa Agung ST Burhanuddin dan eks Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali, dalam rencana aksinya.
Action plan itu untuk mengurus permintaan fatwa MA atas putusan Peninjauan Kembali (PK) Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra.
"Pada 25 November 2019, terdakwa bersama-sama dengan Anita Kolopaking dan Andi Irfan Jaya menemui Joko Soegiarto Tjandra."
"Di The Exchange 106 Kuala Lumpur," kata jaksa penuntut umum (JPU) Kemas Roni di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (23/9/2020).
Dalam pertemuan itu, Roni mengatakan, terdakwa dan Andi Irfan Jaya menyerahkan dan menjelaskan rencana aksi yang akan diajukan Djoko Tjandra untuk mengurus kepulangan, dengan menggunakan sarana fatwa MA melalui Kejagung.
Action plan pertama adalah penandatangan akta kuasa jual sebagai jaminan, bila security deposit yang dijanjikan Djoko Tjandra tidak terealisasi dan akan dilaksanakan pada 13- 23 Febuari 2020.
Penanggung jawab adalah Djoko Tjandra dan Andi Irfan Jaya.
Action plan kedua, pengiriman surat dari pengacara kepada pejabat Kejaksaan Agung Burhanuddin (BR).
Yaitu, surat permohonan fatwa MA dari pengacara kepada Kejagung untuk diteruskan kepada MA, yang akan dilaksanakan pada 24-25 Februari 2020.
Burhanuddin yang dimaksud adalah Jaksa Agung ST Burhanuddin.
Action plan ketiga adalah Burhanuddin mengirimkan surat permohonan fatwa MA kepada pejabat MA Hatta Ali (HA).
Pelaksanaan dilakukan pada 26 Februari-1 Maret 2020, dengan penanggung jawab Andi Irfan Jaya dan Pinangki.
Hatta Ali masih menjabat Ketua MA pada Maret 2020.
Action plan keempat adalah pembayaran 25 persen fee sebesar 250 ribu dolar AS atau sekira Rp 3,75 miliar, dari total fee 1 juta dolar AS atau sekira Rp 14,85 miliar.
Jumlah itu telah dibayar uang mukanya sebesar 500 ribu dolar AS atau sekira Rp 7,425 miliar, dengan penanggung jawab adalah Djoko Tjandra, yang akan dilaksanakan pada 1-5 Maret 2020.
Action plan kelima adalah pembayaran konsultan fee media kepada Andi Irfan Jaya sebesar 500 ribu dolar AS atau sekira Rp 7,425 miliar, untuk mengondisikan media dengan penanggung jawab Djoko Tjandra, yang akan dilaksanakan pada 1-5 Maret 2020.
Action plan keenam, pejabat MA Hatta Ali menjawab surat pejabat Kejagung Burhanuddin.
Penanggung jawabnya adalah Hatta Ali atau DK (belum diketahui) atau AK (Anita Kolopaking), yang akan dilaksanakan pada 6-16 Maret 2020.
Action plan ketujuh adalah pejabat Kejagung Burhanuddin menerbitkan instruksi terkait surat Hatta Ali, yaitu menginstruksikan kepada bawahannya untuk melaksanaan fatwa MA.
Penanggung jawaab adalah IF (belum diketahui)/P (Pinangki) yang akan dilaksanakan pada 16-26 Maret 2020.
Action plan kedelapan adalah security deposit cair, yaitu sebesar 10.000 dolar AS.
Maksudnya, Djoko Tjandra akan membayar uang tersebut bila action plan kedua , ketiga, keenam dan ketujuh berhasil dilaksanakan.
Penanggung jawabnya adalah Djoko Tjandra, yang akan dilaksanakan pada 26 Maret - 5 April 2020.
Action plan kesembilan adalah Djoko Tjandra kembali ke Indonesia tanpa menjalani eksekusi pidana penjara selama 2 tahun.
Penanggung jawab adalah Pinangki/Andi Irfan Jaya/Joko Tjandra yang dilaksanakan pada April-Mei 2020.
Action plan ke-10 adalah pembayaran fee 25 persen, yaitu 250 ribu dolar AS sebagai pelunasan atas kekurangan pemeriksaan fee terhadap Pinangki, bila Djoko Tjandra kembali ke Indonesia seperti action plan kesembilan.
Penanggung jawab adalah Djoko Tjandra, yang akan dilaksanakan pada Mei-Juni 2020.
"Atas kesepakatan action plan tersebut, tidak ada satu pun yang terlaksana."
"Padahal, Djoko Tjandra telah memberikan uang muka sebesar 500.000 dolar AS."
"Sehingga Djoko Tjandra pada Desember 2019 membatalkan rencana aksi."
"Dengan cara memberikan catatan pada kolom notes dengan tulisan tangan 'NO'."
"Kecuali pada aksi ke-7 dengan tulisan tangan 'bayar nomor 4,5' dan 'action' ke-9 dengan tulisan 'bayar 10 M' yaitu bonus kepada terdakwa bila Djoko kembali ke Indonesia," ungkap jaksa.
Atas perbuatannya, Pinangki didakwa berdasarkan 5 ayat 2 jo pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 11 UU 31/1999, sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Isinya, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji, dapat dipidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun.
Pinangki juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang, pasal percobaan pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi. (*)
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Jaksa Pinangki Bantah Bikin Action Plan Urus Fatwa MA Djoko Tjandra, Kejagung Pastikan Punya Bukti,