Ketua BEM Unud Sayangkan Demo Mahasiswa di Bali Malah Dibawa ke Isu SARA

Dewa Satya tak habis pikir kenapa isu warga lokal non lokal diangkat dijadikan narasi utama saat wawancara aparat kepolisian dengan awak media.

Penulis: I Wayan Erwin Widyaswara | Editor: Eviera Paramita Sandi
Tribun Bali/I Wayan Erwin Widyaswara
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Udayana (Unud) Dewa Gede Satya Ranasika Kusuma (baju hitam) saat menggelar konferensi pers bersama Aliansi Bali Tidak Diam di Kantor LBH Bali, Jl Plawa Denpasar, Jumat (9/10/2020) 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR- Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Udayana (Unud), Dewa Gede Satya Ranasika Kusuma menyayangkan aksi Bali Tidak Diam yang malah digiring ke isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) oleh pihak kepolisian.

Dewa Satya menilai, narasi-narasi yang disampaikan polisi ke awak media saat demo kemarin terkesan bahwa aksi tersebut dibuat ricuh oleh orang non lokal Bali. 

"Sebenarnya bukan tentang warga non lokal dan warga lokal, ini adalah massa yang berbaur antara warga lokal, dan non lokal, yang mana pada intinya, masyarakat Bali yang tergabung untuk menolak UU Cipta Kerja," kata Dewa Satya dalam konferensi Pers Aliansi Bali Tidak Diam yang digelar di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, Jumat (9/10/2020) sore.

Deretan 7 Hoaks yang Dibantah Jokowi di UU Omnibus Law Cipta Kerja

Dewa Satya menegaskan, bahwa aksi yang mereka gelar kemarin murni untuk kepentingan rakyat yang ingin menyampaikan aspirasinya menolak UU Cipta Kerja Omnibus Law.

"Dimana dalam aliansi kami, unsur yang terlibat dari berbagai macam elemen, ada dari masyarakat, dan mahasiswa dari berbagai universitas baik negeri dan swasta yang ada di Bali, organisasi buruh, dan serikat pekerja," tegas Dewa Satya. 

Dewa Satya tak habis pikir kenapa isu warga lokal non lokal diangkat dijadikan narasi utama saat wawancara aparat kepolisian dengan awak media.

"Yang mana narasi itu disampaikan oleh aparat dalam wawancaranya. Padahal sebenarnya isu-isu SARA seperti ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan gerakan. Maka dari itu, kami tegaskan, aksi kami tidak ada ditunggangi, tapi murni ditunggangi oleh kepentingan rakyat," ucap Dewa Satya

Sementara itu, Pendamping Hukum Aliansi Bali Tidak Diam, Kadek Vany Primaliraning mengklarifikasi atas tuduhan masyarakat yang mengatakan bahwa kebanyakan masyarakat atau mahasiswa yang demo kemarin hanya ikut-ikutan.

"Jadi kalau ada yang bilang masyarakat bahwa banyak yang ikut-ikutan. Jadi kami menjelaskan bahwa mereka sudah paham secara substansi apa yang mereka suarakan," kata Vany.

LBH Bali : UU Cipta Kerja Ancam Hak Masyarakat Adat 

Selain itu, Vany juga membeberkan kenapa pihaknya mendukung gerakan Aliansi Bali Tidak Diam dalam menyuarakan penolakan UU Cipta Kerja.

Vany menjelaskan, dalam UU Cipta Kerja Omnibus Law yang telah disahkan oleh DPR RI tersebut, ada pasal-pasal yang berpotensi menghilangkan kearifan lokal khususnya hak masyarakat adat terkait struktur tanah dan lingkungan hidup.

Bahkan, Vany yang juga Pendamping Hukum Aliansi Bali Tidak Diam ini membeberkan bahwa UU Cipta Kerja tersebut memungkinkan pengusaha bisa melakukan aksi pembakaran lahan.   

"Dalam peraturan sebelumnya, masyarakat adat itu diberikan hak khusus, terkait dengan perubahan struktur tanah dan lingkungan hidup. Namun dalam UU ini, kearifan lokal masyarakat adat tidak menjadi pertimbangan dalam pembukaan lahan dengan cara membakar. Jadi pengusaha bisa saja membakar lahan-lahan masyarakat adat tanpa kasih tahu," jelas Vany dalam konferensi pers Aliansi Bali Tidak Diam di Kantor LBH Bali, Jalan Plawa, Denpasar, Bali, Jumat (9/10/2020) sore.

Jika UU Cipta Kerja tersebut diterapkan, Vany khawatir akan nasib masyarakat adat di Bali yang saat ini jumlahnya sekitar 1.434 desa adat itu.

"Karena perizinan usaha terletak pada pusat, sehingga ini akan memunculkan minimnya informasi ke masyarakat khususnya masyarakat pedalaman, termasuk kearifan lokal, yang mana Bali punya 1.434 masyarakat adat. Karena sebelumnya masyarakat diberikan hak khusus, sekarang tidak," beber Vany.

Selain itu, soal UU 32 tahun 2009 tentang lingkungan hidup yang dikemudian direvisi melalui UU Cipta Kerja, Vany juga mengingatkan akan potensi bahaya UU Cipta Kerja ini terhadap kerusakan lingkungan di Bali.

"UU 32 th 2009 tentang lingkungan hidup, yang kemudian direvisi melalui UU Cipta Kerja, bahwa disana ada pemangkasan kewenangan daerah terkait dengan Amdal, jadi Amdal itu dilakukan pengajuannya ke pusat. Jadi jika sebelumnya masyarakat luas bisa memberikan masukan secara luas terkait Amdal, nah di UU Cipta Kerja, hanya masyarakat terdampak langsung yang relevan dengam rencana usaha atau kegiatan yang bisa memberikan saran dan tanggapan. Padahal dampak lingkungan akan dirasakan secara langsung atau tidak langsung, kemudian adanya frasa relevan bisa ditekan secara bebas oleh penguasa," kata Vany

Sebelumnya, lanjut Vany, beberapa pihak bisa memberikan masukan terkait Amdal, tapi dalam UU Cipta Kerja, hanya masyarakat relevan saja.

Bahkan organisasi masyarakat yang peduli lingkungan itu tidak bisa memberikan masukan terhadap dampak lingkungan.

"Karena itu dipangkas," kata Vany.

UU Cipta Kerja ini, menurut Vany, sama dengan melegitimasi ketertutupan informasi publik karena hilangnya prinsip keterbukaan informasi dan transparansi kepada masyarakat.

"Pemerhati lingkungan hidup atau yang terpengaruh atas dalam bentuk keputusan dalam proses Amdal tidak dapat mengajukan keberatan mengenai amdal," ucap Vany.

Bukan cuma itu, Vany membeberkan bahwa dalam peraturan sebelumnya, penilai amdal sebelumnya ada beberapa pihak termasuk orang yang ahli, organisasi kemasyarakatan, itu ada di komisi penilai Amdal.

Namun saat ini, dalam UU Cipta Kerja, semua itu dihapus.

"Sekarang komisi amdal itu hanya terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan ahli sertifikasi, sehingga masyarakat sama sekali dihilangkan keterlibatannya dalam undang-undang ini. Jangan harap masyarakat gampang tahu apa sih isi Amdal itu, itu bagaimana, itu tidak mungkin dalam undang-undang ini," bebernya.(*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved