Corona di Bali
Cegah Kasus Bunuh Diri Saat Pandemi, Pemerintah Didorong Bentuk Layanan Kesehatan Mental
Prof Luh Ketut Suryani mendorong pemerintah untuk membuat layanan untuk masyarakat yang mempunyai masalah kesehatan mental
Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Irma Budiarti
Laporan Wartawan Tribun Bali, I Wayan Sui Suadnyana
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Di tengah pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) hampir semua masyarakat mengalami kesulitan.
Namun setiap individu mempunyai kerentanan yang berbeda dalam menghadapi pandemi Covid-19.
Bagi masyarakat yang rentan, bunuh diri menjadi salah satu jalan yang diambil guna menyelesaikan masalah.
Melihat kondisi darurat seperti ini, pendiri Suryani Institute for Mental Health, Prof Luh Ketut Suryani mendorong pemerintah untuk membuat layanan untuk masyarakat yang mempunyai masalah kesehatan mental.
Layanan ini dinilai penting, sebab jika masyarakat melakukan konsultasi ke psikiater tentu akan mengeluarkan biaya.
Sementara jika ke rumah sakit, masyarakat justru takut terjangkit Covid-19.
"Bisakah pemerintah mengorganisir dari timnya sendiri untuk membuka layanan masyarakat, crisis center kesehatan mental. Bisakah mereka menelepon dengan ngobrol ada yang melayani," kata Prof Suryani dalam bincang Santapan Jiwa dan Jasmani (Sanjiwani) bersama Tribun Bali yang tayang pada Selasa (13/10/2020).
Jika masyarakat nantinya sudah memanfaatkan layanan tersebut, diharapkan mereka bisa berpikir bahwa masalah yang dilaluinya dianggap sebagai ujian dan tidak perlu ditangisi.
Baca juga: Operasi Yustisi di TL Jalan Gatsu Timur-Nangka Denpasar, 5 Orang Tanpa Masker Didenda Rp 100 Ribu
Baca juga: 383 Warga Jembrana Terpapar Covid-19, 10 Pasien Meninggal Dunia
Masyarakat yang mempunyai masalah dan sudah bisa menganggapnya sebagai ujian, tentu bisa berpikir untuk melakukan sesuatu guna keluar dari persoalan yang tengah dihadapi, baik melalui ngobrol dengan teman dan sebagainya.
"Jadi seharusnya pemerintah segera mungkin buatlah crisis center dengan telepon atau dengan layanan yang lainnya sehingga masyarakat ada tempat untuk menyampaikan permasalahannya itu," pinta Prof Suryani.
Baginya, pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada perekonomian masyarakat yang berimbas pada isi perut, tetapi juga menyebabkan krisis mental.
Terlebih selama ini mereka yang mengalami gangguan terhadap mentalnya, saat mencari bantuan, justru mendapatkan masalah lain, seperti diperkosa dan sebagainya.
Berkaca dari permasalahan itu pula, Prof Suryani mendorong pemerintah membuat crisis center for mental health serta bekerjasama dengan kepala desa.
Apabila sudah mengetahui ada masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan mental, dirinya juga menyarankan pemerintah mendatangi masyarakat bersangkutan.
"Dengan membentuk tim seperti ini, saya kira bisa menyelamatkan nyawa teman-teman kita yang mengalami krisis mental," tuturnya.
Sementara itu, Psikiatri dari Suryani Institute for Mental Health, Cokorda Bagus Jaya Lesmana mengungkapkan, sampai Oktober 2020, sudah sudah ada 53 orang yang melakukan bunuh diri.
Baca juga: Lagi, Satu Pasien Covid-19 Meninggal Dunia Usai Dirawat Intensif di RSU Negara
Baca juga: Siap Diuji Coba, Laboratorium RSD Mangusada Akan Digunakan Mendeteksi Keberadaan Covid-19
Apalagi situasi ini terjadi merata di seluruh kabupaten/kota yang ada di Pulau Dewata.
"Ini menandakan bahwa bunuh diri ini tidak memandang apakah dia di kabupaten kaya atau kabupaten miskin atau tingkat pendidikan yang tinggi atau pendidikan yang rendah," kata Cok Lesmana.
Dirinya mengungkapkan, sebanyak 53 kejadian bunuh diri tersebut adalah kasus yang berhasil.
Padahal, menurut Cok Lesmana, kasus percobaan bunuh diri ibarat seperti gunung es dan hanya diketahui yang berhasil melakukannya.
Sedangkan masyarakat yang sudah pernah melakukan percobaan bunuh diri dan gagal, tentu tidak diketahui datanya.
"Yang mencoba (bunuh diri) tetapi tidak berhasil kan tidak dilaporkan. Itu juga perlu diperhatikan," tegas Cok Lesmana.
Ia menduga, dalam kasus percobaan bunuh diri, antara laki-laki dan perempuan angkanya tidak berbeda jauh.
Hanya saja dari hasil pengamatannya mereka yang berhasil melakukan bunuh diri kebanyakan laki-laki.
Dari 53 kasus yang ia ungkapkan tersebut, sekitar 70 persennya berjenis kelamin laki-laki.
"Laki-laki memang lebih berani untuk mengambil sikap di tengah kebutuhan ini dibanding perempuan yang ingin bertahan di tengah masalah itu sendiri," tuturnya.
(*)