Soal Bandara Bali Utara di Buleleng Pemerintah Diminta Selesaikan Dulu Konfliknya, Baru Bicara

Di wilayah tersebut sejatinya menjadi pilihan pertama pemerintah dalam membangun bandara internasional di Bali utara.

Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Eviera Paramita Sandi
Tribun Bali / Ratu Ayu Astri Desiani
Lahan untuk lokasi pembangunan bandara Buleleng yang sebelumnya pernah direncanakan 

TRIBUN-BALI.COM - Pemerintah sangat berharap pembangunan bandara Bali utara di Kabupaten Buleleng dapat segera terealisasikan.

Namun harapan tersebut tak berjalan mulus karena sejumlah persoalan di lapangan.

Seperti yang terjadi di Desa/Kecamatan Kubutambahan.

Di wilayah tersebut sejatinya menjadi pilihan pertama pemerintah dalam membangun bandara internasional di Bali utara.

Bahkan, pihak konsorsium sudah melakukam Feasibility Study (FS) di Kubutambahan.

Juga sudah beberapa kali dilakukan peninjauan oleh Kementerian Perhubungan.

Baca juga: Dua Lokasi di Buleleng Bermasalah, Pembangunan Bandara Bali Utara Bisa Saja Dipindah

Namun yang menjadi persoalan selama ini, lahan seluas 370 hektare duwe (milik) pura itu saat ini masih berstatus dikontrakkan oleh pihak desa adat.

Tanah tersebut dikontrakkan kepada PT Pinang Propertindo selama 30 tahun, terhitung sejak 1991 sampai 2026, dan bisa diperpanjang tanpa batas waktu.

Sementara pemerintah pusat menargetkan, bandara harus sudah dibangun pada 2021 mendatang, dan selesai pada 2023.

Hal ini kemudian membuat pemerintah mencari alternatif, dengan mencari lokasi lain. Pilihannya jatuh pada lahan yang ada di Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak.

Di wilayah tersebut, sejatinya tersedia lahan seluas 623.8 hektare eks HGU PT Margarana dan PT Dharmajati yang kini dikuasai oleh Pemprov Bali.

Namun sayangnya, lahan tersebut kini berstatus konflik agraria.

Perbekel Sumberklampok, I Wayan Sawitra, Jumat (16/10/2020) mengatakan, jauh hari sebelum isu pembangunan bandara mencuat, Pemprov Bali sempat memberikan janji skema hibah 70:30 kepada masyarakat.

Artinya, 70 persen dari lahan tersebut diserahkan kepada masyarakat untuk perkebunan, pekarangan, dan fasilitas umum. Sementara 30 persennya untuk Pemprov Bali.

Atas janji tersebut, kata Sawitra, sejatinya masyarakat sudah legowo, kendati proses peralihan hingga saat ini belum dilakukan.

Halaman
12
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved