Pilkada Serentak
Pilkada Serentak di Bali, Tempat Hiburan Direncanakan Tutup Saat Pencoblosan 'Agar Datang ke TPS'
Tantangan kami nantinya bagaimana mendatangkan masyarakat ke TPS, kami sudah melakukan langkah sosialisiasi melalui media sosial
Penulis: Ragil Armando | Editor: Eviera Paramita Sandi
“Tantangan kami nantinya bagaimana mendatangkan masyarakat ke TPS, kami sudah melakukan langkah sosialisiasi melalui media sosial," jelasnya.
Menariknya, dalam diskusi tersebut, pihaknya menelorkan wacana dengan meminta pemerintah menutup tempat hiburan dan wisata saat pencoblosan pada 9 Desember 2020 mendatang.
Pasalnya, pihaknya menilai banyak masyarakat yang takut menggunakan hak pilihnya di masa pandemi dengan alasan kesehatan.
Tetapi, selama masa pandemi ini tempat wisata dan hiburan justru tetap ramai oleh masyarakat.
"Kami juga ada wacana yang nanti kami konsultasikan ke Pemerintah, pada 9 Desember tempat hiburan atau wisata agar baru dibuka pukul 13.00 siang setelah pencoblosan, agar masyarakat datang dulu ke TPS baru jalan-jalan," ungkapnya.
Kepala Daerah Bisa Tidak Memiliki Legitimasi
Akademisi Universitas Udayana Dr. Kadek Dwita Apriani, memaparkan jika KPU memiliki tantangan dalam sosialisasi terutama di kalangan Milenial.
"Dari hasil survey kami di masyarakat kota Denpasar jika masyarakat Denpasar yang tahu Pilkada sebanyak 76 persen, ada 24 persen yang tidak tahu, tetapi angka 76 persen itu bertolak belakang dengan orang yang tahu Pilkada ditunda ke Desember hanya 56 persen," ungkapnya.
Dwita melanjutkan jika masyarakat yang mencari tahu track record calon di kota Denpasar hanya 50 persen saja.
Ia juga mengatakan dalam Pilkada nanti ada tujuh tantangan yang harus mampu dilawan oleh KPU, diantaranya adalah ada cluster baru Covid (Pilkada), meningkatnya angka golput akibat tidak memilih karena takut terinfeksi, partisipasi pemilih rendah, dan beberapa poin lainnya.
Salah satu poin menarik adalah bahwa dengan angka golput yang dikhawatirkan tinggi, ia khawatir justeru akan membuat kepala daerah terpilih tidak memiliki legitimasi yang kuat akibat rendahnya tingkat dukungan di masyarakat.
“Kepala daerah tidak fokus mengurus virus, sibuk urusan politik disbanding kesehatan, fraud lebih merajalela yakni politik uang dan politisasi birokrasi, legitimasi kepala daerah terpilih lemah, kepemimpinan kepala daerah terpilih bisa tidak efektif atau instabilitas pemda,” terangnya.
Sementara itu Mantan Ketua KPU Buleleng yang kini duduk sebagai Ketua Komite Demokrasi (KoDe) Bali, Gde Suardana mengungkapkan jika pemberitaan di media, Pilkada di beberapa wilayah di Bali masih rendah dibandingkan berita lain.
"Seperti yang di Karangasem, dalam bulan ini berita tentang Pilkada sangat rendah, nah ini menjadi tantangan bagi KPU bagaimana mengemas kegiatan agar menarik diberitakan," ungkap Suardana. (*)