Sampah di Bali
DLHK Bali Bakal Buat Waste Crisis Center Sampah, Petugas Bekerja 24 Jam dengan Shift Kerja
Dalam rangka optimalisasi dan percepatan pengolahan sampah di Bali tentu memerlukan kesadaran kolektif.
Penulis: Ni Luh Putu Wahyuni Sari | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR — Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Bali, I Made Rentin berencana akan membuat Waste Crisis Center di Bali.
Hal tersebut ia sampaikan pada saat jumpa pers lomba gebogan buah hutan di Kantor DLHK Bali, Senin 6 Oktober 2025.
Rencananya, pada Waste Crisis Center akan ada petugas yang bekerja selama 24 jam dengan shift kerja.
Pola kerja di Waste Crisis Center ini disamakan dengan kedaruratan Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalop) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Baca juga: Petugas Bekerja 24 Jam dengan Shift, Kerja DLHK Bali Bakal Buat Waste Crisis Center Sampah
“Karena konteks pandangan kami urusan permasalahan sampah sudah memasuki kondisi darurat. Oleh karena itu di masa-masa menjelang kita akan penerapan teknologi dalam pengolahan sampah yang akan menugaskan tim kami secara terpadu selama 24 jam tentu dengan kerja shift,” ungkap Rentin.
Lebih lanjut Rentin mengatakan, belajar dari pengalaman banjir bandang di Bali pada Rabu 10 September 2025, dalam analisa dan kajian yang dilakukan secara komprehensi oleh tim, terdapat dua faktor penyebabnya. Satu di antaranya terkait langsung dengan DLHK Provinsi Bali.
Banjir disinyalir disebabkan oleh faktor pembuangan sampah yang masih sembarangan, menutupi selokan, menyumbat drainase, bahkan sampai ke sungai-sungai besar yang ada di Provinsi Bali.
Dalam rangka optimalisasi dan percepatan pengolahan sampah di Bali tentu memerlukan kesadaran kolektif.
“Kembali kami sampaikan kami sedang menyiapkan strategi pengolahan sampah dengan teknologi Pengelolaan Sampah Menjadi Energi Listrik (Pisel), pengolahan sampah menjadi energi listrik,” kata Rentin.
“Di sisi lain pemisahan di sumber rumah tangga dan desa tetap secara konsisten kita lakukan, pilah sampah mana organik mana anorganik organik tuntas di sumbernya di rumah tangga, di desa dan lain sebagainya optimalisasi peran fungsi TPS3R, TPST sehingga sangat minim atau bahkan zero yang dibuang ke TPA,” bebernya.
Rentin menambahkan, telah menyepakati untuk menghilangkan istilah TPA karena memang konotasinya selama ini tempat pembuangan akhir, padahal secara teori TPA adalah tempat pemprosesan akhir.
Terlebih ada paksaan dari pemerintah pusat Kementerian Lingkungan Hidup agar akhir Desember 2025, TPA Suwung sudah harus ditutup.
“Di sisi kehutanan kami konsentrasi dan terus-menerus melakukan upaya reboisasi penghijauan, ketika konsen kita di beberapa DAS daerah aliran sungai, sekarang kami sedang mengusung strategi, berkolaborasi dengan Dinas PUPR untuk melakukan upaya normalisasi,” kata dia.
“Di samping tadi, sampah alih fungsi lahan, ada juga indikasi terjadinya sedimentasi yang cukup tinggi,” sambungnya.
Sementara mengenai kesiapsiagaan banjir rob yang diprediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terjadi pada 7 Oktober 2025, Rentin menegaskan DLHK dan beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lainnya berkiblat dengan BPPD.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.