Jerinx Dilaporkan ke Polda Bali
Jadi Saksi di Sidang Jerinx, Arianti Menangis Kisahkan Anaknya Meninggal Akibat Prosedur Rapid Test
Pasangan suami istri (pasutri) Gusti Ayu Arianti dan Nyoman Yudi Prasetya Jaya dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan perkara dugaan ujaran
Penulis: Putu Candra | Editor: Ady Sucipto
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Pasangan suami istri (pasutri) Gusti Ayu Arianti dan Nyoman Yudi Prasetya Jaya dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan perkara dugaan ujaran kebencian dengan terdakwa I Gede Ary Astina alias Jerinx (JRX) di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Selasa (20/10).
Dalam kesaksiannya, Arianti berkisah kesulitan dirinya saat melahirkan hingga anaknya meninggal dunia akibat prosedur rapid test.
Sidang kemarin memasuki agenda mendengarkan keterangan para saksi meringankan yang dihadrirkan tim penasihat hukum Jerinx.
Tim hukum Jerinx yang dikomandoi oleh I Wayan “Gendo” Suardana menghadirkan empat saksi.
Selain pasutri Arianti dan Yudi, juga dihadirkan dua personil Superman Is Dead (SID),
I Made Putra Budi Sartika alias Boby Kool dan I Made Eka Arsana alias Eka Rock,
Di hadapan majelis hakim pimpinan Hakim Ida Ayu Adnya Dewi, sebelum mendengarkan keterangan saksi, Gendo menjelaskan dihadirkannya Arianti sebagai saksi di persidangan.
“Gusti Ayu Arianti dihadirkan sebagai saksi terkait dengan postingan Jerinx yang berisi mengenai hasil rapid test menyulitkan ibu-ibu yang akan bersalin. Saksi yang kami hadirkan adalah salah satu korban dari prosedur rapid test yang mengalami situasi sudah pecah ketuban, kemudian dipaksakan rapid test dan tidak ditangani. lalu beberapa jam kemudian bayi saksi setelah dioperasi, meninggal dunia,” jelasnya.
Baca juga: Foto-foto Persidangan Jerinx: Rina Nose Datang ke PN Denpasar, Personil SID Dihadirkan sebagai Saksi
Baca juga: Personel Superman Is Dead (SID) Hingga Artis Rina Nose Datangi Sidang Jerinx di PN Denpasar
Baca juga: Babak Baru Sidang Perkara Jerinx, Dua Personel SID Ini Dihadirkan Sebagai Saksi
Dalam postingan di akun Instagramnya, Jerink menulis; "Gara-gara bangga jadi kacung WHO. IDI dan RS seenaknya mewajibkan semua orang yang akan melahirkan di test cv-19. Sudah banyak bukti jika hasil test sering ngawur. Kenapa dipaksakan kalau hasil testnya bikin stres dan menyebabkan kematian kepada bayi atau ibunya. Siapa yang tanggungjawab."
Arianti menyatakan bersedia memberikan keterangan di persidangan karena setuju dengan yang disampaikan Jerinx dalam postingannya. Ia mengalami kesulitan melahirkan gara-gara rapid test hingga menyebabkan buah hatinya meninggal.
“Saya setuju dihadirkan sebagai saksi di persidangan. Karena untuk ibu hamil kenapa nyawanya tidak ditolong terlebih dahulu. Seperti protes yang disampaikan Jerinx. Saya ke sini mau memberikan pernyataan bahwa apa yang saya alami sama dengan apa yang dibilang oleh Jerinx,” ucapnya.
Setelah itu, saksi yang keseharian sebagai ibu rumah tangga ini pun menceritakan kepada majelis hakim, kronologis proses bersalin yang mendapat penolakan dari rumah sakit. Kata Arianti, sebelum dirinya melahirkan harus diwajibkan melakukan prosedur rapid test.
“Saya tahu ada prosedur rapid test itu saat pecah ketuban. Itu baru dikasi tahu oleh petugas rumah sakit di RSAD Kota Mataram. Kejadiannya 18 Agustus 2020 saat itu kondisi saya sudah pecah ketuban. Oleh petugas saya diminta rapid test terlebih dahulu, padahal saya sudah bilang bahwa saya sudah pecah ketuban. Petugas tidak ada penjelasan lebih lanjut lagi dan hanya bilang prosedurnya memang seperti itu. Saya diminta rapid test dulu, baru bisa ditangani,” tutur Arianti.
Dari RSAD Mataram, dalam kondisi pecah ketuban dengan diantar oleh suaminya, Arianti kemudian ke puskesmas untuk mendapatkan rapid test.
“Saat ke rumah sakit saya didampingi suami. Saya pecah ketuban jam 7 pagi. Kemudian saya diantar suami ke RSAD Mataram, karena tidak ada rapid test saya dioper ke puskesmas. Saya sempat pulang dulu, setelah itu baru ke puskesmas. Sampai di puskesmas, suami saya disuruh daftar dan antre. Suami saya tidak mau antre, karena kondisinya sudah emergency. Suami saya bilang rapid test di halaman puskesmas, hasilnya keluar 30 menit. Saya tunggu sampai 30 menit hasil belum keluar juga. Sampai dua kali saya minta tolong ke bidan tapi tidak ditolong. Bidannya hanya menyuruh saya menunggu hasil rapid test keluar,” jelasnya.
Selama hampr 4 jam lantaran prosedur rapid test, kata Arianti, dirinya baru mendapat penanganan oleh pihak Rumah Sakit Pertama Hati.
“Dari puskesmas kemudian ke rumah sakit, sampai sana saya ditanya hasil rapid test. Saya bilang, saya sudah pecah ketuban. Apa tidak bisa dibantu dulu. Lalu saya dibawa ke UGD. Sampai di UGD detak jantung anak saya sudah lemah. Sampai ada dua alat dipasang di perut saya untuk mendeteksi detak jantung bayi saya. Saya bisa melahirkan dengan jalan dioperasi sesar. Anak saya meninggal,” terang Arianti.