Bade Roboh Timpa Rumah Warga
Pandangan PHDI Bali Soal Musibah Robohnya Bade di Gianyar, Harus Ada Upacara Pengulapan & Banten Ini
Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) telah memberikan patokan-patokan mengenai pengabenan.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Ady Sucipto
News Analysis
Ketua PHDI Bali Prof I Gusti Ngurah Sudiana
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR -- Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) telah memberikan patokan-patokan mengenai pengabenan.
Sudah ada keputusan mengenai pengabenan. Baik untuk pengabenan tingkat utama, madya, hingga nista.
Yang dimaksud utama, madya, dan nista bukan karena sarana saja.
Tetapi karena keikhlasan yang menjadi dasar dari melaksanakannya.
Tradisi budaya Bali, memang dalam upacara ngaben, memukur, ngeroras, membuat sarana wadah (tempat).
Memukur ini bisa membuat wadah dari yang besar sampai bentuk kecil.
Kalau mau membuat wadah yang besar, harus disesuaikan dengan kemampuan dan tujuan dari upacara tersebut.
Tentu harus memperhitungkan arsitekturnya, benar-benar diperhitungkan dengan baik tidak boleh keluar dari pakem lontar Asta Kosala Kosali wadah.
Sehingga dalam membuat wadah itu benar-benar kokoh.
Kemudian upacara pemlaspasan juga harus benar, dan mempertimbangkan lingkungan serta jalan menuju ke setra. Selanjutnya mempertimbangkan yang negen atau mengusung bade.
Baca juga: Bade Tumpang Siya Roboh Saat Pelebon di Keliki Kangin Gianyar, Jenazah Jatuh di Atap Rumah Warga
Baca juga: Sembilan Fakta Bade 20 Meter Roboh & Timpa Rumah Warga di Gianyar, Berikut Makna Secara Niskala
Baca juga: Kronologi Bade Setinggi 20 Meter Roboh di Gianyar, Tumbang Perlahan Saat Sudah Dekat Kuburan
Dengan pertimbangan semua ini, maka kemungkinan adanya kesalahan seperti roboh dan sebagainya dapat diminimalisir.
Perlu disampaikan, memelihara budaya Bali dan melestarikannya sangat penting.
Tetapi dengan benar-benar memperhitungkan dari berbagai segi, tidak hanya dari segi kemeriahan, tetapi dari segi sastra, arstitektur, hingga upakara dan upacaranya.