Travel

Pancoran Solas Taman Mumbul, Wisata Religi Dengan 3 Konsep Penglukatan

I Gusti Agung Made Adi Wijaya, Ketua Pengelola Penglukatan Pancoran Solas Taman Mumbul Sangeh,jelaskan destinasi wisata ini telah ada sejak 2016

Penulis: Anak Agung Seri Kusniarti | Editor: Alfonsius Alfianus Nggubhu
Tribun Bali/AA Seri Kusniarti
Pamedek melukat di Pancoran Solas Taman Mumbul Sangeh Badung 

Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, MANGUPURA – Aroma wangi dupa dan bunga, semerbak menyeruak begitu mendekati tempat melukat Pancoran Solas Taman Mumbul, Sangeh, Badung.

Pemangku dengan pakaian serba putih, menyambut pamedek yang akan melukat.

Sebelum melukat, para pamedek menghaturkan canang meminta izin dan anugerah kepada pelinggih yang ada di sana.

I Gusti Agung Made Adi Wijaya, Ketua Pengelola Penglukatan Pancoran Solas Taman Mumbul Sangeh, menjelaskan destinasi wisata religi ini telah ada sejak 2016.

Baca juga: Ini 8 Film Korea Terpopuler yang Menampilkan Kisah Time Travel, Bergenre Melodrama hingga Romantis

Baca juga: Polda Bali Belum Tetapkan Tersangka Dugaan Kasus Penganiayaan Senator AWK

Baca juga: 5 Zodiak Tetap Merasa Kesepian meski Punya Pacar, Scorpio Tak Mudah Percaya pada Pasangan

Baca juga: Upah Minimum 2021 Tak Naik, OPSI Minta Pemerintah Siapkan Bantuan Bagi Para Pekerja

“Itu baru diresmikan untuk tempat melukat, tetapi pancoran dan pura di sini sudah ada sejak dahulu kala,” jelasnya kepada Tribun Bali, Rabu (28/10/2020).

Sebelum menjadi destinasi wisata religi penglukatan, Taman Mumbul ini dikenal masyarakat sekitar sebagai tempat mandi umum dan tempat memancing ikan.

Kemudian tetua dan para warga desa memiliki ide, untuk membangun destinasi wisata melukat serta dibantu Pemkab Badung.

Gung Adi, sapaan akrabnya, menjelaskan konsep penglukatan dibagi tiga, Tirta mandala, toya mandala, dan yeh mandala.

Tirta mandala, jelas dia, adalah air untuk upacara suci umat Hindu di Sangeh.

Semisal piodalan, nyegara gunung, melasti dan lain sebagainya.

Pusatnya di utara lokasi melukat, khususnya di Pura Taman Mumbul.

Kemudian toya mandala, adalah air yang digunakan untuk penglukatan atau mandi.

Kalau yeh mandala, adalah untuk irigasi subak sekitar 300 hektare sawah yang dialiri air dari mumbul.

Untuk itu, kawasan di Desa Sangeh, Abiansemal, ini sangat hijau dan banyak sawah di sekitarnya.

Proses membuat tempat melukat ini, juga dilalui dengan prosesi upacara lengkap dengan banten sesuai sastra agama Hindu, Matur piuning dan lain sebagainya, sehingga semuanya berjalan lancar.

Dengan harapan semuanya berjalan sesuai harapan. Sebelum ada tempat melukat, lokasi ini adalah kawasan belantara dengan pancoran tempat mandi yang berpindah-pindah.

Kemudian ditata kembali menjadi tempat melukat yang luas dan indah.

Berdasarkan cerita dari pamedek pada dirinya, banyak yang datang merasakan sensasi berbeda setelah selesai.

“Kalau kasat mata penglukatan itu sama saja, namun beberapa ada yang meyakini sehingga setiap minggu datang ke sini,” jelasnya.

Ada yang dahulu merasakan sakit, setelah melukat ke sana sakitnya berkurang bahkan hilang.

Pancoran solas ini, berkonsep Dewata Nawa Sanga atau 9 dewa yang terkenal di Bali ditambah dua pancoran yaitu Dewi Gangga dan Dewi Saraswati sehingga totalnya 11 pancoran, dari 9 dewa dan 2 dewi.

“Bali kan dikenal dikelilingi Dewata Nawa Sanga, yang menjaga dari segala penjuru sehingga dengan pancoran ini diharapkan percikan air suci mampu membersihkan diri dan menyelamatkan yang melukat dari marabahaya,” jelasnya.

Dewi Gangga, filosofinya adalah dewi kesuburan sementara Dewi Saraswati adalah dewi ilmu pengetahuan.

“Ada pengunjung yang pernah merasa berat badannya, setelah melukat langsung ringan,” imbuhnya.

Sebelum pandemi destinasi ini biasa buka dari jam 8 pagi sampai 9 malam. Begitu pandemi sempat tutup selama 4 bulan dari Maret, dan kembali buka saat new normal dari jam 7 pagi sampai 7 malam.

Pemangku yang ngayah di tempat melukat, merupakan pemangku pura-pura yang ada di Sangeh dan ngayah bergantian.

Per hari ada 2 mangku yang ngayah, yakni pagi sampai siang dan sore sampai malam.

Ia menjelaskan, tak ada pantangan untuk melukat. Hanya saja bagi pamedek yang cuntaka, atau sedang haid dan ada keluarga yang meninggal maka tidak diizinkan melukat.

Intinya berpakaian sopan, membawa kamen dan selendang serta membawa sarana sembahyang seperti canang dan dupa.

Sementara untuk fasilitas di lokasi juga sangat lengkap, seperti kamar ganti hingga toilet dan loker.

Untuk sewa loker biayanya Rp 10 ribu per loker. Sedangkan kamar mandi gratis.

Gung Adi mengatakan, selain masyarakat lokal Bali banyak pula warga luar Bali dan asing yang datang melukat.

Sehingga dengan hadirnya destinasi melukat ini, memberikan pemasukan baru bagi desa dan lapangan kerja bagi warga di sana.

Baca juga: Tidak Tahan di Jakarta, Hotman Paris Liburan di Kuta, Bali Itu Hilang Pesonanya Kalau Tidak Ada Bule

Baca juga: Organisasi Guru Apresiasi Janji SK Cabup di Sumbawa

Baca juga: Alasan Tiap Zodiak Tak Kunjung Temukan Jodoh, Aries Suka Bertualang dan Tak Pernah Berhenti Mencari

Baca juga: Ramalan Zodiak Karier Besok 30 Oktober 2020, Taurus Turunkan Ambisi, Leo Bayar Utang

Walau karena pandemi Covid-19 ini, kunjungan menurun drastis namun ia optimistis semua akan segera kembali normal.

“Protokol kesehatan pun tetap kami jalankan di sini,” tegasnya. Penurunan kunjungan, sebut dia, karena ketika Galungan dan Kuningan tempat melukat ini tutup.

Sedangkan pada hari raya tersebut, termasuk Purnama, Kajeng Kliwon dan Tilem, biasanya pamedek membludak dan banyak.

Alasan lainnya, selain melukat adalah wisata kuliner. Sebab sebelum pandemi, trotoar di depan pintu masuk dipenuhi jejeran pedagang dan wisata kuliner khas Bali khususnya Sangeh. Seperti sate, nasi, jajanan, dan lain sebagainya.

Pemasukan dari destinasi melukat masuk ke Desa Sangeh, per bulannya dipotong biaya operasional dan gaji karyawan serta punia pemangku.

“Setiap bulan kami bikin laporan, diaudit panureksa dan tanda tangan bendesa, lalu disangkepkan di banjar,” sebutnya. “Yang menjaga di sini (tempat melukat), ada 10 karyawan dari 5 banjar di Sangeh. Masing-masing banjar dua orang, jadi totalnya 11 termasuk saya. Mereka bekerja shift 8 untuk pagi dan 2 untuk malam,” ujarnya. Ia berharap pandemi segera berakhir dan pamedek kembali datang. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved