Wiki Bali

WIKI BALI - Awal Kedatangan Patih Gajah Mada ke Bali, Berawal Dari Pura Dalem Pingit Gianyar

Ida Sri Bhagawan Sabda Murthi Dharma Kerti Maha Putra Manuaba, menceritakan awal kedatangan Gajah Mada ke Bali menaiki sebuah perahu kayu.

Penulis: Anak Agung Seri Kusniarti | Editor: Alfonsius Alfianus Nggubhu
Tribun Bali/AA Seri Kusniarti
Pura Dalem Pingit, Samplangan, Gianyar, Bali. 

Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Bali tidak hanya terkenal dengan kekayaan alam dan pariwisatanya yang mendunia, tetapi juga kisah-kisah sejarah pada zaman dahulu. 

Budaya dan tradisi Bali saat ini tidak terlepas dari kisah peradaban masyarakatnya pada masa lampu.

Salah satu kisah yang hingga saat ini masih menarik untuk disimak adalah Kisah Patih Gadjah Mada dari kerajaan Majapahit

Kisah patih agung kerajaan Majapahit, Gajah Mada, selalu unik untuk diceritakan.

Ida Sri Bhagawan Sabda Murthi Dharma Kerti Maha Putra Manuaba, menceritakan awal kedatangan Gajah Mada ke Bali menaiki sebuah perahu kayu.

Baca juga: PHDI: AWK Wajib Minta Maaf Secara Sekala Niskala ke Umat Hindu Bali

Baca juga: 5 Miliarder Indonesia Pemilik Bank Swasta

Baca juga: Air Bau Tak Sedap, Ternyata ada Mayat Wanita Tanpa Busana di Dalam Sumur

Baca juga: Nora Alexandra Tenangkan Hati Jerinx SID, Seng Sabar Suamiku, Aku Tunggu Kamu, Kapanpun!

“Setelah membaca Babad Dalem, dan beberapa babad lainnya terkait sejarah dinasti Dalem Samprangan. Pertama kali maha patih Gajah Mada turun di tanah Bali adalah di Pura Dalem Pingit ini,” jelasnya kepada Tribun Bali, Selasa (3/11/2020).

Gajah Mada, jelas Ida Bhagawan, memiliki misi untuk menyatukan nusantara, termasuk Bali yang kala itu masih dikuasai Raja Bedahulu.

“Gajah Mada naik perahu dari Jawa ke Bali, kemudian masuk dari pelabuhan Rangkung di Pantai Lebih, Gianyar. Menyusuri sungai turun di Dalem Pingit, Samplangan, Gianyar,” ujarnya.

Ida Bhagawan menjelaskan, dari bawah sungai Gajah Mada mendaki ke atas dan membuat perkemahan di Tegal Sahang, Samplangan, Gianyar, Bali.

Kemudian berdasarkan Babad Dalem, dan beberapa babad lainnya, ketika Gajah Mada berhasil mengalahkan Raja Bedahulu dan menaklukkan Bali.

Kerajaan Majapahit, kemudian mengutus Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan ke Bali.

“Kemudian beliau dinobatkan sebagai adipati Bali Dwipa oleh Raja Majapahit. Lalu berangkatlah ke Bali dengan rombongan dari jalur yang sama dengan jalur sungai yang ditempuh Gajah Mada,” jelas Ida Bhagawan.

Setelah sampai di perkemahan Gajah Mada, dibangunlah di lokasi tersebut istana kerajaan yang diberi nama Linggarsa Pura.

Sebagai cikal bakal kerajaan dinasti Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan di Bali Tengah, tepatnya di Desa Samplangan, Gianyar, Bali.

“Hanya dua periode di sini, lalu akhirnya pusat kerajaan di pindah ke Klungkung,” jelas Ida Bhagawan.

Saat Tribun Bali menyusuri wilayah saksi sejarah ini, terlihat jalan setapak yang dibuka dari tegalan warga dan area persawahan.

Semakin dalam semakin rimbun dan jalanan paving semakin berlumut.

Sampai di ujung jalan, terlihat jalan buntu karena merupakan tangga yang di bawahnya ada Pura Dalem Pingit.

Terlihat ada sebuah pohon beringin besar, memayungi pura yang sunyi ini.

“Kalau orang punya mata batin, akan terlihat di bawah itu ada banyak jukung (perahu) tapi sudah berbentuk fosil,” sebut Ida Bhagawan.

Untuk itu, dalam pembangunan prasada linggih Ida Bhatara Sri Aji Kresna Kepakisan di Tegal Sahang, Samplangan, Gianyar, Ida Bhagawan membuatkan sebuah perahu, sebagai tanda kedatangan awal Gajah Mada ke Bali.

Gemuruh suara air sungai di bawah pura terdengar jelas.

Bahkan tak jauh dari Carik Sandat, lokasi perkemahan Gajah Mada, terdapat pancoran tempat mandi Gajah Mada dan para pasukan serta sang raja di sana.

Pantauan Tribun Bali, lokasi pancoran ini masih terjal dengan tanah sangat miring dan bahaya jika tidak berhati-hati menuruninya.

“Kami memang belum membuatkan akses jalan, rencananya ke depan mungkin bisa jadi tempat melukat. Tapi harus dibuatkan jalan yang bagus dan layak dulu,” ujar Ida Bhagawan.

Lanjut Ida Bhagawan, ada 12 pancoran di bawah.

Mengenai nama Dalem Pingit, sebagai lokasi awal Gajah Mada menginjakkan kaki di Bali, Ida Bhagawan tidak tahu pasti alasannya.

Namun ia memperkirakan karena sujud bakti Gajah Mada pada bhatara-bhatari yang ada di Bali sebagai penghormatan.

Serta memohon izin untuk menyatukan nusantara termasuk Bali. 

Jejak-jejak Kerajaan Majapahit Masuk Bali

Jalan setapak di antara sawah dan tegalan menjadi saksi bisu sejarah awal masuknya kerajaan Majapahit ke Bali.

Dahulu kala, di Carik Sandat, Desa Samplangan, Gianyar, Bali, merupakan tempat awal Patih Majapahit, Gajah Mada, menginjakkan kaki di Bali, dalam misi menyatukan dan memperluas wilayah nusantara.

Tribun Bali berkesempatan menelusuri lokasi ini, yang sekarang sedang dalam pembangunan prasada linggih Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan di Tegal Sahang, Samplangan, Gianyar, Bali.

Ida Sri Bhagawan Sabda Murthi Dharma Kerti Maha Putra Manuaba, sebagai satu di antara penanggung jawab pembangunan pelinggih ini menjelaskan banyak hal.

Berawal dari wangsit dalam pertemuan gaib, antara dirinya dengan Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan.

Kemudian, ia diminta membangun prasada penunggalan Majapahit dan Bali di lokasi awal Gajah Mada menginjakkan kaki ini.

“Setelah pertemuan gaib itu, saya membaca beberapa Babad Dalem dan ternyata benar seperti yang beliau katakan,” jelasnya, Selasa (3/11/2020) di Gianyar.

Petunjuk gaib untuk membangun di Carik Sandat itu, jelas dia, guna mengingatkan sejarah bahwa keraton awal Majapahit di Bali adalah di Samplangan, bukan di Klungkung.

Terkait dinasti Dalem Samprangan, kata dia, Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan setelah dinobatkan sebagai adipati Bali Dwipa oleh raja Majapahit.

Kemudian bersama rombongannya berangkat ke Bali melalui pelabuhan Rangkung di Pantai Lebih, Gianyar, dari Jawa.

“Setelah itu beliau menelusuri sungai, hingga tiba di tempat perkemahan Gajah Mada di Carik Sandat, atau Tegal Sahang, Desa Samplangan, Gianyar ini. Wilayah ini diapit dua sungai, yakni sungai Sangsang dan Cangkir,” sebutnya.

Sebelumnya, Patih Gajah Mada telah lebih dahulu sampai ke lokasi tersebut, guna menyelidiki raja Bali terdahulu, yaitu Raja Bedahulu.

Pasca kekalahan Raja Bedahulu, lokasi perkemahan tersebut akhirnya dijadikan istana kerajaan bernama Linggarsa Pura.

Sebagai cikal bakal kerajaan dinasti Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan di Bali Tengah.

 Ia mengatakan, hanya dua periode istana kerajaan bertempat di Samplangan, sebelum akhirnya pindah ke wilayah Klungkung.

Setelah itu, tidak lagi ada yang rungu dengan tempat awal bersejarah ini.

Karena pusat kerajaan dari Samplangan pindah ke Klungkung.

“Keturunannya pun tidak ada yang tahu atau rungu, padahal ini adalah wit (awal) dari dinasti Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan di Bali,” jelasnya.

“Beliau ingin dengan pembangunan ini sebagai tempat suci saksi sejarah, agar generasi (preti sentana) turun-temurun dapat tetap mengetahui dan mempelajari kehidupan di masa lampau. Inilah yang kami wujudkan dengan dibangunnya padma, prasada, dan penyarikan sebagai saksi sejarah keraton Linggarsa Pura,” jelasnya.

Prasada tersebut, kata dia, adalah penunggalan (penyatuan) Majapahit dan Bali.

Terlihat dari segi arsitekturnya, yang merupakan campuran arsitektur Majapahit di Jawa dan Bali.

“Setelah  hari ketiga gotong royong dalam pembangunan di sini, saya kembali melihat secara rohani kedatangan ida bhatara. Beliau berkeinginan agar dibuatkan patung Gajah Mada dengan membawa lontar dan keris, makna filosofinya ketika Gajah Mada melakukan penyelidikan di Bali,” katanya.

Patung Maha Patih Pranala Gajah Mada pun, terlihat dibangun dengan konsep rumah joglo dengan pakaian Jawa.

Sebagai tanda awal dia datang ke Bali dari Jawa atas titah Majapahit.

Patung ini pun disakralkan.

Uniknya wajah dan perawakan patung Gajah Mada, juga diwangsitkan dalam pertemuan gaib tersebut.

“Patung ini seberat 700 kg, dan dibawa oleh 20 orang dengan tandu bambu, melewati jalan setapak yang cukup jauh,” sebutnya.

Ia memperkirakan karena anugerah Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan, semuanya berjalan lancar.

Baik dari pembangunan hingga membawa patung yang cukup berat tersebut.

Patung yang dikerjakan di Ubung ini pun, tidak bisa dipindah-pindahkan.

Lanjutnya, rencana pada tanggal 25 November 2020 akan dilakukan caru tawur balik sumpah dan rsi gana.

Pada tanggal 28 November 2020, diadakan upacara nilapati, dan tanggal 30 November 2020 akan dilakukan melaspas serta ngenteg linggih.

“Ini semua sesuai petunjuk beliau, jadi tujuan upacara tersebut adalah menjadikan tempat ini tempat suci,” katanya.

Jadi membuat sejarah baru dalam peradaban yang lama, peradaban sudah 700 tahun lebih lalu menjadi sejarah.

Dalam konsep penunggalan Jawa dan Bali.

“Prasada dinasti Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan, prasada tempat pemujaan beliau,” katanya.

Ia mengatakan, jika ada masyarakat yang ingin datang untuk sembahyang atau semedi bisa membawa canang dan banten pejati.

Harapan lainnya, dengan pembangunan ini semua preti sentana keturunan bisa berkumpul di sini.

Mengingat awal sejarah leluhurnya datang ke Bali.

Baca juga: Kisah Gusti Ayu, Gadis 14 Tahun Alami Jantung Bocor Sejak Lahir, Operasi Jantung & Dihadiahi Sepeda

Baca juga: Anggaran HUT Kota Tabanan Tahun 2020 Nol Rupiah, Perayaan Dipastikan Berlangsung Sederhana

Baca juga: 3 Hari Operasi Yustisi di Awal November, Satpol PP Badung Temukan 173 Pelanggar Prokes

Baca juga: 7 Sifat Zodiak Wanita Taurus yang Menjadikannya Pasangan Terbaik, Setia dan Cintanya Dalam

Terbukti, banyak pengayah dalam pembangunan datang dari berbagai wilayah di Bali secara ikhlas.

Sehingga selama pembangunan berjalan sangat lancar hampir tanpa hambatan.

Satu di antaranya, jalan menuju ke lokasi awalnya masih tegalan rimbun.

Namun akhirnya warga dan petani setempat memberikan sedikit tanahnya untuk dijadikan jalan.

“Kemudian di sini juga ada pasir, yang semakin digali tetap ada, sangat luar biasa bantuan beliau,” tegasnya.

Lokasi dengan luasan sekitar 2 Ha ini, sebelumnya hanya tegalan dan sawah biasa dengan tanah muntig (gegumuk) yang menjadi saksi bisu tempat abu Ida Bhatara Dalem Sri Kresna Kepakisan, beserta abu istri dan putrinya.

“Konon tanah tersebut tidak bisa ditanami apapun kecuali rerumputan,” jelasnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved