Serba serbi
Dharmagita Nyanyian Sakral Umat Hindu untuk Yadnya Hingga Hiburan
Dharmagita berfungsi sebagai salah satu unsur yang dapat membuat sebuah yadnya menjadi satwika yadnya.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Secara ekstrinsik akan memberikan efek estetis bagi penikmat dharmagita.
Efek estetis menyebabkan penikmat merasa terhibur oleh kandungan estetis dharmagita. Aspek estetis akan menyantuh budi.
“Karena itu, apabila pengucapan dharmagita dilakukan dengan benar dan tepat akan dapat menggetarkan hati nurani yang paling suci (budi). Budi nurani suci akan dapat menguasai pikiran atau manah. Pikiran (manah) yang kuat mengendalikan nafsu keinginan (indria). Nafsu keinginan (indria) yang terkendali dengan baik akan dapat mengarahkan perbuatan kita berpegang pada dharma (kebenaran),” jelasnya.
Perbuatan yang berpegang pada dharma akan menghasilkan pahala mulia berupa ananda, yakni kehidupan bahagia lahir dan batin. Suarka menjelaskan, ada beberapa jenis teks yang digolongkan ke dalam dharmagita. Di antaranya, sloka dan sruti.
Dalam tradisi Bali, umumnya sloka dibedakan dengan sruti. Sloka biasanya terdiri atas empat baris dalam satu padartha, dengan jumlah suku kata yang sama pada setiap baris.
Sebaliknya, sruti mempunyai jumlah baris dan jumlah suku kata tidak tetap dalam satu padartha.
Kemudian ada palawakya, dengan jenis teks menggunakan bahasa Jawa Kuna dan berbetuk prosa.
Dalam membaca dan melagukan palawakya, sangat tergantung kepada tabuh bhasa (intonasi) serta ketepatan onek-onekan (pengejaan dan pemenggalan kata-kata).
Lalu Kakawin (sekar ageng), yang merupakan syair Jawa Kuna digubah berdasarkan aturan metrum India.
“Kakawin diikat aturan guru-laghu (matra), jumlah baris dan jumlah suku kata (wretta) dalam setiap bait (pada). Guru adalah suku kata panjang (dilagukan panjang/berat). Laghu adalah suku kata pendek (dilagukan pendek/ringan). Kedudukan guru-laghu dalam kakawin dapat dianalogikan dengan kedudukan guru-murid atau orang tua (leluhur) dengan anak-anak (keturunan),” imbuhnya.
Kidung (sekar madia), juga bagian dharmagita ditinjau dari metrum yang digunakan, dapat dibedakan atas kidung yang menggunakan metrum macapat dan kidung yang menggunakan metrum tengahan.
“Pada prinsipnya syair kidung juga diikat jumlah suku kata dan bunyi akhir (rima), tetapi dalam sistem penulisan teks kidung dalam lontar-lontar kerap kali tidak menggunakan tanda batas larik (baris) yang biasanya ditandai dengan tanda carik tunggal seperti pada teks kakawin maupun geguritan, dan satu bait kidung biasanya ditandai dengan tanda pamada (carik agung),” sebutnya.
Pola metrum tengahan, biasanya disusun dengan komposisi terdiri atas kawitan (panjang dan pendek), pangawak (panjang dan pendek). Ada pula geguritan (sekar alit/sekar macapat), sekar alit (macapat) diikat oleh aturan padalingsa yang terdiri atas guru wilangan. Yakni jumlah suku kata dalam satu baris (satu gatra).
Kemudian guru gatra, jumlah baris dalam satu bait. Lalu guru dingdong, suara akhir pada setiap baris (a, i, u, e, o).
Dharmagita merupakan jenis sastra, yakni sastra tembang (gita). Dalam eksistensinya sebagai sastra tembang, dharmagita memiliki konvensi, baik konvensi sastra, konvensi bahasa, ataupun konvensi budaya sesuai dengan genrenya, yaitu sloka, palawakya, kakawin, kidung, dan geguritan.