Pernah Ada 2000 Wisatawan Berkunjung, Kini Desa Wisata Pinge Tabanan Masih Sepi Pengunjung
Suasana di Desa Adat Pinge, Desa Baru, Kecamatan Marga, Tabanan, Bali tampak asri, Senin (9/11/2020).
Penulis: I Made Prasetia Aryawan | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
TRIBUN-BALI.COM, TABANAN - Suasana di Desa Adat Pinge, Desa Baru, Kecamatan Marga, Tabanan, Bali tampak asri, Senin (9/11/2020).
Namun sayangnya, semenjak pandemi kunjungan wisatawan ke salah satu desa wisata ini turun jauh dibandingkan sebelumnya.
Menurut Bendesa Adat Pinge, I Made Jadrayasa mengatakan saat ini suasana dan kondisi di Banjar Pinge masih kondusif dan tetap menerapkan protokol kesehatan (prokes).
Namun untuk kunjungan sangat jauh menurun karena banyak pengunjung yang cancel tahun 2020 ini.
Baca juga: Kisah Cinta Tak Mudah Joe Biden, Jill Biden: Sebenarnya, Aku Mencintainya Sejak Awal
Baca juga: Hingga November, Veteran di Karangasem Masih Tersisa 34 Orang
Baca juga: Jelang Kepulangan Rizieq Shihab, Refly Harun Soroti Kebungkaman Prabowo Subianto
"Ya saat ini kita masih normal di Banjar Pinge, tapi jika untuk kunjungan memang jauh menurun. Bukannyanya kosong, tapi masih ada hanya beberapa orang saja dan mereka yang datang kebanyak kenalan dengan warga kami di Pinge," ungkap Made Jadrayasa, Senin (9/11/2020).
Selain itu, kata dia, sejumlah kunjungan dari We Love Bali yang bekerja sama dengan Kemenparekraf juga sempat berkunjung ke Pinge.
Setidaknya ada 4 kali kunjungan. Jadi astungkara sudah ada kunjungan meskipun situasi dan kondisi saat ini.
Dia melanjutkan, meskipun begitu warga saat ini masih terus berupaya untuk menekan penyebaran Covid-19 serta berharap agar pandemi ini segera berakhir dan geliat pariwisata di Bali khususnya Banjar Pinge bisa kembali normal.
Baca juga: Anggaran Terbatas Akibat Pandemi, Badung Batal Bangun Lima Desa Wisata
Baca juga: Dilaporkan Hilang Setelah Terakhir Terlihat Duduk di Pohon Beringin, Pemuda Ini Belum Ditemukan
"Intinya kami saat ini tetap menerapkan protokol kesehatan (prokes) untuk ikut menekan penyebaran Covid di Tabanan. Tetap kami berharap agar pandemi ini segera berakhir dan kita bisa beraktivitas kembali," tandasnya.
Untuk diketahui, selain menjadi desa wisata, Desa Pakraman Pinge ini pun memiliki sejumlah hal unik lainnya yang harus diketahui.
Di antaranya awig-awig tentang larangan membuat sebuah bangunan melewati tembok penyengker (pagar pembatas rumah) dan diwajibkan melakukan pembersihan kawasan rumah bagian depan setiap 15 hari sekali atau pada saat rerainan purnama dan tilem.
Mantan Bendesa Adat Pinge, I Made Denayasa menuturkan, menurut cerita para tetua di banjar setempat, sejarah Banjar Pinge ini diperkirakan sudah ada pada saat abad ke-12.
Hal itu ditandai dengan adanya palinggih di Pura Natar Jemeng yang disekelilingnya sudah ada pemukiman.
Dulunya ada tiga banjar yakni Banjar Pingelen, Meranggi, dan Tungging yang kemudian karena adanya kesepakatan saat itu, tiga banjar tersebut dijadikan satu dan bernama Banjar Pinge.
Asal muasal dari kata “Pinge” sendiri diketahui saat abad 12 tersebut, di areal Pura Natar Jemeng ada pohon cepaka berwarna putih yang ukurannya sangat besar.
Ketika berbunga, harum dari bunga cepaka tersebut tercium hingga wilayah kerajaan Marga (sekitar 8 km).
Asal kata Pinge tersebut diambil dari pohon tersebut, yang mana Pinge berarti putih atau suci.
"Sampai raja Marga kaget, kok ada bau harum sekali selama satu bulan. Ia pun kemudian mengutus patih geluntung untuk mengecek. Dan setelah dicek ternyata ada pemukiman dan ada pohon cempaka putih yang sangat besar dan mengeluarkan bau harum," tuturnya sembari mengatakan hingga saat ini juga logo dari Desa Pakraman Pinge adalah Bunga Cepaka.
Kemudian, kata dia, Desa Pakraman Pinge juga memiliki awig-awig (aturan) yang dibuat oleh para leluhur dan harus selalu ditaati oleh penduduknya sendiri.
Seperti, untuk menjaga kebersihan dan keasrian wilayah Pinge, setiap penduduk dilarang untuk membangun melewati tembok penyengker (pembatas).
Sehingga, di Banjar Pinge ini tidak ditemukan bangunan di luar dari penyengker.
Kemudian ada juga awig-awig setiap lima belas sekali, para penduduk diharuskan melakukan pembersihan wilayah depan rumah.
Bahkan, Banjar Pinge ini juga sempat meraih Juara II lomba Desa Adat tingkat Provinsi Bali sekitar tahun 1987 silam.
"Jadi itu salah satu awig-awig-nya di sini (Banjar Pinge) yang sudah diterapkan sejak zaman leluhur. Jadi awig-awig-nya dibuat oleh leluhur," jelas pria yang juga menjabat sebagai Ketua Pengelola Desa Wisata Pinge ini.
Pinge Menjadi Desa Wisata
Banjar Pinge juga sudah ditetapkan sebagai Desa Wisata sejak 18 Juli 2004 silam. Hal itu bermula pada tahun 2003 awal, sat itu dirinya melihat banyak wisatawan dengan mengendarai sekitar 30 unit mobil PW dan diantar oleh guide berkunjung ke Banjar Pinge.
Ia pun mulai berpikir, mengapa mereka hanya lewat saja tanpa ada kontribusi terhadap Desa Pakraman Pinge ini.
"Awalnya kok tamu-tamu semua datang ke sini. Apasih yang menarik di Pinge ini? ternyata para wisatawan ini tertarik dengan Pinge karena keasrian dan kelestarian wilayahnya," tuturnya.
Pemikiran tersebut kemudian dikembangkan dengan mengusulkan Desa Adat ke DInas Pariwisata Provinsi Bali ini agar diteliti.
Karena banyak wisatawan banyak yang berkunjung. Setelah itu, datanglah tim dari Fakultas Pertanian Unud untuk melakukan penelitian dengan mewancarai seluruh elemen masyarakat termasuk wisatawan yang ada di Banjar Pinge.
Akhirnya, didapatlah kesimpulan dibuatlah rekomendasi yang ditandangai oleh Dinas Pariwisata yang menyatakan bahwa Desa Pakraman Pinge layak untuk ditetapkan menjadi Desa Wisata.
"Rekomendasi itu akhirnya saya mohonkan ke Bupati Tabanan saat itu untuk menjadikan Banjar Pinge menjadi desa wisata. Akhirnya tahun pada 18 Juli 2004 ditetapkan menjadi Desa Wisata," tuturnya.
Namun, kata dia, setelah ditetapkan, SK Bupati Desa Wisata itu hanya menjadi selembar kertas tidak bermakna.
Hal itu disebabkan oleh kurangnya anggaran dan kurangnya SDM untuk pengelolaan Desa Pariwisata, sehingga SK tersebut tak dijabarkan bagaimana semestinya.
Setidaknya 5.5 tahun SK Bupati tersebut tak dijabarkan. Hingga tahun 2011, Desa Wisata Pinge mulai berkembang dengan dibangunnya beberapa fasilitas seperti jogging track, bangunan home stay, dan sarana prasarana lainnya.
"Semua kami tata sejak saat itu, sehingga Desa Wisata Pinge ini mulai berkembang. Dan saat ini sedang terus mengembangan kawasan agrowisata di Pura Beji," katanya.
Denayasa menyebutkan, hingga saat ini desa wisata masih berjalan dan sudah banyak kunjungan setiap tahunnya.
Setidaknya ada 2.000 wisatawan mancanegara yang didominasi Eropa dan domestik yang berkunjung ke sini untuk menikmati desa wisata Pinge.
Karena saat ini terus berbenah dengan menawarkan paket wisata berbasis budaya dan juga melibatkan wisatawan itu sendiri untuk beraktivitas dengan masyarakat.
Termasuk untuk akomodasi pariwisata masih menggunakan home stay, atau memanfaatkan rumah tinggal milik masyarakat.
Sehingga, ekonomi dari masyarakat bisa terbantu dengan adanya Desa Wisata ini.
"Sudah mulai banyak saat ini, namun masih bersifat musiman. Kedepannya kami harap bisa lebih baik dengan mengembangkan fasilitas, kegiatan yang melibatkan masyarakat, tentunya yang tetap menonjokan budaya dan adat Bali," tandasnya. (*)