Serba serbi
Keluar Lintah, Berikut Kisah Spiritual Panglukatan Taman Pacampuhan Desa Adat Sala Bangli
Bali kerap disebut Pulau Seribu Pura, selain Pulau Surga. Hampir di setiap jengkal tanah Bali, ada pura yang berdiri dan memberikan vibrasi beda.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Bali kerap disebut Pulau Seribu Pura, selain Pulau Surga.
Hampir di setiap jengkal tanah Bali, ada pura yang berdiri dan memberikan vibrasi beda.
Selain pura, wisata spiritual melukat juga banyak di Bali.
Hal ini karena banyaknya tempat suci, dan air klebutan dari dalam tanah di Bali.
Satu diantaranya, berada di Bangli bernama Pura Taman Pacampuhan Desa Adat Sala.
Terletak di Desa Abuan, Bangli, tempat penglukatan ini kian digandrungi masyarakat untuk wisata religi atau spiritual.
Baca juga: Begini Cara Polisi Tangkap Pelaku Perampokan di SPBU Benoa
Baca juga: Anggota TNI Turunkan Baliho Habib Rizieq, FPI beri Tanggapan Serius
Baca juga: Akibat Pandemi, Koster: Perekonomian Bali Perlu Ditata Ulang, Pertanian dan Kerajinan Harus Digenjot
Melukat sendiri, dipercaya mampu membersihkan diri dari aura negatif.
Guna mendapatkan ketenangan jiwa dan kesehatan raga.
Tribun Bali, berkesempatan mendatangi Pura Taman Pacampuhan Desa Adat Sala, Jumat (20/11/2020).
Pura ini terletak di bawah tebing, sehingga untuk mendatanginya harus melewati jalan setapak.
Puluhan anak tangga, dipagari rerimbunan pohon menyambut kedatangan pamedek.
Suara air yang jernih, berpadu dengan suara binatang di dalam hutan dan tegalan warga.
Tak berselang lama, terlihat Pura Taman dengan nuansa dominasi kain merah pada pelinggih-nya.
Baca juga: Update Covid-19 di Bali 20 November 2020: Positif 61 Orang, Sembuh 54 Orang, Meninggal 2 Orang
Baca juga: Kluster Petamburan dan Mega Mendung Cetak 27 Pasien Positif Covid
Baca juga: Lelang Penyewaan Dermaga Tanah Ampo Sepi Peminat
Kemudian pamedek akan menuruni, beberapa anak tangga lagi untuk sampai di tempat penglukatan.
Pamedek disarankan, sebelum masuk pura atau tempat melukat, sudah menggunakan kain dan selendang. Untuk wanita yang cuntaka (datang bulan), dan warga yang kesebelan (ada keluarga meninggal) tidak diperkenankan melukat.
“Pura ini sudah lama, dahulu karena dekat tebing kan sering longsor. Lalu 2013, diangkatlah pura yang awalnya berada di bawah, naik ke atas,” jelas I Nengah Ngidep, Ketua Pecalang Desa Adat Sala. Setelah itu, tahun 2016 dilakukan renovasi genah panglukatan.
Setahun kemudian, pada 2017 pamedek sudah ramai datang melukat ke sana.
“Itu semua dari mulut ke mulut, dan karena viral di media sosial,” sebutnya.
Ia menjelaskan, apabila pamedek yang tidak membawa kamen akan disediakan di pura.
Baca juga: Pelaku Perampokan di SPBU Benoa Ditangkap, Beraksi Pakai Pistol Mainan
Baca juga: Delapan Gepeng Asal Desa Munti Gunung Diamankan, Satu di Antaranya Berusia 4 Tahun
Baca juga: Pasutri Cekcok, Istri Ditikam secara Membabi Buta, Tewas Mengenaskan
Genah melukat ini, terus dipugar dan diperbaiki untuk kenyamanan pamedek saat melakukan ritual melukat dan sembahyang.
Ruang ganti, loker, dan toilet pun disediakan. Bahkan warga desa, gotong royong melakukan pembersihan di areal penglukatan dan pura.
“Pengelolanya dari Desa Adat Sala, Desa Abuan, Bangli,” sebutnya.
Sejatinya, kata dia, penglukatan ini berhubungan dengan Pura Bale Agung atau Pura Desa setempat.
Sehingga berdasarkan penuturan penglingsir di sana, banyak yang menyebut lokasi suci ini sebagai penglukatan Saraswati karena berhubungan dengan Pura Bale Agung.
Pamedek yang hendak melukat, bisa membawa pejati jika baru pertama kali.
“Biasanya membawa pejati dua besek, untuk di genah melukat satu dan di jeroan Pura Taman satu,” jelasnya. Sedangkan yang sudah biasa, bisa membawa canang sari saja sebanyak 18 buah. Sesuai urutan atau dudonan malukat di Pura Taman Pacampuhan Desa Adat Sala.
Setelah berpakaian adat madya, dan mempersiapkan canang lalu menghidupkan dupa.
Pamedek akan dibantu guide, dari warga desa adat yang ngayah untuk prosesi malukatnya. Pertama pamedek menghaturkan dua buah canang sari, di genah malukat sebagai permohonan izin dan matur piuning kepada bhatara-bhatari yang ada di sana.
Setelah itu, pamedek masiram (mandi) di pecampuhan, setelah menghaturkan canang di 3 pelinggih di sungai. Pecampuhan ini, adalah pertemuan antara dua sungai, yakni Sungai Madangan dan Sungai Apuan.
Ini diyakini, sebagai pembersihan awal dari kotoran yang ada di badan dan pikiran pamedek.
Sehingga disarankan, untuk menyiramkan airnya dari kepala sampai ke kaki.
Urutan selanjutnya, berjalan menyusuri sungai menuju Gerojogan Pasiraman Dedari.
Menyusuri bebatuan, sekaligus terapi kaki karena banyak batu yang cukup tajam.
Namun harus hati-hati agar tidak terjatuh. Hal ini membuat sensasi melukat kian seru, karena perjalanannya menyusuri sungai dan goa.
Sampai di air terjun dedari (bidadari), pamedek menghaturkan canang, sembahyang, dan masuk ke dalam air dengan kedalaman sampai 150 cm.
Usai berendam di sana, rute keempat adalah mandi di pancoran Tirta Prapen dan tentunya dilakukan setelah menghaturkan canang juga. Pamedek akan diberitahu, untuk berkumur sebanyak tiga kali, lalu meraup wajah sebanyak tiga kali.
Kemudian minum airnya sebanyak lima kali, dan melukat dengan memutar badan searah jarum jam sebanyak lima kali.
Hal ini juga dilakukan di rute penglukatan selanjutnya, yakni pancoran Tirta Pule.
Namun sebelum ke sana, pamedek akan terlebih dahulu sembahyang ke Watulingga. Konon di sana tempat Dewa Siwa bertapa.
Perjalanan dilanjutkan naik ke atas tebing, dan masuk ke dalam goa dengan cara menunduk karena cukup sempit dan gelap.
Di ujung goa, pamedek akan melihat Gerojogan Pesraman Tan Hana dengan patung Rsi Markandeya. Pamedek juga mandi di sini, setelah menghaturkan canang dan sembahyang.
Sebelumnya, ada kisah seseorang yang datang ke pancoran ini tiba-tiba bisa lebih baik dari lumpuhnya.
Setelah selesai, pamedek kembali masuk ke goa dan turun dari tebing masuk ke dalam sebuah palung sungai untuk berendam.
Airnya jernih dan cukup dingin. Setelah itu, pamedek akan kembali ke tempat awal lagi. Yakni ke genah panglukatan utama, dengan area yang ditata apik dan dibuatkan kolam.
Pancorannya ada 9, yakni dua di bawah dan sisanya di atas kolam. Air pancoran jatuh dari dalam klebutan yang berada di goa, ke kolam di bawahnya.
Pamedek akan naik, lalu mulai prosesi malukat di pancoran Tirta Bolakan.
Setelah itu, urutan kesembilan, pamedek melukat di pancoran Tirta Taman. Naik lagi, pamedek harus membunyikan lonceng sebanyak tiga kali sebelum masuk ke areal kolam.
“Itu sebagai penanda minta izin untuk masuk,” jelasnya. Urutan kesepuluh sampai ke-12, pamedek melukat di Tirta Bumbung. Semakin ke kiri, lalu melukat di pancoran Tirta Pandan.
Urutan ke-14 melukat di pancoran Tirta Tulakwali, dan ke-15 dan ke-16 melukat di pancoran Tirta Utama.
Urutan ke-17 pamedek keluar dari kolam, dan nunas tirta. Setelah itu, terakhir sembahyang di jeroan Pura Taman.
“Konon di sini yang melinggih adalah saktinya Dewa Brahma yakni Dewi Saraswati,” jelasnya.
Ketut Kibik, satu diantara warga setempat yang menjadi guide mengamini banyaknya kisah spiritual yang terjadi di tempat melukat ini. “Memang harus masiram atau mandi ke sungai dulu, karena kan ada pecampuhan.
Itu dipercaya sebagai tempat pembersihan sebelum melukat,” jelasnya. Apalagi lokasi ini adalah tempat sakral. Bahkan ada beberapa pamedek, yang dimungkinkan terkena black magic tidak berani turun ke tempat melukat.
Arus dua sungai ini pun muaranya langsung ke laut di Gianyar. Kisah lainnya, kata dia, ada yang melihat bidadari di Gerojogan Pasiraman Dedari. Serta melihat penampakan lainnya, bagi yang bisa melihat.
“Dahulu ada pula, warga dari Karangasem datang ke sini melukat, begitu ia duduk di Gerojogan Pasiraman Dedari, dari mulutnya keluar lintah. Padahal baru pertama kali ke sini, dan ia sudah sering ke tempat melukat lainnya,” jelasnya.
Sisanya, pamedek datang tidak hanya sekali dua kali, namun berkali-kali.
Baik rombongan maupun perorangan dan menjadi rutinitas spiritual mereka.
Tidak ada biaya retribusi masuk, semuanya gratis dan bisa dana punia seikhlasnya.
Biasanya kedatangan pamedek ramai saat rainan, seperti Kajeng Kliwon, Purnama, Tilem, atau hari libur dan weekend. Pura dan tempat melukat ini, dikelola Desa Adat Sala. (*)