Ngopi Santai

Malam Gulita Jiwa

ungkapan the dark night of the soul bisa dimaknai sebagai krisis spiritual (seseorang) dalam perjalanan menuju keterhubungan dengan Tuhan

Penulis: Sunarko | Editor: Wema Satya Dinata
Pixabay
Ilustrasi manusia dan suasana senja. 

Nah, saya akan bicara dulu tentang keadaan senja jiwa. Senja ini tidak terkait dengan konotasi umum tentang usia senja.

Mari mulai.

Ketika nilai-nilai (values) dan beliefs yang existing dari seseorang dianggapnya sudah kurang/tidak aplikabel dan relevan untuk dijadikannya sebagai pegangan atau sumber acuan hidup; dan dalam waktu bersamaan dia belum mendapatkan pegangan hidup baru yang bisa menjawab kebutuhan/tuntutan hidupnya, maka seseorang itu bisa disebut sedang mengalami kebingungan eksistensial.

Ini menurut Dr. Viktor E. Frankl, bapak logoterapi. Dan izinkan saya menyebut keadaan ini sebagai "senja jiwa" atau the dusk of the soul.

Baca juga: 21 Tahun Art & Space: Penghormatan Atas Dedikasi Alm Made Wianta yang Suarakan Perdamaian Lewat Seni

Dalam "senja jiwa", seseorang sedang bingung tentang eksistensi dirinya sendiri. Yakni tentang bagaimana harus beradaptasi dan me-ngepas-kan diri di tengah lingkungan yang cepat berubah dan lebih kompleks yang dia hadapi.

Di sini belum ada terpaan masalah-masalah (berat), tetapi baru terjadi semacam value shocks atau culture shocks di hadapan lingkungan dan kondisi eksternal.

Oleh karena itu, tahap "senja jiwa" ini sama sekali bukanlah gejala klinis gangguan kejiwaan. Ini lebih mengenai bagaimana menemukan jawaban yang melegakan dan dianggap masuk akal tentang siapa diri, asal-muasalnya, dan mau ke mana; serta tentang apa makna (meaning) hidup.

Seseorang yang mengalami kebingungan eksistensial pada dasarnya sedang dalam proses untuk merumuskan kembali “kosmologi" diri dan  kehidupannya.

Bagaimanapun, karena dalam kebingungan, kondisi terasa mulai agak menghimpit, dan kadang pikiran sulit fokus. 

Jika kebingungan eksistensial berlanjut tak terjawab atau diatasi, dan apalagi seseorang malah berusaha mengabaikan atau menganggapnya tidak ada (padahal dirasakannya), baik itu karena pertama “tuntutan” lingkungan yang tidak memungkinkannya memiliki kesempatan untuk mengevaluasi diri; dan kedua karena saking kuatnya iming-iming yang diberikan oleh lingkungannya, sehingga dia keasyikan, dan kebingungannya pun tenggelam serta seakan terjawab oleh “kompensasi material dan pencitraan” yang diterimanya,  maka pada suatu titik, kebingungan eksistensial ini akan berubah menjadi kehampaan eksistensial.

Ini mulai berbahaya. Kehampaan eksistensial ini adalah kondisi meaninglessness. Hidup seperti tak bermakna. 

Kehampaan eksistensial inilah sesungguhnya fenomena yang mewabah pada manusia modern dewasa ini.

Tidak sedikit kini orang merasa sepi dan hampa di tengah keramaian dan ketercukupan (bahkan keberlimpahan) materi. 

Berdasarkan pengamatan, nilai-nilai dan beliefs yang dianggapnya tidak relevan lagi dan masuk akal itu, bisa jadi karena memang values and beliefs-nya itu sendiri memang dangkal dan profan.

Tapi mungkin juga values and beliefs itu tidak lagi praktikal dan aplikabel bukan lantaran dangkal. Mereka bisa jadi masih mengandung nilai-nilai keutamaan hidup yang dalam (virtues), namun ia tampak (terlalu) sederhana dan simpel, karena tidak disertai narasi dan penjelasan tentangnya yang up-to-date atau ilmiah. Sementera, di sisi lain, lingkungan kehidupannya sudah dan terus berubah makin kompleks

Halaman
123
Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved