Upaya Penangkalan Radikalisme di 32 Provinsi, BNPT Lakukan Survei Nasional, Ini Hasilnya
Dalam kegiatan Rapat Koordinasi Nasional FKPT yang merupakan perpanjangan tangan dari BNPT, Tim Penetiti BNPT menyampaikan hasil survei
Penulis: Zaenal Nur Arifin | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
Untuk di Asean kita lebih bagus dari Filipina dan Thailand, urutan ke-37 itu semakin rendah berarti kita itu Negara yang semakin kurang dampaknya dari kejahatan terorisme ini.
"Artinya dampaknya itu dampak buruk terhadap masyarakat, dampak buruk terhadap rasa ketakutan masyarakat, dampak buruk terhadap ekonomi dan lain sebagainya. Jadi kita berada di urutan ke-37 itu adalah riset global indeks terorism," paparnya.
Namun demikian kita harus melihat bahwa penetrasi dari jaringan internasional dalam proses radikalisasi itu pada dunia digital atau dunia maya ini tidak bisa dihindarkan, karena mereka lihat pangsa pasarnya seperti generasi milenial dan generasi z penggunanya sangat tinggi.
Mereka tahu dan karena memang yang mereka sasar ini adalah anak-anak muda, jadi bukan lagi yang tua-tua.
Kalau yang tua itu mungkin bagi kalangan jaringan teroris global ini masalah, tapi masa depan mereka ada pada generasi muda.
"Makanya proses radikalisasi ini begitu cukup masif terjadi di dunia maya dan itulah yang nomor satu digunakan oleh jaringan teroris global. Ada dua kutub jaringan teroris global yang sangat dominan mempengaruhi politik keamanan global yaitu Al-Qaeda dan ISIS," jelas mantan Kapolda Papua tahun 2017 ini.
Menurutnya, kedua organisasi teroris internasional ini sangat besar sekali pengaruhnya di dalam mempengaruhi cara berpikir mindset generasi muda.
Mereka berharap dengan penetrasi dunia digital akan semakin banyak pendukung mereka, pengusung ideologi terorism yang karakteristiknya mengedepankan kekerasan, intoleran dan menghalalkan segala cara.
Mereka ingin memiliki pengikut yang masif di dunia, kalau kita lihat apa yang mereka capai setidak-tidaknya dalam waktu kurun 5 tahun ini bayangkan dari belahan dunia dari sekitar 120 negara mau berangkat untuk mengikuti seruannya ISIS.
"Kalau UN (United Nation) mencatat antara 35 ribu sampai 40 ribu seluruh warga di dunia ini terprovokasi dan kemudian berangkat untuk ikut-ikutan. Mengikuti apa yang diinginkan oleh kelompok ini yaitu ikut dalam tanda petik perjuangan mereka dengan seolah-olah sedang berjuang atas nama agama," jelasnya.
Dan Indonesia cukup terdampak karena setidak-tidaknya tercatat keberangkatan itu diantara kisaran 1.250 sekian yang ini juga masih permasalahan keberadaan mereka hari ini, yang masih harus dilakukan langkah-langkah lebih lanjut karena yang tertangkap sedang menghadapi proses hukum oleh otoritas setempat dan yang wanita dan anak-anak sedang berada di kamp pengungsian.
"Jadi itu dampak proses radikalisasi yang terjadi dan dilakukan. Tentu angka keberangkatan itu tidak bisa dibilang kecil apabila kita juga menggabungkan dampak yang terjadi di dalam negeri. Karena di dalam negeri ini kan artinya aktivitas teror ditingkat domestik itu adalah alternatif opsi yang mereka tawarkan ketika mereka tidak bisa berangkat ke luar negeri," imbuh Komjen Boy Rafli.
Oleh karena itu, beberapa jaringan teroris di dalam negeri yang pernah terkuak dan kemudian dinyatakan sebagai organisasi terlarang, seperti Jemaah Al-Islamiyah dan Jemaah Ansharut Daulah, sebelumnya ada Jamaah Ansharut Tauhid atau (JAT).
Mereka berlomba-lomba berbai'at kesana jadi kiblatnya ke arah sana, ini adalah dampak dari proses radikalisasi.
Mereka tidak pernah bertemu langsung atau face to face tapi karena proses desiminasi melalui dunia maya ini, ini adalah bukti bahwa sangat efektif apa yang mereka sebarluaskan pada dunia maya itu.