Terdampak SE Gubernur Bali, 20 Travel Agent Batal ke Danu Beratan

Banyak travel agent dari Jawa yang terpaksa batal membawa tamunya mengunjungi daerah tujuan wisata (DTW) di Pulau Dewata.

Penulis: I Made Prasetia Aryawan | Editor: Eviera Paramita Sandi
Tribun Bali/Karsiani Putri
Wisatawan tampak tengah mengambil gambar di salah satu objek yang ada di DTW Ulun Danu Beratan, Sabtu (9/3/2019). 

TRIBUN-BALI.COM - Persyaratan masuk Bali lewat darat dan laut dengan melampirkan hasil negatif rapid test antigen langsung berdampak pada kunjungan wisatawan domestik pada libur Natal dan Tahun Baru.

Banyak travel agent dari Jawa yang terpaksa batal membawa tamunya mengunjungi daerah tujuan wisata (DTW) di Pulau Dewata.

Seperti DTW Ulun Danu Beratan di Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti, Tabanan.

Hingga kemarin, sudah ada 20 travel agent yang resmi membatalkan kunjungannya pada hari libur Natal dan Tahun Baru.

Manajer Operasional DTW Ulun Danu Beratan, I Wayan Mustika, mengatakan 20 travel agent yang batal berkunjung kebanyakan berasal dari Pulau Jawa seperti Malang, Bandung, dan Surabaya.

Dari jumlah travel agent yang batal tersebut, diperkirakan ada ribuan wisatawan domestik.

Informasi pembatalan sudah disampaikan sejak Rabu (16/12/2020) atau sehari setelah Gubernur Bali mengeluarkan Surat Edaran (SE) terkait pelaksanaan libur Natal dan Tahun Baru.

"Sudah dari Rabu kami dapat informasi pembatalan tersebut. Padahal kami sudah persiapkan segala sesuatunya terutama sarana prokes untuk menyambut libur Nataru ini," kata Mustika, Kamis (17/12/2020) sore.

Menurutnya, kebijakan sangat disayangkan dan memberatkan pelaku pariwisata.

“Pastinya kunjungan akhir tahun ini tidak signifikan di tengah kondisi pandemi ini," imbuhnya.

Padahal, kata dia, kunjungan wisatawan pada dua pekan di akhir tahun ini, sudah tembus 400 orang per hari.

Sedangkan dengan kebijakan ini kemungkinan akan turun kembali.

Diduga, banyak wisatawan domestik membatalkan rencana liburan ke Bali lewat darat karena biaya rapid test antigen cukup mahal, yakni berkisar Rp 360 ribu sampai Rp 460 ribu.

Jauh lebih mahal dari biaya rapid test antibodi yang dipatok Rp 150 ribu.

Sebelumnya Pemprov Bali mengeluarkan kebijakan penggunaan rapid test antigen bagi pelaku perjalanan dalam negeri (PPDN) melalui darat dan laut.

Kebijakan itu dituangkan dalam Surat Edaran (SE) Gubernur Bali tentang Pelaksanaan Kegiatan Masyarakat Selama Libur Hari Raya Natal dan Menyambut Tahun Baru 2021 dalam Tatanan Kehidupan Era Baru di Provinsi Bali.

Penggunaan surat keterangan hasil negatif uji rapid test antigen terbilang baru diterapkan oleh Pemprov Bali karena sebelumnya diterapkan surat keterangan hasil negatif uji rapid test antibodi.

Lalu apa bedanya rapid test antigen dengan antibodi?

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dr Ketut Suarjaya, menjelaskan rapid test antibodi dipakai untuk mengecek antibodi dan dasarnya memakai darah serta hasilnya berupa reaktif atau non-reaktif.

Kemudian untuk rapid test antigen dilakukan seperti tes swab dan bisa mendeteksi keberadaan virus.

"Akurasinya 80 persen dadi akurasi PCR. Makanya lebih akurat dia. Kalau rapid test antibodi kan tidak akurat dia, tidak bisa menentukan dia tertular atau tidak. Tidak tahu kita apakah dia sedang ada virus atau tidak," kata Suarjaya.

Sementara untuk rapid test antigen sudah bisa mengetahui sedang ada virus atau tidak.

Sehingga jika hasilnya positif maka ada virus di dalam tubuh manusia yang melakukan rapid test antigen.

Suarjaya menuturkan, penerapan rapid test antigen dipakai guna lebih memperketat PPDN ke Bali.

Melalui cara itu, kedatangan wisatawan yang datang ke Bali memang berkualitas dan benar-benar diyakini tidak membawa virus.

Upaya ini, kata Suarjaya, sebenarnya adalah sebagai salah satu langkah untuk menekan kasus Covid-19 di Bali.

Sebab kalau orang membawa virus ke Bali tetapi tanpa gejala bisa saja menularkannya kepada orang lain.

Padahal Bali terus berupaya dan sudah memiliki rencana untuk membuka pariwisata.

"Ini bukan (teknologi) baru, sudah lama sih sebenarnya. Antigen ini kan sudah ada lama. (Diterapkan baru sekarang) karena ketersediaan sarananya baru (ada saat ini)," jelasnya.

Mengenai masalah harga, Suarjaya menegaskan bahwa rapid test antigen lebih mahal dibandingkan dengan rapid test antibodi.

Keberadaan satu unit rapid test antigen di pasaran berkisar antara Rp 380 ribu sampai 460 ribu.

"Lebih mahal. Jauh lebih mahal ini (rapid test antigen). Rp 360 sampai 460 ribu per unit. Harganya mahal dia. Tapi akurasinya jauh lebih akurat daripada rapid antibodi," katanya.

Saat ditanya apakah harga rapid test antigen yang mahal ini tidak memberatkan PPDN khususnya wisatawan yang datang ke Bali, Suarjaya menjawab bahwa sudah ada arahan dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) RI, Luhut Binsar Panjaitan.

Luhut meminta agar wisatawan yang memang tidak mampu membayar rapid test antigen agar tidak melakukan bepergian.

"Jadi kan kita ingin orang yang bepergian itu benar-benar orang yang sehat. Kalau memang tidak ingin bepergian ya endak usah pergi. Benar-benar memang yang sehat dan mau diperiksa dia sehat atau tidak," tegas Suarjaya.

Setelah adanya kebijakan rapid test antigen, penggunaan rapid test antibodi tetap dilakukan.

Hanya saja penggunaan rapid test antibodi ini dilakukan sampai stoknya sudah habis dan dipakai untuk melakukan screening di berbagai tempat umum yang ada banyak kasus.

"Misalnya ada banyak kasus sehingga kita ingin tahu lebih cepat apakah ada transmisi yang lebih luas, itu (masih) boleh pakai rapid antibodi. Tapi ini akan dipakai sampai stoknya sudah habis. Habis itu endak pakai (rapid test antibodi) lagi. Nanti ke depan akan pakai rapid test antigen saja," terangnya.

Suarjaya memperkirakan, stok rapid test antibodi yang ada di Bali saat ini kira-kira masih berada di angka 5 ribuan.

"Sekarang kita lebih upayakan untuk menggunakan rapid test antigen," katanya. (mpa/sui)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved