Tiga Pejabat LPD Kekeran Dituntut Bervariasi, Artini Dituntut Lebih Tinggi, Empat Tahun Penjara
Ni Ketut Artani selaku sekretaris atau kolektor LPD Desa Kekeran dituntut empat tahun penjara.
Penulis: Putu Candra | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Ni Ketut Artani selaku sekretaris atau kolektor LPD Desa Kekeran dituntut empat tahun penjara.
Sedangkan mantan ketua LPD periode 1997-2017, I Wayan Suamba dan I Made Winda Widana selaku sekretaris (keduanya berkas terpisah) masing-masing dituntut satu tahun dan enam bulan (1,5 tahun) penjara.
Oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), ketiga terdakwa dinilai bersalah melakukan tindak pidana korupsi pengelolaan dana keuangan di LPD Desa Adat Kekeran, Angantaka, Abiansemal, Badung tahun 2016-2017.
Baca juga: Jadi Orang Pertama yang Divaksin Covid-19, Joe Biden: Setiap Orang Harus Siap Ketika Disuntik Vaksin
Baca juga: BREAKING NEWS Pemerintah Kota Denpasar Tunda Pembelajaran Tatap Muka Hingga Maret 2021
Baca juga: Perbaiki Data Kesejahteraan Sosial, Dinsos Buleleng Luncurkan SLRT dan Puskesos
Demikian disampaikan Jaksa Luh Heny F Rahayu saat membacakan surat tuntutan di persidangan yang digelar secara virtual di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Selasa (22/12/2020).
Atas perbuatannya, ketiga dinilai melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Baca juga: Alasan Gubernur Koster Bebaskan Tes Swab PCR Dan Rapid Test Bagi PPDN Usia di Bawah 12 Tahun
Baca juga: 647 PPDN Masuk Bali lewat Pelabuhan Gilimanuk, Lima Orang Reaktif
Baca juga: Koster Minta Surat Edaran Mengenai Nataru Dijalankan dengan Tertib agar Tak Timbulkan Klaster Baru
"Menuntut, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Ni Ketut Artani dengan pidana penjara selama empat tahun, dikurangi selama menjalani masa tahanan. Dan denda Rp 50 juta subsidair dua bulan kurungan," jelasnya di persidangan yang dipimpin Hakim Ketua Angeliky Hanjani Day."
"Selain itu, terdakwa Artani juga dibebankan membayar uang pengganti kerugian negara sekitar Rp 1,9 miliar."
"Apabila tidak membayar dalam jangka waktu satu bulan setelah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita dan dilelang."
"Jika tidak memiliki harta benda diganti dengan pidana penjara selama dua tahun," imbuh Jaksa Heny.
Baca juga: Siswa SMAN 2 Mendoyo Diajak Lestarikan Hutan
Baca juga: Gubernur Koster Ungkap Alasan Kebijakan Swab PCR dan Rapid Test Antigen Bagi PPDN yang Masuk Bali
Terhadap tuntutan itu, Artani yang didampingi penasihat hukumnya menyatakan akan mengajukan pembelaan (pledoi) tertulis.
Nota pembelaan akan dibacakan pada sidang tiga pekan mendatang.
Sementara itu, untuk terdakwa I Wayan Suamba dan I Made Winda Widana masing-masing dituntut pidana penjara selama satu tahun dan enam bulan, denda Rp 50 juta subsidair dua bulan kurungan.
Pun kedua terdakwa melalui tim penasihat hukumnya dari Pusat Bantuan Hukum (PBH) Peradi Denpasar akan mengajukan pembelaan tertulis.
"Terima kasih, Yang Mulia. Kami mengajukan pembelaan tertulis. Mohon waktunya," pinta Desi Purnani Adam selaku anggota penasihat hukum.
Diungkap dalam dakwaan jaksa, bahwa pada tanggal 15 Maret 2017 bertempat di Desa Adat Kekeran, saat itu dilaksanakan paruman agung atas laporan pertanggungjawaban pengurus LPD periode 1 Januari 2016 - 31 Mei 2017.
Namun, masyarakat menolak laporan yang dibuat terdakwa Suamba bersama Artani dan Winda Widana.
Masyarakat menolak lantaran laporan tersebut tidak ditandatangani seluruh pengurus LPD dan Ketua Badan Pengawas periode sebelumnya, yaitu Ida Bagus Made Widnyana.
Sementara bendesa adat yang baru, I Made Wardana meminta I Gusti Komang Pernawa Pandit membuat sistem komputerisasi terkait administrasi LPD.
Di luar dugaan, Pandit menemukan selisih atau ketimpangan antara neraca yang dibuat menggunakan aplikasi komputer dengan pencatatan neraca manual sebesar Rp 2,9 miliar.
Ketimpangan tersebut meliputi tabungan, kredit, deposito, dan kas bank.
"Buku tabungan yang dipegang oleh nasabah berbeda jumlahnya dengan kartu primanota yang ada di LPD. Nominal pada buku tabungan yang dipegang nasabah rata-rata lebih besar daripada kartu primanota LPD," beber Riki Saputra kala membacakan surat dakwaan pada sidang sebelumnya.
Sementara pada kredit ditemukan pemberian kredit tidak sesuai prosedur, baik dari administrasi, jaminan, dan tandatangan.
Selain itu, adanya kredit fiktif, di mana ada nama nasabah yang tertera dalam daftar pinjaman di LPD.
Namun saat dilakukan pengecekan lapangan ternyata yang bersangkutan tidak pernah mengajukan kredit.
Wardana sebagai pengawas LPD yang baru melakukan pengecekan langsung ke para nasabah LPD.
Hasil pengecekan itu menemukan sejumlah fakta mengejutkan.
Di antaranya, pada laporan antara kas dan bank dengan kenyatan (cek fisik) ditemukan ketidaksesuaian dalam penjumlahan.
Setelah dilakukan pengecekan langsung kepada para nasabah, Pandit kembali mendapat temua terdapat selisih kas sebesar Rp 3,9 miliar.
"Selisih neraca terjadi karena laporan neraca bulanan maupun rugi laba selalu dibuat seolah-olah seimbang oleh para terdakwa," terang jaksa yang juga Kasi Pidsus Kejari Badung itu.
Secara administrasi posisi keuangan LPD Desa Adat Kekeran selalu dalam keadaan sehat.
Padahal, faktanya selama tahun 1997-2017, para terdakwa telah memakai setoran uang tabungan dan setoran deposito milik nasabah, mempergunakan uang kas, menggunakan uang pembayaran angsuran kredit milik nasabah, dan mengajukan kredit fiktif untuk keperluan pribadinya.
Selanjutnya pengurus LPD diganti yang baru. Setelah serah terima pengurus pada 2 Juni 2017, kondisi Kas LPD tidak sesuai dengan neraca.
Terdapat selisih kas per-31 Mei 2017 yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sebesar Rp 2,9 miliar.
Akibat perbuatan para terdakwa, LPD Desa Adat Kekeran mengalami kerugian sebesar Rp 5,2 miliar, sebagaimana laporan akuntan independen.
Rinciannya, selisih kas yang tidak dapat dipertanggungjawabkan Rp 2,9 miliar.
Jumlah kredit yang tidak dapat dipertanggungjawabkan Rp 1,9 miliar.
Tabungan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan Rp 93 juta dan jumlah deposito yang tidak dapat dipertanggungjawabkan Rp 310 juta. (*)