Serba Serbi
Arti dan Tujuan Perkawinan Menurut Hukum Hindu
Awal suatu perkawinan dikatakan sah atau tidak, ditentukan oleh ritual upacara yang disebut samskara wiwaha (upacara pernikahan).
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Secara nyata, awal suatu perkawinan dikatakan sah atau tidak, ditentukan oleh ritual upacara yang disebut samskara wiwaha (upacara pernikahan).
Hal ini disebutkan oleh Pinandita I Ketut Pasek Swastika, dalam bukunya berjudul ‘Wanita Dalam Sistem Perkawinan Hindu’ tahun 2017.
Setelah upacara wiwaha, maka pasangan pria dan wanita disebut sebagai suami-istri resmi dan sah menjadi pasangan hidup yang disebut dampati.
Selanjutnya, berkewajiban melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai grhastin.
Baca juga: Lahir Rabu Pon Bala, Ada Pertanda Akan Hidup Bahagia
Baca juga: Menteri PPPA Bintang Puspayoga Sebut Perkawinan Anak Meningkat Selama Pandemi Covid-19
Baca juga: Memohon Keturunan, Pura Dalem Desa Adat Silakarang-Kederi Gianyar Sering Didatangi Umat
Atau orang yang melaksanakan hidup grhasta (rumah tangga).
Upacara pernikahan menurut Hindu sangat mulia dan luhur, sebab dari suatu perkawinan yang sah dan dibenarkan oleh agama dan negara akan melahirkan keturunan.
Yang melanjutkan generasinya.
Tujuan lebih spesifik dan utama lainnya, adalah melahirkan atau mendapatkan anak yang suputra.
Dengan demikian, wiwaha atau pernikahan merupakan sebuah yadnya atau ibadah agama.
Sastra suci menyebutkan bahwa pernikahan merupakan samshara, yang mendudukkan perkawinan sebagai suatu lembaga yang erat kaitannya dengan agama Hindu.
Sehingga semua persyaratan yang ditentukan harus ditaati oleh umat Hindu.
Lain dari itu, disebutkan pula bahwa perkawinan atau pernikahan tersebut, merupakan puncak dari upacara/upakara manusa yadnya untuk membayar hutang kehadapan orangtua/leluhur.
Sehingga perkawinan adalah suatu dharma, dengan demikian samskara wiwaha merupakan suatu penyucian diri melalui perkawinan.
Disebutkan bahwa sahnya suatu perkawinan menurut Hindu apabila dilakukan oleh rohaniawan/pejabat agama yang memenuhi persyaratan.
Kedua mempelai dinyatakan sehat jasmani dan rohani, serta telah cukup umur untuk melangsungkan perkawinan (pria 21 tahun dan wanita 18 tahun).
Lalu kedua mempelai tidak ada hubungan atau ikatan darah, yang sangat dekat (sapinda).
Serta kedua mempelai tidak terikat dalam suatu perkawinan.
Sama-sama beragama Hindu.
Dan telah melaksanakan upacara biakaonan, dan rangkaian upacara lainnya yang disebutkan dalam agama Hindu.
Upacara perkawinan menurut agama Hindu dilakukan di rumah mempelai yang bertindak sebagai purusa.
Dipuput oleh rohaniawan Hindu (pandita) dan diberikan tirtha serta pejaya-jaya.
Adanya upacara pesaksi yang ditujukan kepada bhuta kala, leluhur, para dewa, Tuhan Yang Maha Esa/Sang Hyang Widhi Wasa.
Serta disaksikan dan disahkan oleh manggala desa adat/pakraman serta catatan sipil.
Kemudian adanya suatu upacara khusus untuk mempelai.
Dan disaksikan oleh keluarga, masyarakat, serta perangkat desa/adat.
Secara administrasi, perkawinan dinyatakan sah bilamana telah mendapatkan pengesahan secara hukum oleh aparat yang berwenang dalam hal itu.
Dan dikeluarkan serta dipegangnya bukti hukum berupa akta perkawinan. (*)