Corona di Indonesia

Terkait Kehalalan Vaksin Sinovac, Fatwa MUI Segera Keluar

Ia menegaskan kehalalan vaksin harus diuji sebelum diedarkan ke masyarakat.

Editor: Kander Turnip
TRIBUNNEWS/BIRO PERS/MUCHLIS Jr
Vaksin Covid-19 buatan Sinovac tiba di Kantor Pusat Bio Farma, Bandung, Senin (7/12/2020). Vaksin asal Cina tersebut tiba di Indonesia melalui terminal cargo Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada Minggu (6/12/2020) malam. 

Terkait Kehalalan Vaksin Sinovac, Fatwa MUI Segera Keluar

TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA - Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga Jubir Wapres, Masduki Baidlowi menegaskan vaksinasi menunggu fatwa MUI.

Saat ini tim dari MUI tengah menguji sample vaksin Sinovac di Bandung.

Ia menegaskan kehalalan vaksin harus diuji sebelum diedarkan ke masyarakat.

"Fatwa MUI nanti tetap ditunggu. Karena tidak mungkin itu vaksin akan beredar tanpa fatwa MUI. Walaupun barang sudah dikirim ke berbagai daerah, MUI dan BPOM sekarang sedang meneliti. BPOM khusus hal yang terkait dengan kemujaraban, kegunaan, kekhasiatan, nilai bahaya dan seterusnya. Sehingga dengan demikian itu tugas dari BPOM. Sementara MUI menilai kehalalan. Sekarang sedang berjalan," katanya, Selasa (5/1/2021).

Tim dari MUI tengah menguji sample vaksin Sinovac di Bandung.

Ia menegaskan kehalalan vaksin harus diuji sebelum diedarkan ke masyarakat.

Baca juga: Efek Vaksin Sinovac Demam dan Pegal, Ini Pesan Menkes ke Kepala Daerah

Baca juga: Jokowi Perintahkan Menkes, Vaksinasi Tuntas Kurang dari Setahun

Baca juga: Garda Terdepan Pemulihan Ekonomi, Dewan Bali Minta Pekerja Pariwisata Juga Dapat Prioritas Vaksinasi

"Jangan ada kesan seakan-akan vaksinasi akan dilaksanakan tanpa fatwa MUI. Enggak benar itu. Jadi fatwa MUI pasti akan menjadi rujukan utama terkait halal dan tidaknya vaksin ini diedarkan," jelasnya.

Masduki juga memastikan fatwa MUI soal kehalalan vaksin akan keluar dalam waktu dekat.

MUI juga telah berkoordinasi dengan Bio Farma, Kemenkes, dan pihak-pihak lainnya terkait hal ini.

"(Fatwa keluar) Jelang vaksinasi akan keluar nanti. Pokoknya dalam waktu dekat lah, pokoknya akan bareng," kata dia.

"MUI akan berjalan sesuai tata cara prosedur sebagaimana yang dijalani di MUI, dan pemerintah, terutama Bio Farma sudah sangat tanggap, proaktif berhubungan dengan MUI dalam hal ini. Jadi Bio Farma, Menkes, semuanya sudah proaktif," jelasnya lagi.

Lembaga Pengkajian Pangan dan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP POM MUI) membeberkan syarat kehalalan obat, termasuk vaksin untuk pengobatan berkaitan dengan distribusi vaksin Covid-19 yang akan didistribusikan pemerintah dalam waktu dekat.

Direktur Eksekutif LPPOM MUI, Muti Arintawati mengatakan, syarat tersebut sudah dikeluarkan MUI melalui Fatwa MUI nomor 30 tahun 2013 tentang obat dan pengobatan.

“MUI punya fatwa nomor 30 tahun 2013 tentang obat dan pengobatan,” kata Muti kemarin.

Muti menjelaskan bahwa obat yang digunakan untuk kepentingan pengobatan wajib menggunakan bahan yang suci dan halal.

Namun, ia mengatakan ada pengecualian dimana penggunaan bahan najis atau haram dalam obat-obatan diperbolehkan asal memenuhi sejumlah syarat.

Salah satunya pada kondisi darurat yang apabila pengobatan itu tidak dilakukan dapat mengancam jiwa manusia atau mengancam eksistensi jiwa manusia di kemudian hari.

Baca juga: Vaksin Covid-19 Tiba di Bali, Pangdam IX/Udayana Imbau Tetap Patuhi Prokes 3M, Kesdam Siap Vaksinasi

Baca juga: Tidak Semua Petugas Medis di Klungkung Dapat Prioritas Vaksinasi, Berikut Syaratnya

Baca juga: Nyoman Suyasa Usul Vaksin Corona Tak Buru-buru Didistribusikan, Minta BPOM Pastikan Keamanan Vaksin

Penggunaan bahan najis atau haram juga diperbolehkan apabila belum ditemukan bahan yang halal dan suci, serta adanya rekomendasi paramedis yang kompeten dan terpercaya bahwa dalam pengobatan tidak ditemukan obat yang halal.

“Ada kondisi tertentu yang bisa membuat suatu produk obat itu diperbolehkan. Tetap dinyatakan haram, tapi produknya diperbolehkan digunakan dalam kondisi tertentu,” kata Muti.

“Jadi ini penting sekali kenapa MUI harus bersama-sama dengan Badan POM, karena Badan POM yang punya otoritas untuk memberikan rekomendasi, termasuk soal vaksin tadi,” lanjutnya.

Adapun penggunaan obat yang berbahan najis atau haram untuk pengobatan luar hukumnya boleh dengan syarat dilakukan pensucian.

Muti mencontohkan dalam kasus vaksin MR pada proses pengkajiannya terdapat kandungan babi di dalamnya.

Pada saat itu MUI menyatakan vaksin MR haram dalam hal produknya, namun karena adanya kebutuhan meskipun haram, MUI memperbolehkan vaksin itu dipergunakan.

“Karena belum ada alternative vaksin lain yang halal maka diperbolehkan untuk digunakan,” kata Muti.

Sekiranya ada 2 hal yang akan dikritisi LP POM MUI soal kajian kehalalan vaksin yang disebut titik kritis vaksin, yakni terkait seluruh bahan yang terlibat dalam proses produksi dan juga soal fasilitas produksinya.

Muti menegaskan, dalam mengkaji vaksin Sinovac pihaknya tak bersikap pasif dengan hanya menunggu informasi dari pihak perusahaan.

LPPOM MUI akan intensif melakukan sejumlah kajian ilmiah terhadap bahan-bahan yang dikandung vaksin tersebut, dengan melibatkan sejumlah pakar maupun lewat literatur.

Meski nantinya hasil keputusan Komisi Fatwa MUI menyatakan bahwa vaksin Sinovac haram, namun vaksin tersebut kemungkinan masih tetap bisa digunakan berdasarkan Fatwa MUI nomor 30 tahun 2013.

"Jika nanti hasilnya haram, maka sama seperti pada vaksin MR. Dimana pada vaksin MR yang digunakan untuk program imunisasi massal mengandung babi, namun penggunaannya masih dibolehkan sampai ditemukan vaksin lain yang halal, karena ada kondisi bahaya," kata Muti. (tribun network/laras)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved