Harga Kedelai Impor Naik Tinggi, Pengusaha Tempe di Badung Ini Tak Terpengaruh

Kenaikan harga kedelai impor tersebut tidak mempengaruhi pada usaha pembuat tempe di Desa Angantaka, Abiansemal, Badung.

Penulis: I Komang Agus Aryanta | Editor: Kander Turnip
Tribun Bali/I Komang Agus Aryanta
Produsen Tempe Bali, Benny Santoso saat memperlihatkan tempe yang dibuatnya di rumah Produksi di Daerah Desa Angantaka, Abiansemal Badung, Bali, Rabu (6/1/2021). 

Harga Kedelai Impor Naik Tinggi, Pengusaha Tempe di Badung Ini Tak Terpengaruh

TRIBUN-BALI.COM, MANGUPURA – Harga kedelai impor beberapa hari terakhir mengalami peningkatan.

Hal itu pun mempengaruhi lonjakan harga tahu dan tempe.

Kendati demikian, kenaikan harga kedelai impor tersebut tidak mempengaruhi pada usaha pembuat tempe di wilayah Desa Angantaka, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, Bali.

Kenaikan harga kedelai impor tidak mempengaruhi usaha tempe tersebut  karena “Ini Tempe Bali” itu menggunakan olahan kedelai lokal.

Bahkan tempe yang dibuat pun merupakan sistem organik sehingga aman dikonsumsi masyarakat.

Produsen Ini Tempe Bali, Benny Santoso, yang ditemui di rumah produksi di kawasan Desa Angantaka, Kecamatan Abiansemal, Badung, Bali, Rabu (6/1/2020) mengatakan usaha tempenya tersebut tidak mempengaruhi produksi maupun harga jual.

Pasalnya tempe yang dibuat yakni menggunakan kedelai lokal dengan kualitas yang bagus.

Baca juga: Harga Tahu Tempe Naik, Polisi Sidak Gudang Importir Kedelai

Baca juga: Kedelai Mahal Ukuran Tahu & Tempe Makin Kecil, Produsen di Bali Menjerit: Asal Usaha Bisa Jalan Saja

“Produksi kami memakai bahan baku kedelai lokal, jadi harganya stabil,” ujar pria asal Solo itu.

Pihaknya mengatakan, untuk kedelai sendiri sebenarnya lebih mahal lokal dari kedelai impor.

Hal itu karena harga kedelai lokal cenderung  stabil. Sedangkan kedelai impor harganya memang stabil, cuma kalau ada masalah sedikit harganya bisa naik.

“Harga kedelai impor mempengaruhi harga tempe itu sudah pasti, karena hampir 90 persen produsen tempe di Indonesia menggunakan kedelai impor. Kedelai impor lebih diminati karena kuantitas yang selalu bisa stabil,” jelasnya.

Dijelaskan Benny untuk  kedelai lokal kalah dalam soal kuantitas, mengingat pertanian kedelai di Indonesia makin lama makin menurun karena orang lebih memilih fokus menanam tanaman yang lebih menguntungkan.

Padahal permintaan kedelai termasuk banyak.

Namun jika dilihat dari kualitas sejatinya, kedelai lokal lebih bagus, karena setelah dipanen langsung diolah.

Namun untuk impor bisa saja kedelai yang sudah distok bertahun-tahun.

“Jadi sebenarnya kedelai lokal tidak terpengaruh dengan isu naiknya kedelai impor. Kedelai lokal justru terpengaruh oleh jumlah dan waktu panen. Kedelai lokal dari petani itu biasanya menjadi rebutan. Baik untuk ditanam lagi atau diambil tengkulak. Kalau dijual ke produsen mereka kesulitan. Karena produsen tempe sudah terbiasa pakai kedelai impor,” jelas Benny.

Meski demikian, dari segi kualitas rasa, kedelai lokal lebih unggul ketimbang impor.

Hal ini karena kedelai impor melewati proses laboratorium dan penyimpanan gudang.

Sedangkan kedelai lokal lebih segar karena habis panen langsung dijual.

“Dari segi rasa, lebih bagus yang lokal. Kalau impor agak hambar rasanya dan kurang gurih. Kedelai impor kan disimpan di gudang sehingga kualitasnya bisa menurun,” ucapnya.

Untuk produksi tempe, Benny sendiri mengaku membeli atau mengambil bahan baku dari daerah Pulaki di Buleleng dan Grobogan di Jawa Tengah.

Pria berkacamata itu menyebutkan sekali beli kedelai bisa sekitar 400 kg sampai 1 ton kedelai lokal, tergantung hasil panen para petani.

Bahan baku kedelai kemudian diolah menjadi tempe dengan produksi seminggu dua kali.

Tempe yang dibuat pun tidak seperti tempe pada biasanya.

Namun usaha rumahan yang digelutinya selama 4 tahun itu membuat tempe original dan tempe campuran.

Pada tempe campuran itu ada lima jenis varian rasa yakni Tempe Wijen Hitam, Tempe Spirulina, Tempe biji Labu dan Tempe rasa Keju.

“Tempe ini saya jual di warung sehat yang ada di wilayah Canggu, dan Ubud. Bahkan ada juga konsumen yang memesan seperti restoran dan yang lainnya,” jelasnya sembari mengatakan untuk tempe original dijual Rp 6.500 per kotak dan Tempe campuran dijual Rp 7.500 per kotak.

Seperti diketahui, kementerian Perdagangan mencatat harga kedelai di pasar internasional naik 9 persen dari kisaran 11,92 dolar AS menjadi 12,95 dolar AS per busel.

Harga kedelai impor Indonesia nasik dari kisaran Rp 9.000 menjadi Rp 9.300 per kg.

Menurut Benny, hingga saat ini harga kedelai lokal masih stabil mulai dari Rp 8 ribu hingga Rp 12 ribu per kg tergantung jenis dan kualitas kedelai. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved