Berita Denpasar

Perayaan Siwaratri Besok, Pura Agung Jagatnatha Denpasar Dibuka Hanya Sampai Jam 9 Malam

kegiatan upacara persembahyangan dalam rangka Hari Suci Siwaratri akan dilaksanakan mulai pukul 17.00 sampai 21.00 Wita. Tentunya dengan prokes

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Treibun Bali/AA Seri Kusniarti
Pura Jagatnatha Denpasar 

Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Menjelang malam Siwaratri, atau malam rahinan jagat bagi umat Hindu di Bali yang jatuh pada Anggara, Kulawu, sasih kapitu, Selasa (12/1/2021), Umat Hindu biasanya melakukan persembahyangan ke pura-pura, yang ada di sekitar desa semisal pura kahyangan tiga, atau sad kahyangan, hingga ke Pura Besakih.

Satu diantara pura yang sangat favorit saat malam Siwaratri, adalah Pura Agung Jagatnatha di Denpasar.

Jika dahulu, pura ini kerap didatangi ribuan umat khususnya kaula muda, namun karena pandemi Covid-19, kunjungan umat ke pura dibatasi sesuai protokol kesehatan.

Sehingga tidak menularkan dan menyebabkan klaster penularan baru.

Baca juga: Makna Jagra pada Rahinan Siwaratri dan Hakikat Cerita Lubdaka

Raka Purwantara, Kepala Bagian Kesra Setda Kota Denpasar, menegaskan hal tersebut.

Berdasarkan surat Nomor 180/012/HK Tanggal 8 Januari 2021 disebutkan 4 poin penting.

Diantaranya, kegiatan upacara persembahyangan dalam rangka Hari Suci Siwaratri akan dilaksanakan mulai pukul 17.00 sampai 21.00 Wita. Tentunya dengan prokes yang ketat.

Poin kedua, piranti-piranti penunjang upacara (uparengga), akan dibatasi termasuk meniadakan tarian wali dan tetabuhan atau gamelan.

Personel pendukung penyelenggaraan upacara juga akan dibatasi, dengan hanya melibatkan para pemangku, serati banten, pecalang, pesantian, serta pengayah yang terdiri dari tenaga penyuluh Agama Hindu dan penyuluh Bahasa Bali Kota Denpasar.

Kepada masyarakat umum, khususnya umat Hindu di Kota Denpasar diimbau melaksanakan persembahyangan hari suci Siwaratri di rumah masing-masing (ngayat/ngayeng).

“Intinya persembahyangan bersama ditiadakan, umat bisa tetap hadir dan tetap dilayani oleh pemangku pura,” tegasnya.

Namun dilarang berkumpul dalam jumlah yang banyak atau bergerombol.

“Jika ditemukan hal tersebut (berkumpul), akan ditegur oleh pecalang yang bertugas, yaitu pecalang Banjar Abasan,” tegasnya.

Tidak boleh ada kerumunan, karena pamedalan pura akan ditutup pukul 21.00 WITA.

Baca juga: Hari Suci Siwaratri di Masa Pandemi, Malam Renungan Umat Hindu Menemukan Makna Lahir Sebagai Manusia

Para pemangku dan pecalang juga mengawasi saat pamedek muspa di areal pura. Pecalang yang siaga kurang lebih 8 orang.

Baik pecalang, pemangku, maupun pamedek, semuanya harus mengikuti prokes dan wajib memakai masker. Serta maksimal keterisian di tengah pura hanya 50 persen dari luas areal yang tersedia.

Sehingga pamedek bisa sembahyang dengan tenang, dan terhindari dari penularan virus Covid-19.

Makna Jagra dan Cerita Lubdaka

Perayaan hari suci atau rahinan Siwaratri dilangsungkan oleh umat Hindu setahun sekali, pada pangelong ping pat belas atau purwaning tilem, sasih kapitu.

Tahun ini hari suci atau rahinan Siwaratri  jatuh pada Selasa (12/1/2021).

“Apa sebenarnya makna hari Siwaratri ini dalam ajaran Hindu?” ucap Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, Senin (11/1/2021) kepada Tribun Bali di Denpasar, Bali.

Pendiri dan pembina Pasraman Bhuwana Dharma Shanti ini, menjelaskan Siwaratri terdiri dari dua kata.

Siwa yang berarti Dewa Siwa, dan ratri yang berarti malam.

Secara singkat, Siwaratri dimaknai sebagai malam Siwa, dalam membangkitkan spiritual menuju keseimbangan hidup lahir batin.

“Pada malam Siwaratri, sangat penting bagi umat Hindu khususnya di Bali yang memegang konsep Siwa Sidhanta,” sebutnya.

Ida rsi yang merupakan mantan jurnalis ini, menceritakan mitologi dan purana Siwaratri dalam ajaran Hindu.

Baca juga: PHDI Bali Imbau Umat Sembahyang di Rumah Masing-masing, Ini Makna Siwaratri yang Dirayakan Esok

“Jadi disebutkan bahwa Siwaratri adalah hal yang sangat penting, dimana dalam ajaran Hindu di Indonesia mengenal juga tentang Siwaratri yang dituls oleh Empu Tanakung,” katanya.

Ajaran tersebut tidak lain adalah gambaran cerita tentang seorang pemburu dan pembunuh bernama Lubdaka.

Dikisahkan ia melakukan perburuan, tidak mengenal kasih sayang, tidak mengenal tentang ketakutan, dan sebagainya.

“Karena hanya ingin mencari sesuap nasi untuk hidup, lalu ia berburu binatang,” ucap Ida rsi.

Namun pada suatu ketika, terjadi kesialan, dimana setibanya di sebuah hutan, tidak ada satupun binatang yang ia jumpai, bahkan kijang dan hewan lainnya tidak ada sama sekali.

Hal ini membuatnya terus berjalan ke tengah hutan yang sangat lebat, lalu tibalah di suatu tempat yang angker.

Ia tersesat hingga malam menjelang dan Lubdaka tidak mendapatkan apapun.

Dengan rasa lapar dan tidak tahu jalan kembali, maka si Lubdaka mencari tempat yang baik untuk berteduh dan menjaga diri dari sergapan binatang buas.

Sampailah Lubdaka di sebuah telaga atau danau yang cukup luas.

Karena lelah, ia beristirahat di sana sembari naik ke atas pohon agar tidak disergap binatang buas seperti harimau.

Sembari menunggu binatang buruannya, jikalau ada yang lewat.

Matahari terbenam, malam kian gelap dan Lubdaka merasa cukup ketakutan.

“Memang malam ketika sasih kapitu sangat gelap dan pekat,” jelas Ida rsi.

Lubdaka kini berada di atas pohon Maja (Bilwa) yang ada di pinggir telaga tersebut.

Ia takut ketiduran dan jatuh dari atas pohon, lalu dipetiklah daun Maja dan dijatuhkan satu per satu ke bawah.

Ia lakukan itu guna menghilangkan kantuk, dan dilakukan sampai pagi.

Daun satu per satu berjatuhan ke telaga, dan mengarah ke sebuah lingga (simbol Siwa) yang berada di telaga.

Daun-daun tersebut menyentuh lingga, sehingga membuat Dewa Siwa tersentuh hatinya.

Matahari akhirnya muncul, dan Lubdaka turun dari pohon lalu pulang ke rumah.

“Ketakutannya mulai hilang dan keberanian mulai tumbuh,” ujar Ida rsi.

Ia mengatakan pada keluarga, bahwa ia tidak mendapatkan buruan.

Sejatinya, Lubdaka mulai sadar dan mengubah pikirannya yang tadi berburu lalu membunuh menjadi hidup lebih baik.

Hari berlaru, dan Lubdaka sakit keras sehingga akhirnya ia tiada.

Uniknya, setelah prosesi ngaben jenazah atma atau rohnya disambut oleh bala tentara Yama Raja.

Namun bala tentara Dewa Siwa datang, dan mengatakan bahwa akan menjemput Lubdaka dan membawanya kehadapan beliau.

Namun bagi Yama, Lubdaka berdosa karena membunuh semasa hidupnya.

Namun bagi Siwa, Lubdaka sangat berjasa karena menjaga malam suci dengan ketenangan dan tidak berburu serta hati yang baik.

Ida rsi menjelaskan, kisah ini memberikan nilai bahwa hidup memang penuh derita (papa) dan sengsara (samsara).

Sehingga dengan Siwaratri ini, diharapkan umat Hindu dan segenap umat manusia kian sadar, serta tidak lupa (jagra) pada Tuhan, dalam simbolnya sebagai Dewa Siwa.

“Jadi esensi Siwaratri bukan hanya tentang bergadang saja, tetapi memahami diri lebih dalam, introspeksi diri atau mulat sarira,” tegas Ida rsi.

Makna melek semalaman, saat Siwaratri adalah untuk menyadarkan diri kita sendiri tentang kehidupan di dunia ini.

"Sebab seiring perjalanan waktu, manusia kerap lupa diri, lupa pada kehidupan masyarakat, lupa Tuhan, lupa pada keluarga, dan lupa pada hal yang berhubungan dengan etika, sopan-santun serta lupa dengan keharmonisan hidup,” tegasnya.

Oleh sebab itu, diharapkan manusia jagra atau bangun dan tidak lupa bahwa dunia ini fana.

Tidak lupa tetap menjaga perbuatan, perkataan, dan pikiran agar tidak menyakiti sesama mahluk hidup.

Saling menjaga dan mengasihi, jangan sampai jumawa hanya pada kekuasaan dan kepuasan diri.

Tetap tawakal, khususnya pada kondisi saat ini dimana pandemi Covid-19 tengah melanda dunia.

Agar sesama manusia saling menjaga satu sama lain dan tidak lupa akan konsep karmaphala, yang terus membuat manusia reinkarnasi ke dunia untuk menebus kesalahannya.

Jagra, katanya, adalah menyadarkan manusia bahwa ia adalah mahluk Tuhan paling sempurna.

Dibekali pikiran dan hati nurani, untuk saling menjaga dan mencintai sesama mahluk hidup.

“Sebab hanya manusia yang dapat menolong dirinya sendiri. Tidak egois dan merasa diri sendiri paling benar,” tegas Ida rsi.

Ia mengingatkan agar umat Hindu sembahyang memohon ampun kepada Tuhan dalam perwujudan Dewa Siwa ketika Siwaratri ini.

“Jangan jagra tapi main ceki (judi), minum arak (miras), dan perbuatan tidak terpuji lainnya,” tegasnya.

Namun jagra yang dimaksud adalah diskusi agama yang berhubungan dengan ritual, upacara, dan upakara juga dilakukan saat Siwaratri.

Dengan tulus ikhlas memohon kepada Tuhan agar diberikan jalan dan pengampunan, serta bisa bahagia dunia akhirat.

“Nah kemudian paginya melakukan mandi suci, sebagai simbol kebersihan rohani dan jasmani,” katanya.

Ia menegaskan bahwa jangan menganggap malam Siwaratri akan menghapuskan dosa, hanya karena melek semalam suntuk, karena semuanya kembali kepada diri sendiri, karma, dan tulus ikhlas. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved