Serba Serbi

Dentuman dan Kisah Watugunung Runtuh Hingga Saraswati

Jro Arimbawa memperkirakan suara menggelegar ini adalah pertanda kejahatan telah kalah, menyambut kemenangan saat Saraswati

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Irma Budiarti
Tribun Bali/Rizal Fanany
Ilustrasi umat Hindu sembahyang. Dentuman dan kisah Watugunung runtuh hingga Saraswati. 

Dewi Sinta mencari akal dengan mengatakan bahwa ia ingin seorang pelayan bernama Dewi Nawang Ratih.

Yang tak lain adalah permaisuri Dewa Wisnu, dan karena menyayangi istrinya, Watugunung menyanggupi.

Ia pergi ke Wisnuloka untuk mendapatkan Dewi Nawang Ratih, tentu saja Dewa Wisnu tak berkenan, pertempuran sengit pun terjadi, singkat cerita, Dewa Wisnu terdesak.

Bhagawan Wrehaspati lalu mengutus Bagawan Lumanglang untuk mencari tahu kesaktian Watugunung.

Bhagawan Lumanglang mengambil wujud laba-laba menyusup ke kamar Watugunung mengintip pembicaraan tentang rahasia kesaktiannya kepada Dewi Sinta. 

Rahasia itu kemudian disampaikan kepada Dewa Wisnu, dalam pertarungan berikutnya, pada hari Redite Kliwon (Minggu) Dewa Wisnu ber-Triwikrama, Watugunung dikalahkan, tubuhnya terhempas jatuh ke bumi. 

Maka pada hari itu disebut 'Watugunung Runtuh' dan juga disebut juga 'Kajeng Kliwon Pamelastali'.

Karena dengan tewasnya Watugunung maka lepaslah ikatan tak wajar antara Watugunung dengan ibunya Dewi Sinta.

Kajeng Kliwon ini juga merupakan Kajeng Kliwon terakhir dari rangkaian wuku dalam satu putaran.

Keesokannya Soma Umanis (senin), Watugunung menemui ajalnya, jasadnya tersangkut di batang pohon talas (candung), maka hari itu disebut 'Candung Watang'. 

Baca juga: Suara Dentuman di Bali, Bertepatan dengan Kisah Gugurnya Raja Watugunung

Besoknya, hari Anggara Paing (selasa), jasad Watugunung diseret – seret, hari itu disebut 'Paid - paidan'.

Pada hari Buda Pon (rabu), Watugunung siuman kembali, sehingga hari itu disebut 'Buda Urip'. 

"Keesokan harinya Wraspati Wage (kamis), Watugunung kembali dibunuh oleh Dewa Wisnu, hari itu.

Namun atas belas kasihan Dewa Siwa, maka Watugunung dihidupkan kembali, hari itu kemudian disebut dengan “Urip Kelantas” (hidup terus)," jelasnya. 

Pada hari Sukra Kliwon (jumat), Watugunung membersihkan diri (sapuhawu), melakukan tapa brata yoga semadi.

Halaman
123
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved