Serba Serbi

Ini Penjelasan Sulinggih Soal Perbedaan Nyegara Gunung dan Meajar-ajar, Serta Makna Ngenteg Linggih

ida rsi menjelaskan hal tersebut karena ketika roh itu belum di-linggih-kan, dan baru dilakukan nyegara gunung.

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
tribunbali/dewa dedy farendra
ilustrasi persembahyangan di Pura Goa lawah, Klungkung, Bali. Ini Penjelasan Sulinggih Soal Perbedaan Nyegara Gunung dan Meajar-ajar, Serta Makna Ngenteg Linggih 

Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Sering terjadi salah pengertian tentang nyegara gunung dan juga meajar-ajar.

Padahal keduanya sebenarnya berbeda, antara meajar-ajar dan nyegara gunung.

“Ada suatu tempat, yang mengharuskan setiap habis ngaben atau mamukur kemudian melakukan meajar-ajar.

Sebenarnya dalam konsep ajaran Hindu di Bali, yang mengenal istilah tattwa, susila, dan upacara, maka tidak akan kena, karena kalau sudah meajar-ajar sebelum roh itu di-linggih-kan baru nyegara gunung, kemudian dilakukan upacara meajar-ajar sebenarnya konsep itu tidak nyambung,” jelas Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, Selasa 16 Februari 2021.

Baca juga: Sehari Sebelum Pagerwesi Disebut Sabuh Mas, Upacara untuk Sarwa Berana, Ini Persembahannya

Kepada Tribun Bali, ida rsi menjelaskan hal tersebut karena ketika roh itu belum di-linggih-kan, dan baru dilakukan nyegara gunung.

Nunas untuk di-linggih-kan, maka belum berada dalam konsep dewa pitara, dan masih sebagai pitara.

“Kenapa karena beliau belum malinggih di rong tiga (telu),” jelas beliau.

Pensiunan dosen ini memisalkan, seorang bupati yang belum dilantik sebagai bupati.

Maka bupati ini, tidak akan bernama bupati dan belum berhak mengatur. Walaupun dia sudah menang.

“Nah ini kan belum malinggih di rong telu. Kalau meajar-ajar berati pergi ke pura yang dikeramatkan, padahal yang datang kesana belum menjadi dewa pitara masih pitra,” tegas ida rsi.

Kalau dihubungkan dengan etika dalam pelaksanaan upacara. Maka ke tempat suci haruslah yang suci.

Oleh sebab itu, setelah nyegara gunung dan setelah pergi ke Pura Dalem serta lainnya. Barulah ke merajan.

Dan di merajan akan di-linggih-kan, yang disebut dengan ngelinggihang bukan ngenteg linggih.

“Habis mamukur sudah ngenteg linggih, ya kalau bagi yang punya uang,” kata ida rsi.

Baca juga: WIKI BALI - Mengenal Lebih Dekat Banten dan Rentetan Upacara Ngaben di Bali

Sehingga banyak yang akhirnya berat, dan berpikir melakukan upacara adalah hal yang berat.

Padahal hal itu, tidak diharuskan oleh agama Hindu.

“Kalau kita berada di Bali Selatan, maka arah utara atau kaja atau kanan itu jika dilihat menurut palinggih maka kanan adalah utara. Sedangkan kalau menurut orangnya kanan adalah selatan.

 “Padahal sebenarnya yang harus dilakukan adalah di kanannya palinggih bukan dikanannya manusia. Karena yang dikanan palinggih disebut luanan, yang kalau di Bali Selatan maka luanan berada pada utara atau yang disebut kaja,” tegas beliau.

Sedangkan jika di Bali Utara, maka luanan ada di selatan sehingga kaja adalah selatan.

Ini akan membingungkan jika tidak dipahami.

 Kemudian di wilayah Kubu, Karangasem maka timur adalah selatan atau kelod sedangkan barat adalah kaja.

“Kaja, Kelod, kanan, kiri, membuat masyarakat bingung. Oleh sebab itu, patokannya adalah luanan dan teben.

Kesimpulannya, kata beliau, umat Hindu dalam upacara agama tidak memakai istilah kanan dan kiri.

Tetapi luan dan teben, untuk laki-laki ditaruh di luan. Pada Bali Selatan luanannya adalah di utara atau kaja.

Kalau Bali Utara, luanannya adalah di selatan atau kaja juga. Sedangkan di daerah Kubu, Karangasem luanan itu adalah di barat.

Baca juga: Bagaimana Upacara Ngaben Sebelum Buda Kliwon Pegat Uwakan?

“Sehingga kita tidak akan bingung saat ngalinggihang. Ingat bukan ngenteg linggih, karena ada perbedaan ngelinggihang dengan ngenteg linggih,” sebut beliau.

Mantan wartawan ini, menjelaskan ketika habis mamukur adalah ngalinggihang, karena setelah itu ada uacara yang disebut nilapati dan ini sangat penting.

 Sebab nilapati menyatukan purusha pradana jadi satu dibakar. Kemudian setelah itu abunya ditanam dibelakang rong telu, dan dibuatkan daksina linggih di tengah-tengah yang disebut dengan Bhatara Hyang Guru.

Bhatara Hyang Guru, tidak lain adalah Siwa. Yang disebut dengan Atma Tattwa. Atma Tattwa, Sidha Tattwa, dan Prama Siwa tattwa.

Dalam konsep pertama ini, roh pada Atma Tattwa sebagai Tuhan dalam konsep punya ikatan ke bawah.

Oleh sebab itu terjadi reinkarnasi di Atma Tattwa ini.

Di dalam rong tiga, di bagian tengah itu adalah konsep Tuhan di sana.

 Itulah sebabnya dalam ajaran Hindu disebut Amor Ring Acintya, karena di sana roh menyatu dengan Tuhan.

“Kembali pada Tuhan itu sendiri, maka sebenarnya rong telu adalah Padmasana di tengah. Dulu sebelum zaman Bali terakhir, maka Empu Kuturan belum ada padmasana kala itu.

Maka padmasana ada pada rong tiga di bagian tengahnya. Sehingga rong telu boleh disembah siapa saja karena di tengahnya adalah konsep Tuhan,” ujar beliau.

Kalau di samping kanan kiri memang tidak boleh karena tempat leluhur. Siwa itu sendiri berada di tengah.

Makanya, kata beliau, tidak ada istilah harus ngenteg linggih. Sebab ngenteg linggih nanti dilakukan apabila orang yang mempunyai merajan, mau memperbaiki merajannya.

Sementara jika ada keluarga yang meninggal, tidak harus ngenteg linggih.

“Tunggu dulu jika merajannya ada rusak dan perlu diperbaiki baru ngenteg linggih,” tegas ida.

Beliau menyebutkan, biasanya sebuah merajan perlu ngenteg linggih.

 Kurun waktunya dari membuat merajan sampai ngenteg linggih antara 25-30 tahun.

Ngenteg linggih itu, ketika bangunan di merajan diperbaiki kemudian mupuk pedagingan juga antara 25-30 tahun.

“Nah kalau maajar-ajar hubungannya dengan ngenteg linggih, bukan hubungannya dengan mamukur atau nyegara gunung,” tegas ida kembali.

Hubungan maajar-ajar adalah ngenteg linggih. Ketika ada upacara ngenteg linggih, atau perbaikan merajan dan mupuk pedagingan ada upacara ngenteg linggih.

Pada waktu itu, akan nunas pekuluh dan berbeda dengan nunas tirta biasa.

“Artinya memohon air suci yang biasanya diletakkan di dalam bumbung bambu. Dilakukan pada waktu akan melakukan upacara ngenteg linggih,” jelas ida.

Kemana nunas tirta pakuluh itu?, yakni ke Pura Lempuyang, Besakih, Batur, kahyangan keluarga atau kawitan, dan terbatas tidak semua akan dicari di semua tempat.

Setelah upacara ngenteg linggih selesai , untuk mengucapkan rasa terimakasih ke pura yang nunas pakuluh dan menyambung hubungan merajan dengan pura itu barulah melakukan upacara maajar-ajar.

Maajar-ajar, berasal dari kata ojar artinya pemberitahuan.

 “Artinya kita sudah memberitahu bahwa sudah melakukan upacara ngenteg linggih di merajan,” ucap beliau.

Sehingga harus menyampaikan ke pura itu dan menyambung rasa bakti dengan asih dari pura itu.

Sehingga tidak salah kaprah dan salah tangkap dengan konsep ngenteg linggih.

Beliau mengatakan, apabila masyarakat mempunyai dana lebih maka maajar-ajar bisa membawa lingga atau daksina, yang ada di merajan ke pura yang pernah nunas pekuluh tadi.

Dan di sana inti sari banten meajar-ajar ada. Tipat bantal adalah inti dari meajar-ajar. Simbol daripada pejauman.

 “Jaum itu artinya alat untuk menyambung,” kata ida.

Ada konsep purusha dan pradana di tipat bantal ini.

“Artinya kita berterima kasih kepada Ida Bhatara yang ada di sana, dan menyambung rasa bakti kita kepada linggih yang ada di sana,” ujar beliau.

Bagi yang tidak punya uang, boleh datang ke pura yang tadinya nunas pekuluh hanya membawa keben dengan inti upacara adalah tipat bantal itu.

 Tidak perlu juga membawa lingga itu lagi. Tapi matur uning ke sana.

Ini yang disebut dengan maajar-ajar, bukan setiap orang mamukur atau nyekah melakukan maajar-ajar. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved