UU ITE Momok Menakutkan,9 Pasal Ini Berpotensi Mencederai Kebebasan Berekspresi

Damar Juniarto mengatakan pihaknya mencatat 381 kasus UU ITE sepanjang 2011 sampai 2019 yang menjerat baik perorangan maupun institusi.

Editor: DionDBPutra
Iustrasi
Penerapan UU ITE menjadi momok menakutkan kebebasan berekspresi masyarakat Indonesia. Tingkat pemenjaraan sangat tinggi. 

TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA-Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kembali jadi sorotan publik.

Koordinator Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) Indonesia Damar Juniarto mengatakan pihaknya mencatat ada 381 kasus UU ITE sepanjang 2011 sampai 2019 yang menjerat baik perorangan maupun institusi.

"Pada 2020 ada 84 kasus. Menjerat berbagai kalangan, 15 aktivis, 4 buruh, seorang jurnalis, 3 karyawan swasta, 4 mahasiswa, 2 pejabat publik, 2 pelajar, 1 profesional, 2 wiraswasta, dan 50 warga biasa," ujar Damar kepada Tribun Network, Rabu 17 Februari 2021.

Baca juga: Kapolri Listyo Sigit Akui Penerapan UU ITE Sudah Tidak Sehat

Baca juga: Soal Usulan Presiden Jokowi Revisi UU ITE, Anggota DPR RI Beri Sambutan Positif

Baca juga: Kapolda Bali Hadiri Penutupan Rapim Polri Tahun 2021, Singgung Soal Penanganan UU ITE Lebih Selektif

Damar menerangkan laporan yang dihimpun koalisi masyarakat sipil menunjukkan sejak 2016 sampai dengan Februari 2020, untuk kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE, menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88% (676 perkara).

"Artinya kecil sekali orang bisa lolos UU ITE. 88% dihukum penjara. Orang ketika menyampaikan sesuatu diranah cyber dia bisa sewaktu-waktu dipenjara apapun profesinya. Akademisi hingga jurnalis," kata Damar.

Damar mengapresiasi pernyataan Presiden Joko Widodo yang positif melengkapi ajakan untuk menyampaikan kritik disertai untuk merevisi UU ITE yang menghambat kritik.

"Tapi setelah pernyataan itu disampaikan justru Kominfo berupaya menyusun pedoman interpretasi UU ITE. Ini sama saja mengatakan UU ini tidak ada masalah," kata Damar.

Padahal, menurut Damar, ada tiga lapis persoalan dalam UU ITE.

"Ada dua lapis persoalan lain selain penerapan, yaitu lapisan dampak setelah penerapan. Lebih mengerucut lagi dalam lapisan substansi hukumnya," sambungnya.

Menurut Damar, dampak politik UU ITE adalah digunakan politisi dan kekuasaan untuk menjatuhkan lawan-lawannya.

Sedangkan dampak sosial, yakni orang saling lapor melaporkan, misal balas dendam, persoalan warisan hingga nagih utang menggunakan UU ITE.

"Yang lebih mengerikan adalah dampak demokrasi. UU ITE momok menakutkan. Masyarakat merasakan itu," tutur Damar.

Damar mengatakan kasus terbanyak adalah pidana yang berhubungan dengan penghinaan dan pencemaran nama baik atau defamasi, Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Kemudian kasus ujaran kebencian pasal 28 ayat 2 UU ITE.

Koordinator Paguyuban Korban UU ITE (Paku ITE) Muhammad Arsyad mengatakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik banyak digunakan untuk membungkam dan mengkriminalisasi terlapor.

"Selama diterapkan, kami menerima 300 laporan dari korban UU ITE, yang mengancam terutama terkait kebebasan berekspresi dan berpendapat," ujar Arsyad.

Halaman
123
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved