Berita Badung
Masih Pandemi, Tradisi Mbed-Mbedan di Desa Adat Semate Mengwi Badung Tak Dilaksanakan Lagi Tahun Ini
Tradisi Mbed-Mbedan yang biasanya digelar Desa Adat Semate Kelurahan Abianbase Mengwi Badung pada rahina Ngembak Geni kini kembali tidak dilaksanakan
Penulis: I Komang Agus Aryanta | Editor: Wema Satya Dinata
"Jadi saya tegaskan, warga sembahyang dirumah saja. Jadi persembahyangan di pura akan dilakukan pemangku dan prajuru saja," tegasnya.
Penundaan pelaksanaan tradisi tersebut, kata Suryadi, merupakan keputusan yang tepat untuk menuruti aturan pemerintah.
Sehingga masyarakat benar-benar terhindar dari virus yang tidak terlihat tersebut.
Disinggung apa tidak ada ritual khusus nantinya, mengingat tradisi mbed-mbedan sudah dua kali tidak dilaksanakan, Suryadi mengatakan tidak.
Pasalnya sesuai dengan cerita jaman dulu tradisi desa Semate itu dilaksanakan sebagai "pengingat" lahirnya nama samate yang sebelum ditetapkan nama semate, terjadi tarik ulur pendapat.
"Jadi tradisi ini semacam perayaan untuk mengingatkan kepada generasi muda semate.
Terkait dengan niskala hanya sebagi pemberitahuan atau atur piuning yang tidak berakibat negatif bagi krama desa adat Semate," tungkasnya.
Untuk diketahui, pelaksanaan tradisi Mbed-mbedan dilaksanakan saat hari Raya Ngembak Geni atau usai melakukan berata penyepian.
Sebelum melaksanakan tradisi tersebut, seluruh krama memulainya dengan melaksanakan persembahyangan. Bahkan setiap kepala keluarga juga membawa tipat bantal yang akan dihaturkan.
Baca juga: Serah Terima Jabatan Ketua TP PKK Kabupaten Badung, Dirangkaikan dengan Serah Terima Ketua DWP
Setelah itu, sesuai arahan prajuru, warga berkumpul menuju depan Pura Desa lan Puseh Desa Adat, tepatnya di Jalan Raya Abianbase.
Jro mangku yang memimpin tradisi itu pun menghaturkan sesajen di jalan raya, sementara telah disiapkan alat mbed-mbedan berupa ‘Bun kalot’ dan tali tambang.
Bun Kalot ini sejenis tanaman rambat yang tumbuh di kuburan Banjar Semate.
Bun Kalon ini nantinya digunakan tali tambangnya, untuk memperingati leluhur yang dulu dalam mengadakan musyawarah terjadi perbincangan tarik ulur dalam mengambil keputusan. Sehingga tradisi mbed-mbedan ini juga bisa dimaknai tarik ulur.
Peserta mbed-mbedan sendiri dilakukan seluruh krama, mulai dari bapak-bapak, ibu-ibu, hingga yowana atau remaja. Bahkan diiringi baleganjur dan sorak sorak peserta.
Proses mbed-mbedan tersebut tidak menggunakan jumlah peserta intinya yang ikut yakni krama desa Adat Semate. (*)